Share

Part 6 : Malam Minggu

Sabtu sore yang cerah.

Begitu turun dari bus, senyum Reygan menyambut. Lagi-lagi sendirian, nangkring di atas motor biru. Tubuhnya yang menjulang hampir dua meter, terbalut kaos flanel biru tua, dipadu celana seragam pramuka. Sepasang kakinya terbungkus sepatu converse hitam.

"Sendirian, Mas?" tanyaku basa-basi.

"Berdua."

"Sama?" Aku celingukan, berharap manusia keduanya adalah Devan.

Reygan tergelak. "Adek nyari siapa?"

"Katanya berdua?"

"Iya, berdua sama Adek."

Spontan bibirku mengerucut. Tawa Reygan semakin riuh. Kayaknya puas banget lihat aku merengut.

"Yowes, aku pulang," pamitku seraya ngeloyor pergi.

"Lah, gitu aja ngambek!"

Tanpa menghentikan langkah, aku menyahuti ucapannya. "Siapa yang ngambek?"

Reygan mengejarku hingga depan pagar. Motornya ditinggal begitu saja, ngejogrok di samping tembok ruko.

"Loh, kok pagarnya tutup?" tanyanya keheranan begitu melihat aku mengetuk pagar besi menggunakan gembok.

"Kalau hari Sabtu bukanya sampai jam 3."

"Waaah ... kayak Bank, ya?" tukasnya seraya terkekeh. "Hari Minggu tutup?"

Aku mengangguk.

"Kalo tutup begini, bapak tugasnya ngapain?"

"Pekerjaan kantor libur. Biasanya narik becak, tapi ini kayaknya belum berangkat. Mungkin lagi mandi."

"Terus Adek?"

"Aku kenapa?" Kupandangi Reygan yang—selalu—sudah wangi tiap kali mencegatku pulang sekolah.

"Kalo tutup begini, Adek ngapain?"

"Terserah,” sahutku cuek. “Tidur boleh, main juga boleh."

Reygan tersenyum lebar. Namun, di balik senyumnya, ia tampak menahan kesal. Lama-kelamaan, tuh senyum berubah jadi seringai

“Kenapa?” Tawaku meledak tak tertahan. Reygan melotot menatapku. Meski tak ada seram-seramnya sama sekali. Matanya minimalis gitu. Makin ngakak aku dibuatnya. “Kenapa, sih?" ulangku kemudian.

"Maksud aku tuh, biasanya Adek ngapain?"

"O, biasanya? Biasanya nyusul ibu ke tempat kerja."

"Jauh?"

"Enggak. Di Jalan Trunojoyo situ."

"Naik apa ke sana?"

"Kadang jalan kaki, kadang diantar bapak. Deket, kok. Itu, lhooo ... seberang jalan, agak ke sana dikit."

"Aku antar, mau?"

"Enggak!" tolakku serta merta, tanpa berpikir atau menimbang barang sedetik pun.

Sekilas, kekecewaan tergambar jelas di wajah Reygan. Air mukanya memerah, senyumnya pudar. Pemuda itu berpaling ke arah yang berlawanan dengan keberadaanku. Ia tampak menghela napas panjang, dan menghempaskannya dalam satu hembusan.

Sebenarnya aku menyadari perubahan sikap tersebut, tetapi memilih untuk bodo amat. Bukan karena tak peduli, bukan karena tak memiliki perasaan. Lebih menjaga etika saja, sih. Memangnya aku cewek apapun! Eh, apaan? Kenal baru tiga hari, sudah mau-mauan diajak jalan cowok. Dulu, hal seperti itu betul-betul dijaga oleh gadis seperti kami. Meski tak tertulis, seakan ada hukum sosial dalam masyarakat, bahwa gadis yang model begitu disebut cewek gampangan.

Tak berapa lama kemudian, bapak muncul tergopoh-gopoh menghampiri pagar dengan segepok kunci di tangan. Setelah gembok terbuka, dan bapak membentangkan pagar lebar-lebar, aku berpaling menghadap Reygan.

“Mas, aku masuk dulu, ya? Maaf, enggak bisa ngajak Mas Rey singgah. Soalnya harus buru-buru ke tempat ibu.”

“Pulang jam berapa?” sahutnya lesu.

“Biasanya jam 9, sih. Kalau enggak jalan-jalan dulu.”

“Sip.”

Aku tak menanggapi ucapan Reygan. Entah, apa maksud kata ‘sip’ yang dia ucapkan. Bergegas kupacu langkahku meninggalkan dia dan masuk ke rumah, menyusul bapak.

••

Aku dan ibu pulang lebih awal dari biasanya. Malam Minggu, acara televisi tak ada yang menarik. Ibu memutuskan segera pulang begitu semua pekerjaannya selesai. Kami berencana hendak jalan-jalan, sekadar keliling kota. Duduk di atas becak yang dikayuh bapak dan dibawa mengitari seputaran Agus Salim hingga alun-alun, itu merupakan quality time kami sekeluarga. Meski tidak membeli apa-apa, rasanya sudah bahagia. Hingga usiaku setua ini, masih terasa euforia-nya.

Saat-saat terindah dalam kenangan masa remajaku adalah ketika bercerita dengan ibu di atas becak. Menceritakan apapun yang ingin aku ceritakan, walau tahu itu bukan hal penting. Kadang kami membincangkan kisah sinetron yang sama sekali tak ada faedahnya.

Kami tak pernah bosan melewati malam demi malam dengan perjalanan yang selalu sama. Hingga bertahun-tahun pun tak ada rasa jemu. Justru selalu rindu dan jika saja mungkin, ingin rasanya putaran waktu berjalan mundur ke masa itu. Tertawa di samping ibu yang tak pernah lelah mendukungku.

Ah, manisnya kenangan.

••

Setelah cukup berkeliling kota dan berhasil mendapatkan makanan favorit—sate ayam Madura, kami pulang. Arlojiku menunjuk angka 9 kurang sekian menit. Gara-gara antre sate yang memakan waktu hampir satu jam, niat hati pulang cepat supaya bisa istirahat, berakhir sami mawon alias sama saja. Sampai rumah tetap pukul 9.

Di mulut gang, di tepi gapura Jalan Srindit, banyak anak cowok duduk ngobrol sembari memainkan gitar. Tumben! Ujarku dalam hati. Biasanya selalu sepi. Jalan Srindit memang jarang memiliki anak muda. Beda dengan Jalan Podang.

Aku tidak berani menoleh ke mereka, sebab jumlahnya banyak. Ada kalau 20-an orang. Ah, rupanya diriku masih memiliki rasa malu.

Sayup-sayup telingaku menangkap suara genjrengan gitar—di antara riuhnya obrolan, diiringi sebuah vokal yang meski tidak merdu, tetapi cukup enak didengar. Dia menyanyikan sebuah lagu milik DEWA yang liriknya sedikit dimodifikasi. Pas aku lewat, hanya kebagian reff.

Hawa tercipta di dunia

Untuk menemani sang Adam

Begitu juga dirimu (cewek Srindit)

Tercipta tuk temani aku

Reff tersebut berkali-kali diulang, seolah ingin menegaskan bahwa di situ inti lagu yang hendak dia sampaikan. Dari lirik yang seharusnya, ditambah dengan kata 'cewek srindit', sepertinya si penyanyi ingin orang tahu bahwa lagunya dia nyanyikan untuk si 'cewek srindit' itu.

Saking nyelenehnya dia, saat turun dari becak, aku tergelitik untuk menoleh ke sana, ingin tahu siapa mereka. Bukan karena ganjen, tapi aku merasa suara itu seperti tidak asing. Makanya kepo.

Dan, jeng ... jeng!!!

Ternyata sang vokalis gadungan tersebut adalah Reygan.

Apa maksudnya, coba? 'Cewek Srindit' yang dia maksud itu siapa? Wajar enggak, kalau saat itu aku kebaperan? Meski belum mengenal seluruh warga Jalan Srindit, aku tahu di seputar rumahku tidak ada gadis selain aku.

Ketika aku masih tertegun memandangi gerombolan remaja lelaki yang berada dalam jarak kurang lebih 150 meter dari tempatku berdiri, tiba-tiba salah satu di antara mereka menyadari keberadaanku. Ia menggamit pundak Reygan yang masih asyik memainkan gitar dengan penuh penghayatan—tengadah sambil memejamkan mata.

Hadeeeh, ngapain coba?

Cowok itu menoleh begitu bahunya dijawil oleh si teman—yang aku ingat adalah Taufik. Sesaat dia menatap Taufik seraya mengurangi volume genjrengan gitarnya. Tak lama kemudian, pandangannya beralih ke arahku. Saat itulah, tatapan kami bertemu. Gitar dalam dekapannya bergegas dia taruh, demi beranjak menghampiriku.

Dalam hati, sebetulnya aku kelabakan juga disamperi cowok pas ada ibu. Ibu tuh orangnya susah-susah gampang. Kadang saklek kalau masalah beginian. Ingat, kan saat aku diperingatkan untuk jaga jarak dengan cowok Madiun? Ya, begitulah ibuku.

"Hai," sapa Reygan dengan gaya khasnya yang ramah, diiringi seulas senyum. Aku tak menjawab, hanya balas senyum. "Ibu?" bisiknya lirih seraya menunjuk ibuku menggunakan jari jempol. Saat itu, ibu sedang memandang ke arah lain, belum menyadari keberadaan dia.

Aku mengangguk samar.

Sebuah sikap tak terduga dilakukan oleh cowok itu. Dengan penuh percaya diri, dihampirinya ibuku. Dia mengulurkan tangan kanan. Tentu saja ibu kaget. Masih dengan wajah kebingungan, ibu menyambut tangannya. Tak disangka, Reygan merunduk dan mencium tangan ibu dengan takzim.

"Saya Reygan, Bu. Teman adek," urainya tanpa keraguan, membuatku terbelalak kaget. “Eh, maksud saya, teman Maya," ralatnya segera.

Kutahan kuat-kuat tawa yang nyaris menyembur keluar.

"Ooo, ini yang namanya Reygan?" sambut ibu dengan sebuah pertanyaan yang sedikit memerahkan muka. Kesannya seakan-akan aku sering bercerita tentang tuh nama pada ibuku. Kan malu. Apalagi ketika setelahnya, Reygan menoleh ke arahku dengan sorot mata menuntut penjelasan. Refleks, kugelengkan kepala.

Untungnya ibu tidak bicara lebih banyak lagi. Hanya basa-basi sebentar, lalu pamit masuk ke rumah. Dibiarkannya aku di tepi jalan, berdua dengan Reygan, di bawah tatapan mata beberapa temannya dari kejauhan.

"Jam segini baru pulang?" Cowok itu mengajukan sebuah pertanyaan basa-basi. Padahal, sudah kuberitahu kalau aku biasa pulang jam sekian. "Aku tunggu sejak tadi."

"Ngapain?"

"Kok ngapain? Ini kan, malam Minggu."

"Terus kenapa?"

"Apel dong!"

Aku mengikik geli. "Memangnya kita siapaan? Gaya mau ngapel."

"Ha ha ha ...."

"Tadi, nyanyi lagu apa?"

"Dewa."

"Terus, kenapa pake ditambah liriknya?"

Reygan tersenyum lebar. "Adek dengar?"

"Ya denger, lah. Aku enggak budek."

Muka tuh cowok memerah. Sembari tertawa geli, dia usap wajah gantengnya. Dalam hatiku, mampus lu! Tengsin, kan? Ke-gep pas lagi nge-bucin.

"Enggak, itu tadi iseng," dalihnya kemudian, masih dengan wajah yang merah padam. Aku tersenyum mafhum. "O iya, itu ... ibu enggak marah? Kamu ngobrol dengan cowok di jalanan begini."

"Harusnya, sih marah."

"Hah? Serius? Terus gimana, dong?"

"Mas Rey mau main ke rumah?"

"Yaaah, sudah malem gini, Dek. Tadinya, sih iya, pengen main. Tapi, kayaknya sudah kemaleman."

Aku diam.

"Mmm, besok saja, ya? Aku ke sini lagi."

Dalam hati, aku menjawab : terserah elu!

Namun, bibirku berkata lain. "Iya, enggak pa-pa."

"Ya sudah, Adek masuk sana! Aku juga mau pulang habis ini."

Aku menoleh ke arah rombongan kawan-kawan Reygan yang tengah riuh ngobrol di ujung jalan. Mataku mencari sosok Devan, yang rupanya tak ada di sana.

Akhirnya, aku menuruti perintah Reygan. Melangkah ke halaman, menutup pintu pagar, menggemboknya, lalu masuk ke rumah. Reygan belum beranjak, memperhatikan segala tindak tandukku. Hingga pintu aku tutup, sempat kulihat dia masih berdiri di tempat semula. Dan ketika kusibakkan sedikit gorden jendela untuk mengintipnya, tampak dia melangkah menuju jalan raya.

••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status