Share

Part 6

Hidup susah sudah di alami oleh Sarah Tjandra selama bertahun-tahun. Semenjak ibunya berhenti bekerja menjadi seorang guru di desa tempatnya di lahirkan, tak ada lagi yang namanya makan dengan lauk. Setiap hari, Sarah hanya memakan nasi dengan kuah yang fi beri penyedap rasa. Tak sekali pun, keluarganya mampu membeli sekedar tempe seharga tiga ribu rupiah. 

Sebenarnya keluarganya bisa saja berubah. Bahkan sering mencoba merubah nasib. Naas, ayahnya yang hobi judi, mabuk-mabukan, dan main perempuan membuat perekonomian keluarga Sarah tak kunjung berubah. Hingga Sarah pun harus menjadi korban karena hobi ayahnya. Gadis berusia 25 tahun itu harus berhenti sekolah dan bekerja kasar menjadi tukang kuli Panggul di pasar. 

Dari pekerjaannya sehari, sebenarnya dia bisa mendapatkan gaji sekitar 20 sampai 50 ribu. Namun, sayang lahi-lagi uang itu hanya cukup untuk beli beras dan sisanya di ambil ayahnya. Belum lagi, ibunya yang tiga tahun terakhir di diagnosa memiliki penyakit kanker hati, membuat Sarah kelimpungan mencari biaya. 

Sore itu seperti biasa, selepas pulang dari pasar induk Sarah akan mampir ke warung Bi Titing yang letaknya tak jauh dari rumah. Hari itu tak seperti biasa, dari kejauhan Sarah melihat warung Bi Titing ramai sekali orang. Menurut kabar yang ia dengar tadi pagi di pasar, anak pertama Bi Titing, Kang Tito baru saja tiba di desa dengan kedua anak dan istrinya. Kang Tito yang bekerja dan sukses di kota, tentu menjadi buah bibir di desa apalagi ketika dia pulang ke desa. 

“Bi, meuli beas satengah liter.” Ucap Sarah dengan logat dan bahasa sunda yang begitu kental. 

“Sakedap–nya.” 

Bi Titing, wanita tua berusia enam puluh tiga tahun itu masih gagah mempersiapkan pesanan Sarah. Dia memasukan setengah liter beras ke dalam kantung plastik hitam dan memberikannya kepada gadis berkepang satu itu. 

“Ieu.” Bi Titing memberikan kantung plastik hitam kepada Sarah dan menunggu Sarah mengambil uang dari kantung celananya. 

Sambil menunggu Sarah mengambil uang, Bi Titing memerhatikan wajah Sarah yang terlihat begitu lesu dan lelah. Ia tahu, jika gadis itu sudah cukup lama menanggung beban yang berat. Penyakit yang di derita ibunya pun sudah di ketahui oleh semua warga desa. Mereka semua pernah mencoba membantu perekonomian dan pengobatan ibunya Sarah. Tapi sayang, perbuatan baik warga desa malah di tolak oleh ayah Sarah. Dia malah berkata, tak ada gunanya membantunya karena umurnya juga tidak akan lama lagi. 

“Sarah, sehat?” tanya bi, Titing. 

“Sehat, bi.” Sambil tersenyum, Sarah menjawab. 

Dia juga memberikan selembar uang sepuluh ribu kepada Bi Titing. 

“Bagaimana kabar, ibu mu?”

“Masih sama, bi. Belum ada perubahan.”

Bi Titing terdiam memperhatikan raut wajah Sarah yang sebenarnya cantik. Melihat gurat lelah, kesedihan yang bercampur menjadi satu. 

“Bapak mu...” Bi Titing tak melanjutkan ucapannya. 

“Bapak tiap hari pulang kok, Bi.”

Wajah, Bi Titing berubah masam. 

“Bapakmu masih begitu, rah?”

Sejenak, Sarah terdiam. Dia mengerti maksud perkataan Bi  Titing. Ada rasa malu yang tiba-tiba menelusup di dadanya. Malu, sampai semua warga desa tau bagaimana kebiasaan buruk sang ayah. Tapi, sekuat dan semampunya, Sarah mencoba menguatkan diri. Bersikap biasa saja menanggapi pertanyaan Bi Titing. 

“Ya, Bibi tahu sendiri bagaimana ayah.” 

Tanpa di sangka, Kang Tito anak Bi Titing tanpa sengaja mendengar obrolan keduanya. Kemudian mendekat dan ikut nimbrung. 

“Bapak mu, masih doyan main judi dan perempuan?” tanya Kang Tito to the point. 

Bi Titing menyenggol tangan anak lelaki satu-satunya itu. Entah kenapa, Tito ini kalau ngomong boyo gak bisa di pikir dulu. Batin Bi Titing. 

Seperti biasa, Sarah hanya mampu menanggapi dengan senyuman kecil, lalu di jawab dengan jawaban yang jujur. 

“Iya, kang. Malah, Sarah dengar bapak mau nikah lagi.”

Sarah ini tipikal wanita lugu, yang bicara jujur meskipun itu mengenai keluarganya. Tak peduli itu aib atau tidak. Sebab memang semua warga kampung sudah mengetahui bagaimana keluarganya. 

“Kamu mau kerja ikut akang?” Tiba-tiba Kang Tito menawarkan pekerjaan. 

Biasanya lelaki ini di kenal pelit sekali sama yang namanya pekerjaan di kota. Entah apa pekerjaan di kota, warga desa pun tak tau. Mereka hanya tahu, kang Tito bekerja untuk perusahaan besar yang namanya suka muncul di televisi rumah mereka. Tapi ya begitu, Kang Tito ini di kenal pelit. Seperti tetanggannya saja yang minta pekerjaan sama dia, dia pasti akan menjawab “tidak ada” atau “cari saja sendiri sana”. Terkesan sombong, tapi sebenarnya kang Tito orangnya baik sekali seperti bi Titing. Setahun lalu saja, dia membantu mendanai warga desa untuk membuat puskesmas sendiri. Enam bulan kemudian, kang Tito menyumbang uangnya yang tak banyak untuk membangun sekolah yang sudah tak layak pakai. Belum lagi, dia itu donatur tetap mushola dekat rumah Sarah. Hanya saja, memang orangnya terkesan agak judes dan pelit jika di tanya soal pekerjaannya. 

“Kerja, kang?” Sarah membulatkan matanya. Bertanya untuk memastikan pendengarnya. 

“Iya kerja. Lumayan, gajinya bisa buat kamu bawa ibumu ke rumah sakit yang lebih bagus daripada puskesmas sini.” Jelasnya. 

Meskipun terdengar agak aneh, kang Tito menawarkannya sebuah pekerjaannya. Tapi, Sarah tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin, jika dia bekerja akan membantu perekonomian keluarganya lebih baik lagi. Dan, seperti yang tadi kak Tito bilang, dia bisa mengobati ibunya dan membawanya ke rumah sakit. 

“Kalau mau,” Kang Tito kembali berucap. Membuat Sarah yang sedang berpikir mendongakkan kepala menatap lekat lelaki paruh baya berbadan agak tinggi, bertubuh gempal dengan perut buncit, dan kumis tebal. 

“Kamu bisa kesini lagi besok. Akang sama suami akang pulang lusa. Biar bisa akang kasih tau bos akang, kalau kamu mau kerja.”

Sejenak Sarah terdiam. Lalu takut-takut bertanya. 

“Kalau boleh tau kerjanya apa ya, kang?”

“Jadi istri kontraknya bos ku.” Kang Tito to the point lagi. 

Jelas perkataan Kang Tito membuat Sarah dan Bi Titing terkejut. Di jawilnya telinga besar Kang Tito oleh Bi Titing hingga membuat Kang Tito terlonjak kaget dan meringis kesakitan. 

"Kalau ngomong itu jangan aneh-aneh. Kamu pikir sih Sarah ini wanita begituan, huh." Hardik Bi Titing memarahi Kang Tito. 

"Buk, aku cuma bantu dia doang. Lagi pula ini pekerjaan halal kok. Dia di nikahi secara sah hukum dan agama. Hanya saja, pernikahan hanya akan bertahan sampai kontrak yang di sepakati."

Bi Titing semakin kencang menjawil telinga putranya itu. Kencang dan keras sekali, sampai meninggalkan bekas memerah di sana. 

"Sama saja kamu ikut membantu orang berbuat dosa. Besar, To dosanya orang yang mempermainkan pernikahan. Kamu kok mau sih, di kasih kerjaan kaya gitu?" 

Sarah yang melihat hanya diam berdiri mematung dengan kantung plastik hitam di tangannya. 

"Yaudah yaudah, kalau emang kamu gak mau, Rah, ya sudah gak usah terima." 

"Ya memang gak usah. Sudah, lebih baik kamu pulang, Rah. bumu pasti menunggu."

Kepala Sarah mengangguk patuh. Tanpa sepatah katapun, Sarah pergi meninggalkan warung. Menyisakan Kang Tito yang memandangi punggung Sarah dari kejauhan. Diam-diam lelaki itu berdecak, membuang ludah kasar sambil bergumam. 

"Padahal dia cantik, lugu, dan penurut. Sangat masuk dengan kriteria yang di cari tuan Reiner."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status