Share

Part 3 : Tentang Sebuah Nama

Malamnya, aku bercerita kepada ibu tentang pertemuanku bersama lima anak lelaki yang aku sendiri belum tahu rumahnya mana. Terus terang, diajak berkenalan dengan cowok-cowok sekelas mereka, membuatku merasa sedikit spesial. Memang agak norak, tapi norak bukan berarti kuper. Waktu SMP, aku dikenal lumayan supel, meski memiliki sifat tomboi sekaligus bar-bar.

Berkawan dengan cowok, bukan hal baru buatku. Sejak kecil hingga lulus SMP, pergaulanku didominasi oleh kaum Adam. Jika pada umumnya remaja putri aktif di sanggar tari, maka aku memilih untuk ikut pencak silat. Hingga penampilan pun menyerupai anak lelaki. Maka dari itulah, ibu menyuruhku masuk SMEA—SMK putri, supaya putri kesayangannya ini bisa lebih feminim. Itu juga harus melalui proses pemaksaan dulu, sebab aku ingin sekali masuk STM—SMK putra.

"Jangan-jangan dia itu anaknya kenalan Ibu? Atau anak teman bapak? Enggak mungkin orang tiba-tiba tahu nama Maya." Dengan gaya ceriwis, aku bercerita soal Reygan.

Ada sedikit pecahan memori masa kecil yang tertinggal dalam ingatanku. Dulu, aku sering dibawa ke Madiun saat libur panjang. Beberapa anaknya teman ibu—yang kebetulan tetangga kontrakan, sering menemaniku main. Entah kenapa, anak-anak itu semua lelaki. Cuma aku yang perempuan.

Di antara mereka, hanya dua yang lumayan akrab sejak kecil hingga dewasa. Bahkan aku selalu memamerkan keduanya sebagai 'kakak lelaki' kepada teman-teman sekolahku. Sementara yang lain, pada akhirnya terhapus seiring waktu. Aku sempat curiga, Reygan adalah salah satu di antara mereka yang terlupakan.

"Masa tau-tau dia sebut nama Maya, sekomplit-komplitnya," lanjutku penuh antusias.

"Dia siapa, sih?" Akhirnya, ibu mulai tertarik untuk menanggapi ocehan anak gadisnya yang tengah memasuki masa pubertas.

"Apanya?"

"Namanya siapa?"

"Reygan."

Perempuan 35 tahun itu mikir sebentar. Aku menunggu dengan sabar saat dia berusaha mengumpulkan ingatan. "Enggak ada yang namanya Reygan," cetusnya tak berapa lama kemudian.

"Yang dulu sering main sama Maya, siapa? Pas kita masih di Podang?"

"Itu Reyhan, bukan Reygan."

"O iya!" Aku menepuk kening sembari terkekeh malu.

Sekonyong-konyong, sosok Reyhan muncul dalam anganku. Jadi, orang tuaku pernah menyewa sepetak rumah kayu di Jalan Podang. Lokasinya tidak jauh dari Jalan Srindit, hanya bersebelahan gang. Di sana kawasan padat penduduk. Otomatis ramai, banyak tetangga.

Suatu kali, dalam sebuah liburan, aku berkenalan dengan anak lelaki seusiaku yang tinggal bersama ibunya di rumah sebelah. Kami sering main bareng—bersama teman-teman lain juga. Hingga libur berakhir, aku pulang ke kampung dan berpisah dengan anak itu.

Pada libur tahun berikutnya, ketika aku ke Madiun lagi, dia dan ibunya sudah tidak tinggal di sana. Entah ke mana mereka, aku tidak pernah berusaha mencari tahu. Seiring berlalunya waktu, semua tentang Reyhan terlupakan begitu saja. Bahkan namanya pun aku tak ingat. Padahal, dulu sangat akrab. Hampir tiap hari aku mengikuti dia nyari ikan di selokan.

Aku pikir dia adalah Reygan. Walau sedikit ragu, sebab secara fisik sangat jauh berbeda. Reygan berkulit putih, sementara Reyhan—seingatku—kulitnya hitam legam. Reygan memiliki sepasang mata sipit, sedangkan Reyhan matanya belo. Wajahnya juga bagai bumi dan langit. Jauh banget, lah ... pokoknya.

"Memangnya kenapa? Kok nebaknya ke Reyhan?" Ibu mulai kepo.

"Heran aja. Dari mana dia tahu nama lengkap Maya?"

"Memangnya Reyhan tahu?"

"Maya pernah memberinya diary. Di situ tertulis nama lengkap Maya."

"Lalu?"

"Kalau anak tadi bukan salah satu teman kecilku, dari mana dia tahu namaku, ya?" gumamku, seakan bertanya kepada diri sendiri.

"Katanya kenalan."

"Maya belum nyebut nama, Bu. Dia sudah nebak duluan. Kamu Zenaida Asmaya, 'kan? Gitu."

Ibu diam, lantas melanjutkan pekerjaannya mencuci piring. Kami tengah ngobrol di dapur rumah majikan ibu yang baik hati. Hanya ada kami berdua di rumah tersebut. Si bos sekeluarga pergi ibadah ke Gereja. Seharusnya ada satu lagi asisten rumah tangga, tapi waktu kami berbincang itu dia sedang tak ada.

"Ibu tau enggak?"

"Apa?"

"Teman dia yang namanya Devan ... ughhh ... guuuantenggg banget," ujarku antusias.

"Alah, kamu! Kambing dikasih baju juga dibilang ganteng."

Dengan wajah bersungut-sungut, aku kembali ke ruang keluarga, lanjut mengerjakan PR yang kutinggal begitu saja.

••

Rasa penasaranku masih berjejal di kepala. Sepertinya tidak akan tuntas sebelum mendapat jawaban. Dan aku bukan tipe orang yang mudah menyerah jika sudah dikuasai perasaan ingin tahu. Ke lubang semut pun akan kucari penjelasannya.

Semalaman otakku berpikir keras. Aku rasa tidurku tidak benar-benar nyenyak. Bayangan wajah Devan yang—menurutku—tampannya tak masuk akal, serta tingkah janggal Reygan yang dapat menebak nama lengkapku dengan jitu, rupanya cukup lihai mempermainkan perasaan gadis kampung nan polos ini.

Hingga pagi menjelang, aku berangkat sekolah dengan semangat 45. Pertama, semangat karena memiliki tas baru. Percayalah! Bagi anak zaman dulu, membawa tas dan sepatu baru ke Sekolah itu jauh lebih mendebarkan daripada ketemu oppa-oppa idol di jalan. Apalagi untuk aku, yang kalau minta apa-apa harus bersabar dulu menunggu ibu gajian atau bapak berhasil mengumpulkan uang.

Penyemangat kedua adalah karena Reygan menjanjikan pertemuan saat pulang sekolah. Rasanya, hari itu putaran waktu begitu lambat merayap. Menunggu selesainya jam pelajaran terakhir, bagai seribu tahun lamanya. Sungguh, pada saat-saat itu, bunyi bel sekolah jauh lebih berharga dari uang jajan sebulan.

Aku hanya ingin cepat pulang, cepat sampai di Jalan Srindit, dan membuktikan janji cowok itu. Ia bilang akan menungguku pulang sekolah, di tempat kemarin. Jika itu benar, aku hanya ingin bertanya, dari mana dia tahu namaku?

Itu saja.

••

Bus yang kunaiki melaju kencang. Aku merengut, otot wajahku menegang, bahkan berkali-kali kakiku mengentak lantai bus dengan gerakan gusar. Serentetan kalimat sumpah serapah aku telan dalam diam. Andai tidak mempertimbangkan persoalan adab, sudah aku semprot sopir bus ugal-ugalan tersebut.

Bagaimana tidak?

Sejak dari jauh-jauh jarak—seperti biasa, aku sudah bilang, "Jalan Srindit, kiri!"

Kenek berkali-kali memukul kaca menggunakan koin, sejak bus melintasi depan Jalan Podang. Tak cukup hanya memukul kaca, dia juga berseru menyuruh sopir menghentikan laju bus. Entah sopirnya congekan atau memang sengaja, hingga jauh melewati Jalan Srindit, bus tidak dihentikan. Aku mengomeli sang kenek yang hanya bisa cengengesan menanggapi luapan amarahku.

Tanpa rasa bersalah, aku diturunkan di Halte Gudang Garam oleh sopir kampret tersebut. Halte itu jaraknya sekitar satu kilometer dari tempat seharusnya aku turun. Bagaimana enggak ngamuk, coba? Dari sana, tidak ada angkot jurusan rumahku. Jalan Trunojoyo merupakan trayek satu arah. Kendaraan umum yang menuju terminal, lewat di situ. Sedangkan arah sebaliknya, jalur yang ditempuh lain.

Alhasil, aku jalan kaki sampai rumah. Rasanya kesal bukan main. Sudah loyo seharian beraktivitas, masih harus mengerahkan tenaga lagi untuk berjalan dengan jarak yang lumayan.

Sejak saat itu, aku menaruh dendam kesumat terhadap bus tersebut. Tidak sudi menaikinya lagi. Sengaja aku menghafal muka sopirnya. Hingga lulus SMA, bahkan hingga kuliah, jika kebetulan mudik ke Ponorogo dan ketemu bus itu, aku ogah disuruh naik. Walau rayuan keneknya semaut rayuan pulau kelapa.

Sesampainya di depan Jalan Srindit, mataku terbelalak surprise melihat seorang cowok menduduki jok motor di dekat gapura. Aku masih ingat, motornya Kawasaki Ninja warna biru. Ninja terbaru pada masa itu, yang bodinya besar, bukan yang bodi ringkih. Seingatku, Kawasaki Ninja merupakan jenis kendaraan sport dambaan anak muda pada era kami remaja. Tak sembarang orang tua mampu membelikannya.

"Hai!" Cowok itu menyapa dengan ramah begitu menyadari keberadaanku. Rupanya sikap ramah memang sudah menjadi wataknya. Tentu saja di samping murah senyum.

Melihatku hanya berdiri dengan sikap kaku, Reygan turun dari jok motor dan berjalan mendekat. Sementara aku yang sudah syok duluan, tak tahu harus bersikap bagaimana. Sungguh, aku merasa tidak percaya diri dengan kondisiku saat itu, yang—sumpah—awut-awutan sekali. Aku yang pada dasarnya dekil, hari itu jauh lebih lecek dari biasanya. Sementara Reygan, penampilannya rapi, bersih, dan wangi.

"Kok jalan kaki dari sana?" Reygan kembali buka suara ketika langkahnya sampai di hadapanku.

"I-iya, sopirnya edan," ujarku singkat.

"Kenapa?" Cowok itu bertanya seraya tersenyum lebar. "Sopirnya godain kamu?"

Kepalaku menggeleng cepat. "Aku diturunkan di Gudang Garam. Gila, 'kan?"

"Lah, jauhnya!"

"Kalau enggak keterlaluan, masa iya aku sejengkel ini!"

Dia tertawa.

"Jadi, ini tadi jalan kaki dari sana?"

"Iya!" seruku sewot.

"Kasiaaan," ucapnya seraya—lagi-lagi—tertawa.

Aku menatap Reygan tanpa ekspresi. Tampak gingsul kecil menyembul di antara deretan giginya yang rapi. Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Ah, iya! Aku harus menuntaskan beban pikiranku. Menuntaskan rasa penasaran yang sejak kemarin merusuh di otak.

"Eh, boleh aku tanya sesuatu?" celetukku.

"Tanya apa?"

"Emmm, kamu ... kamu tau namaku dari siapa?"

"Maksudnya?"

"Kan kemarin, aku belum sebutin nama. Tapi, kamu sudah tau duluan."

"Lha itu," jawabnya seraya menunjuk dada kananku. Aku mengerutkan dahi dengan sebal. Belum ngeh apa yang dia maksud. Kupikir, tuh cowok bersikap kurang ajar. "Kan, di seragam kamu ada bedge nama."

Seketika itulah aku merasa bego bukan main. Bisa-bisanya tidak sadar dan tidak ingat kalau setiap seragam sekolah dilengkapi dengan bedge nama di dada sebelah kanan.

••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status