Share

Part 2 : Hujan Terindah

Aku tak habis pikir, bagaimana ceritanya si Raga bisa tahu namaku? Lebih heran lagi, dia menyebutkan nama lengkapku, selengkap-lengkapnya. Tentu saja otakku diliputi berbagai tanda tanya. Dia itu sebenarnya siapa? Dari mana tahu nama lengkapku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar mengelilingi kepala.

Di satu sisi, aku dibuat bingung oleh sosok Raga, yang kalau bicara logatnya kesunda-sundaan. Sempat deg-degan, dong ... karena Hendra juga memiliki logat bicara seperti itu. Jangan-jangan dia ada hubungan dengan Hendra, atau kenal aku dari Hendra. Make sense, kan?

Di sisi lain, akhirnya aku berhasil tahu siapa nama cowok pembawa bola. Raga mengenalkan semua temannya. Mereka dipanggil untuk mendekat, dan semua patuh. Entah lah, apa jabatan tuh cowok dalam gank tersebut? Mungkin dia kapten; jendral; ketua; pimpinan. Soalnya, aku perhatikan setiap ucapan dia selalu dituruti oleh mereka.

"Ini namanya Amar." Raga menunjuk salah satu temannya yang berbadan atletis—tinggi besar berotot.

Aku tersenyum pada cowok itu, lalu menyambut uluran tangannya—hal yang bahkan belum aku lakukan pada Raga.

"Maya," ucapku memperkenalkan diri.

Setelah Amar melepas genggaman tangannya, masing-masing teman Raga yang lain menyalamiku dan menyebutkan nama.

"Ronald." Wajahnya tampan dan memiliki gaya fashionable alias keren. Jika harus menilai jujur secara obyektif, dia yang paling tampan di antara kelimanya. Tulang hidungnya tinggi, sepasang alisnya menukik seperti sayap camar yang terbang di lautan. Dia juga memiliki mata yang tajam bak mata elang, yang dihiasi bulu mata lentik. Bibirnya tipis berbentuk cupid bow. Postur tubuhnya pun bagus. Semua ketampanan tersebut masih dilengkapi pula dengan senyum menawan dan suara yang merdu di telinga. Perfecto.

Selanjutnya adalah, "Taufik."

Si pemuda baik hati, sahabat paling loyal yang pernah kutemui. Dia memiliki tampang lugu, culun, dan kocak. Dalam sekilas pandang, tak ada yang istimewa darinya. Taufik seperti umumnya cowok-cowok pada masa itu. Berkulit sawo matang, rambutnya ikal, dan—maaf—wajahnya agak berjerawat. Itu yang aku ingat dari kesan pertama mengenal dia. Akan tetapi, cowok itu memiliki sorot mata yang tulus, dan aura menyenangkan.

Terakhir, si pemilik wajah dingin mirip Suradet Piniwat, yang sejak awal berhasil mencuri perhatianku karena sikap tenangnya. Dia ini memiliki badan kurus, jika tak boleh disebut kerempeng. Kulitnya putih kemerahan, hidung mancung, bibir imut, mata kecil—bukan sipit, dan alis tebal yang rapi. Waktu itu, aku belum tahu seberapa manis senyumnya, sebab orangnya lumayan pelit berbagi senyuman. Raut wajahnya tampak dingin dan kaku, seolah tak peduli sekitar.

Jantungku berdetak kencang ketika tangan kami bersentuhan. Ada rona hangat mengaliri kedua pipiku. Entah, perasaan apa yang merasuki aku saat itu. Yang jelas, aku merasa seluruh badan menegang dan mulut seperti terkunci.

"Kevin." Dia menyebutkan nama.

Beberapa detik setelahnya, aku bagai orang kena hipnotis—bengong dan blank. Sepertinya otak ini sudah tersihir oleh ketampanan merajalela yang tersaji di depan mata. Tuh cowok serakah banget. Ganteng kok diborong sendirian. Sumpah, ya ... kalau saja enggak punya urat malu, aku sudah lompat-lompat kegirangan waktu itu.

"Sudah, jangan lama-lama!"

Aku ter geragap begitu Raga memisahkan tangan Kevin dari genggamanku. Misahinnya setengah maksa pula. Pergelangan tangan Kevin ditarik kuat-kuat, hingga si cungkring itu terdorong mundur beberapa langkah.

Semua tergelak dalam tawa, kecuali aku dan Kevin yang—entah kenapa—sama-sama tersipu. Mungkin dia begitu karena ditertawakan teman-temannya. Sementara aku, malu sebab ketahuan menikmati sekali genggaman tangannya yang hangat, meskipun cuaca hari itu dingin.

"Sekolah di mana?" Sebuah pertanyaan dari Amar berhasil mencairkan suasana yang sesaat tadi sempat terasa aneh-antara aku dan Kevin. "Kok jam segini masih di sini?"

"Di Ponorogo," jawabku malu-malu. Jelas malu, lah ... satu gadis dikerubuti lima cowok.

"Walah, jauhnya!"

"Jauh banget sekolah kamu?" Raga menimpali ucapan sahabatnya.

Aku tersenyum. Pandanganku beralih pada cowok berwajah oriental tersebut. Raga ini sebenarnya juga tampan. Kulitnya putih, matanya agak-agak sipit—lebih sipit dari Kevin, dan senyumnya ramah. Dia juga memiliki satu gingsul kecil—nyempil di atas gigi taring, menambah sedikit nilai plus wajahnya saat tersenyum. Dan yang pasti, satu hal lagi, sikapnya hangat bersahabat.

Pada bagian sikap, dia unggul satu poin dari Kevin yang dingin, jarang senyum, pelit bicara, dan selalu tampak murung. Kevin, jika penampilannya harus dirangkum dalam satu kata, yang paling tepat untuk menggambarkannya adalah 'angkuh'.

"Ehm," dehemku sembari mengalihkan pandangan ke arah jalan. Sementara Raga masih menanti jawabanku. "Hujannya sudah reda. Aku pulang dulu," pamitku kemudian. Sebuah jawaban yang menimbulkan gurat ketidakpuasan di wajah Raga.

"Kenapa buru-buru?" Amar coba menahanku.

"Ditunggu Bapak."

"Rumah kamu loh, deket aja," kilah Taufik.

Aku tidak menjawab, hanya mengulaskan sekilas senyuman. Dan ketika kutatap mereka satu persatu, aku dapat menangkap kekecewaan di mata Raga. Akan tetapi, dia tidak berusaha mencegah kepergianku seperti yang Amar dan Taufik lakukan. Ya sudah, akhirnya kuputuskan untuk segera hengkang. Lama-lama berdiri di situ, bisa epilepsi karena terus-terusan menatap keindahan semesta yang tercetak di wajah si pemuda pembawa bola.

Saat aku meninggalkan kerumunan lima cowok enggak jelas tersebut, tiba-tiba Raga mengejar dan mencegat langkahku.

"Apa lagi?" Aku berseru jengkel.

"Kamu ... tiap hari pulangnya jam segini?"

"Iya," jawabku seraya mengernyitkan dahi. Aneh tuh bocah. Ngapain tanya gitu?

"Tiap hari naik bus?"

"Iya."

"Selalu turun di sini?"

"Ya iya lah, kan rumahku di sini."

"Besok juga?"

Aku mulai jengkel. Sembari melengos dan menghela napas berat, kuanggukkan kepalaku pelan.

"Sip!" Raga berseru dan tersenyum kegirangan, tanpa peduli pada ekspresiku yang serasa pengen menyedot ubun-ubunnya. "Besok aku tunggu di sini. Jam empat," ucapnya kemudian seraya mengacungkan telapak tangan.

"Jam empat apa jam lima?" Aku menatapnya dengan sikap dingin.

"Kamu pulang jam empat, 'kan?"

"Itu tangan kamu, lima jari."

Raga menatap telapak tangannya yang masih menggantung di udara, lalu tersenyum lebar seraya menekuk jari jempolnya hingga tersisa empat jari saja. Menyaksikan tingkahnya yang kocak, aku hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum tipis.

Tak ingin memperpanjang percakapan, aku bergegas meninggalkan cowok itu. Pulang. Arloji di pergelangan tangan kiri sudah menunjuk pukul lima kurang. Bapak pasti mengkhawatirkanku.

••

Tiba di rumah, aku diserbu pertanyaan penuh cemas. Sebagaimana yang telah kuduga sebelumnya, Bapak ngomel akibat dirundung rasa khawatir.

"Hari Rabu jam segini baru pulang? Kenapa sore banget?"

"Pulang dari tadi, Pak. Tapi hujan, jadi berteduh dulu di depan situ," jawabku lirih seraya melepas sepatu dan kaos kaki yang lembap. Kulit kakiku sampai keriput saking lamanya terendam basah.

"Enggak bilang kalau kehujanan. Tau gitu, 'kan Bapak jemput pakai payung."

Aku terkekeh seraya membuka pintu kamar. "Bilang gimana?" gumamku lirih seolah bicara sendiri.

Bapakku aneh. Tahun 2000 itu kami belum memiliki alat komunikasi praktis—semacam handphone, tidak seperti zaman sekarang. Terus bapak nyuruh kasih kabar saat aku sedang kehujanan di jalan. Lah, cara kasih kabarnya gimana? Teriak dari jalan depan sana, gitu? Atau pulang dulu, kasih tahu kalau sedang terjebak hujan, dan setelah itu balik lagi ke depan nungguin bapak datang menjemput? Lucu, 'kan?

Itulah kocaknya bapakku, sosok orang tua yang luar biasa lugu. Saking lugunya, merokok pun enggak berani. Takut ketahuan ibu, soalnya ibuku pasti marah besar kalau tahu bapak mengisap lintingan tembakau tersebut. Dulu, pernah diam-diam merokok. Eh, ketahuan. Ibuku murka. Semenjak itu, enggak berani lagi. Kecuali waktu ada acara di kampung dan lagi ngumpul sama teman-temannya. Itu juga ngumpet-ngumpet, takut ketahuan bininya.

Bapak dan ibuku asli orang kampung. Berasal dari satu desa yang sama, dan menikah karena dijodohkan. Bukan murni dijodohkan, sih. Ceritanya, bapak bersahabat dengan kakak sepupu ibu. Suatu hari, pas main ke rumah sahabatnya itu, dia melihat foto ibuku dan langsung naksir. Akhirnya, minta dicomblangi, sebab posisinya ibu tidak tinggal di kampung.

Ibu bekerja sebagai pelayan toko di sebuah keluarga keturunan Tionghoa, sejak masih sangat muda. Sebagai anak sulung dari seorang single parent, terpaksa dia tidak menuntaskan pendidikan SD dan lebih memilih kerja ikut orang demi membantu ekonomi keluarga serta membiayai adik-adiknya. Pada tahun 2000, dia sudah 25 tahun lebih bekerja di tempat tersebut. Maka tak heran apabila bosnya menganggap kami seperti keluarga sendiri.

Sedangkan Bapak, aslinya adalah seorang driver becak. Ceilah, driver ... ha ha ha! Bapak bekerja sebagai penarik becak semenjak aku kecil. Tepatnya kapan, aku sendiri tidak tahu. Pokoknya, seingatku sejak aku mulai memahami pekerjaan orang tua, bapakku sudah jadi tukang becak. Menurut cerita Ibu, dulu Bapak juga pernah kerja di toko. Berhubung dia tidak bisa bekerja di bawah tekanan, jadi sering sakit. Akhirnya, bapak resign dan membeli becak sebagai sumber mata pencaharian.

Nah, rumah yang kami tempati saat itu, sebetulnya adalah milik bos-nya ibu. Beliau mengelola usaha PJTKI—Perusahaan Jasa Pemberangkatan Tenaga Kerja Indonesia. Rumah tersebut digunakan sebagai kantor. Bapak ditugaskan untuk menjaga, merawat dan membersihkannya, sehingga kami diberi satu kamar untuk ditempati sehari-hari.

"May, ikut ke tempat ibu, enggak?" Bapak berteriak dari teras belakang.

"Ikuuut!" Aku balas berteriak panik seraya menghambur keluar kamar karena takut ditinggal. Kalau tidak salah, hari itu ibu janji akan membelikan tas sekolah baru. "Tapi Maya mandi dulu."

"Lah, 'kan enggak sekarang," sahut bapak santai sambil memberi makan ikan. "Bapak juga belum mandi."

"Hadeeeh," gerutuku kesal. "Kenapa teriak-teriak ngagetin, gitu? Kirain sudah mau berangkat!"

Si bapak cuma nyengir.

Aku pun ngeloyor masuk kamar mandi dengan handuk ter cangklong di pundak. Ngeselin, 'kan bapakku? Itu belum seberapa. Kadang, dalam satu kesempatan, bisa lebih menjengkelkan dari Cak Lontong. Ngobrol dengan bapak, bawaannya pengen nge-gas melulu.

Walau bagaimanapun, bapak adalah lelaki tersabar nomor satu yang pernah aku kenal di dunia ini. Dan jika ada yang nomor dua, mungkin dia adalah Reygan. Hikzzz.

••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status