Share

Part 2

Ciko Riyanto, adalah pengacara kondang yang namanya lagi hits karena baru saja memenangkan pengadilan seorang artis ternama ibukota. Namanya langsung melejit dan tawaran pekerjaan untuknya banjir di mana-mana. Selain menjadi pengacara kondang. Dahulu, Ciko adalah teman satu flat Jojo di Manchester university. Meskipun mengambil jurusan yang berbeda di Universitas bergengsi tersebut, nampaknya tak menghalangi Jojo dan Ciko untuk saling berteman karena mereka memang dari negara yang sama.

Setelah lulus kuliah dan menyabet gelar sarjana hukum, secara pribadi Jojo meminta Ciko untuk menjadi pengacara pribadinya. Mempercayai Ciko untuk mengurus semua kehidupan Jojo yang bersinggungan dengan hukum. Tak hanya di percaya menjadi penasehat hukumnya, Jojo bahkan dengan suka rela memberikan hartanya kala ia masih menjadi manager di perusahaan mobil canggih Tesla sebanyak 25% kepada Ciko.

Malam itu, Ciko yang masih tepekur dengan pekerjaan di kagetkan dengan pesan dari Rei yang memintanya untuk segera datang kekediaman keluarga Wijaya. Sama seperti Rei yang mengetahui seluk-beluk masalah keluarga Jojo, Ciko segera melesat menuju ke sana karena yakin ada satu hal yang begitu penting.

Dan benar saja, saat dirinya sampai di sana sudah ada tiga mobil sedan dan satu mobil Tesla terparkir di halaman depan rumah Wijaya. Saat turun pun dari mobil, Jojo yang biasa akan bersenda gurau kepadanya, langsung memasang wajah asam dan membisikkan sesuatu di telinga Ciko.

"Hari ini mereka akan membacakannya. Aku mau kau mencari cara agar seluruh harta ayahku tak jatuh satu sen pun kepada wanita itu."

Ciko tertegun, tenggorokannya tercekat dan tubuhnya tiba-tiba saja bergetar. Sebenarnya, dia sudah hari ini akan tiba. Hari di mana, dia harus ikut dalam konflik keluarga yang sudah berkepanjangan.

Cika berusaha untuk tetap santai.

"Tenang. Gua bakal bantuin lo sebisa mungkin." katanya sambil menepuk lembut bahu Jojo.

Mereka pun masuk ke dalam rumah utama di susul Rei yang berjalan tepat dua meter dari belakang Jojo dan Ciko. Saat mereka masuk di ruang tamu, mereka telah di sambut oleh tiga paruh baya berjas rapih yang tengah duduk berjejer dengan raut wajah serius. Memeluk tas yang sama seperti yang di Ciko erat-erat. Jojo berdehem, dia tau ketiga paruh baya itu adalah pengacara pribadi Abimanyu yang salah satunya adalah ayah dari Rei sendiri. Jojo segera mendekat, menyalami mereka satu demi satu.

"Selamat malam, tuan Jonathan." Sapa paruh baya yang duduk di tengah. Namanya Harun, lelaki berusia 56 tahun yang Jojo tau adalah pengacara pertama ayahnya.

Jojo duduk di sofa tepat di hadapan mereka, di ikuti oleh Ciko. Sementara Rei, lelaki itu lebih memilih berdiri agak jauh dari sana. Memandangi dengan nanar pertemuan mereka semua.

"Perkenalkan, ini Ciko, pengacara pribadi saya."

Ciko membungkukkan tubuhnya setengah, kala Jojo memperkenalkan dirinya.

Tiga pengacara itu tersenyum ramah kepada Ciko. Ada binar kagum dari ketiga paruh baya itu kala melihat Ciko di hadapannya.

Tak beberapa lama kemudian, datang dua orang perempuan berjalan dengan angkuh dan langsung duduk bergabung dengan mereka. Di susul dengan seorang lelaki, yang langkahnya segera di cegat oleh Rei.

Rei menahan lelaki yang usainya tak jauh darinya. Lelaki bertubuh kurus, berambut agak keriting itu menoleh ke arah Rei dengan mata berisyarat "Ada apa?"

Rei sedikit menarik baju oblong yang lelaki itu kenakan. Lalu membisikan sesuatu di telinga lelaki itu dengan suara yang amat begitu pelan.

"Kenapa pengacara tuan besar akan membacakan surat warisan hari ini. Seharusnya mereka ke sini satu bulan lagi."

Pemuda itu menarik dirinya, sejenak menatap mata Rei tajam sebelum kemudian berbisik kepada Rei.

"Aku tak mengerti. Yang ku tau, tadi sore mama menerima sebuah telpon dan setelah mengangkat telpon itu mama langsung berloncat kegirangan."

Baru akan menjawab ucapan lelaki itu, tiba-tiba suara seorang wanita dari arah ruang tamu memanggil.

"Fernando."

Rei melepaskan cengkraman tangannya pada baju lelaki yang tak lain adik tiri Jojo, Fernando itu. Menyuruhnya untuk segera pergi menghampiri wanita yang memanggil dirinya, yang tak lain adalah Elena mamanya yang amat Jojo benci.

Dengan langkah gontai, Nando biasa sapaan akrab Fernando berjalan. Sesekali, ia melirik kakak lelakinya yang duduk sendiri di sofa dengan raut wajah dingin. Kemudian beralih kepada ibu dan adik perempuannya yang memiliki sifat sama licik, dan egois yang terus tersenyum sumringah sambil memainkan kipas kayu di tangan mereka.

Mata Elena, wanita paruh baya bergaun merah dan bergaya glamor itu memicing. Tak kala melihat anaknya duduk di sebelah Jojo. Sedari dulu, ia amat tak menyukai Nando berdekatan dengan Jojo. Itu adalah aib bagi Elena. Bahkan hal yang begitu menjijikan.

Namun, bukan Nando namanya yang tak mementang ibunya demi untuk bisa berdekatan dengan Jojo. Tak peduli, Elena memberikan tatapan tajam kepada dirinya. Nando tetap diam duduk di sebelah kakaknya. Dia bahkan tersenyum menyapa sang kakak, yang di balas anggukan kecil dan senyum simpul yang begitu indah dari bibir Jojo.

"Baik. Karena semua sudah berkumpul, saya akan memberitahu apa alasan kami bertiga datang malam malam ke rumah ini." Tommy, ayah Rei yang duduk di ujung berkata. Dia kemudian mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya, yang di ikuti oleh ketiga rekannya.

"Seperti sudah menjadi tradisi keluarga Wijaya, tepat tiga hari kepergian pewaris Wijaya grup, kami bertiga akan datang berkunjung untuk membacakan surat wasiat yang di tinggalkan oleh mendiang."

"Sebelumnya," Kini gantian, pengacara yang duduk di tengah berujar. "Surat wasiat ini di tulis dan di sampaikan secara langsung oleh mendiang tuan Abimanyu dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan tidak dalam tekanan dari pihak mana pun. Adapun isi sebagai berikut."

Semua orang di sana terdiam menundukkan kepala. Memasang lekat-lekat telinga mereka untuk mendengarkan surat wasiat yang menurut Rei akan menyebabkan perang dunia ketiga terjadi.

"Pertama memberikan hak asuh anak seluruhnya kepada, Elena Rahayu untuk mengasuh ketiga putra dan putri tuan Abimanyu. Baik dari mendiang istri pertamanya, maupun anak kandung nyonya Elena sendiri.

Kedua, menunjuk pengacara Tommy mengurus semua keperluan hidup dan biaya pendidikan anak ketiga tuan Abimanyu yakni Johanna Tri Wijaya hingga lulus."

"Ketiga," Pengacara yang lain bernama Wisnu akan bicara. Membolak-balikan kertas yang ia letakkan di atas meja lalu mulai membacanya.

"Ini adalah pembagian harta warisan tuan Abimanyu untuk ketiga anak dan istrinya.

Untuk istri saya Elena Rahayu, saya akan mewariskan kepada beliau sebuah rumah yang kini kami tinggali berserta isi dan koleksi mobil-mobil saya. Juga sepetak tanah berukuran dua hektare yang berada di lembang Jawa Barat, sebuah perusahaan kosmetik di daerah tanggerang, juga tabungan sebesar 1.5 miliar rupiah."

"Untuk putri ketiga saya, Johanna Tri Wijaya, saya akan memberikan sebuah apartemen di Keraton Residsence, satu mobil mercedes-benz, dan juga tabungan sebesar 1 miliar rupiah."

"Dan untuk Putra kedua saya, Fernando Dwi Wijaya," Tiba-tiba Elena membetulkan posisi duduknya. Memasang telinganya lebih dalam untuk mendengar warisan yang akan diberikan kepada putranya, yang ia yakini begitu besar.

"Saya akan memberikan kebun kepala sawit saya yang berada di Kalimantan, tabungan sebesar 5 miliar rupiah, sebuah rumah di pondok indah, tiga buah mobil merek Audi, dan satu anak cabang perusahaan saya di surabaya."

"Dan yang terakhir untuk anak pertama saya..."

Elena menjeda ucapan pengacara pribadi suaminya dengan tidak sopan. Wanita itu bangkit dari duduknya dan langsung berkacak pinggang memicingkan mata marah kepada ketiga pengacara di depannya.

"Apa-apaan ini." Katanya dengan suara yang begitu tinggi. "Masa Nando hanya mendapatkan sedikit harta Abi? Dia anak lelakinya, dia seharusnya pantas mendapatkan Wijaya Grup dan mengantikan posisi ayahnya." Sunggut Elena dengan dada yang menggebu-gebu.

"Tenanglah, nyonya. Kami belum selesai membacakan isi surat wasiat seluruhnya." Tommy berkata, mencoba menenangkan Elena yang entah marah-marah tanpa alasan.

Elena kembali duduk, dan berusaha menahan diri untuk mendengarkan kembali isi surat wasiat dari mendiang suaminya.

"Dan untuk putra pertama saya, Joshua Pratama Wijaya saya akan mewariskan seluruh aset Wijaya grup berserta anak perusahaannya, kecuali perusahaan yang telah saya hibahkan kepada Fernando. Juga sebuah tambang batu bara milik mendiang ibunya, rumah di pondok indah berserta isi, serta tabungan milik saya dan mendiang istri saya berjumlah 10 miliar rupiah."

Semua terngaga tak percaya. Ada rasa bahagia yang meluap pada dada Jojo mendengar isi surat wasiat mendiang ayahnya. Ia berhasil. Berhasil mengambil semua kekayaan sang ayah dari tangan licik ibu tirinya. Kini, rasakan bagaimana menjalankan hidup hanya dengan tabungan yang ayahnya berikan sebanyak satu setengah miliar.

"Ini gak adil." Tiba-tiba, Elena berteriak. Sungguh, dia tak terima dengan pembagian harta yang suaminya berikan. Seharusnya, anaknya Nando yang berhak atas kepemilikan Wijaya Grup. Bukan Joshua.

Sambil menujuk ke arah Joshua, Elena berkata dengan mengebu-gebu.

"Kau, anak jalang, pasti sudah memaksa ayah mu melakukan ini kan."

Darah Jojo mendidih mendengar Elena menyebutnya anak jalang. Dia lalu berdiri, mengepal kedua tangannya menatap Elena dan tiba-tiba

Plak...

Satu tamparan mulus di wajah putih Elena. Semua terkejut dan segera bangkit dari duduk mereka. Ciko, langsung menahan tangan Jojo takut lelaki itu lepas kendali lagi dan melakukan hal yang lebih dari itu. Sedangkan Johanna berteriak histeris memeluk sang ibu sambil menangis. Kalau sudah seperti ini, Elena yang angkuh dan selalu menghardik Jojo akan ciut juga karena kemarahan Jojo.

"Sekali lagi kau menghina mendiang ibuku, akan ku pastikan mulutmu tidak akan pada tempatnya."

Tubuh Elena bergetar hebat. Wanita paruh baya itu bahkan tak berani sekedar melirik Jojo seperti biasanya.

"Saya mohon tenanglah." Tommy mencoba melerai. "Jojo, tolong jangan seperti ini. Bagaimana pun, dia ibumu."

"Persetan."

"Saya mohon tolong jangan anarki. Jika kalian seperti ini, saya tidak akan melanjutkan membacakan surat wasiat terakhir mendiang."

Semua terdiam lagi, dan kembali duduk tenang menahan diri.

"Apa kalian bisa untuk tenang?"

Semua menganggukkan kepala serentak.

"Baiklah. Saya akan kembali membacakan surat wasiat terakhir mendiang tuan besar Abimanyu."

"Surat wasiat terakhir Abimanyu menyatakan, meminta satu Syarat mutlak kepada Joshua sebelum mengambil alih seluruh aset yang di miliki mendiang. Syarat mutlak untuk menjadi CEO Wijaya grup dan pemilik semua aset mendiang, Joshua harus menikah dengan seorang wanita dalam kurun waktu satu bulan setelah kematian mendiang. Jika dalam kurun waktu satu bulan, Joshua tidak menemukan pasangan hidup maka seluruh warisan yang dihibahkan kepada Joshua akan di alihkan kepada Elena Rahayu."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status