Share

Part 5

Di kantor, Jojo terus saja mencecar Rei untuk segera mencarikan dirinya wanita untuk di nikahi. Membuat, Rei geram dan akhirnya memerintahkan seorang anak buah kepercayaannya untuk merekrut wanita-wanita dari kampung. Tak masalah polos, dan kampungan. Asal berpendidikan dan dapat menyeimbangi Jojo. Begitu kata Rei kepada Tito, orang kepercayaan Rei. 

Di ruangannya, Jojo tengah kedatangan seorang dua lelaki paruh baya berbaju hitam. Mereka terlihat sangat garang dengan wajah yang penuh bekas luka. Belum lagi tato naga di leher keduanya, membuat siapapun yang melihat akan bergidik ngeri. 

“Jadi bagaimana perkembangan kasus kematian ibuku?” tanya Jojo yang duduk di kursi kebesaran. 

“Kami belum menemukan petunjuk lainnya. Tapi, kami sangat meyakinkan jika ibu anda mati bukan karena kecelakaan mobil.”

Tangan Jojo mengepal erat, bahkan pulpen yang ada di genggamnya sampai patah dan tintanya luber mengotori tangannya. Jojo bangkit dari duduknya, berjalan menuju wastafel untuk membersihkan tinta pada tangannya. 

“Apa menurut kalian, kematian ayahku sama dengan kematian ibuku?”

Sejenak kedua lelaki parah baya itu saling melempar pandangan. 

“Kami belum yakin, tuan. Tapi entah kenapa kami pikir kematian, jam, hari, tanggal, tempat kejadian semuanya sama. Ini bukan kebetulan yang sama.”

Setelah merasa tangannya sudah bersih, Jojo mengelap tangan bersih, putihnya di handuk kecil yang tergantung di sebelah wastafel. Lalu berjalan perlahan untuk berdiri tepat di hadapan kedua lelaki paruh baya itu. 

Digo bersidekap. Memperhatikan keduanya dengan wajah tajam dan nanar. 

“Kalian detektif yang ku sudah sangat lama ku suruh untuk menyelidiki kasus kematian ibuku. Sudah lebih dari tujuh tahun, dan kalian masih menerka-nerka, huh?”

Kepala keduanya lelaki berbaju hitam tertunduk dalam. 

“Maafkan kami, tuan.”

“Lebih baik kalian pergi. Aku mau pertemuan kita selanjutnya, kalian sudah menemukan sesuatu.”

Keduanya pun berpamitan, dan memutar tubuh berjalan meninggalkan ruangan Jojo. Tepat saat mereka membuka pintu, ternyata Rei juga ada di sana dengan berkas-berkas di tangannya. Mereka saling berpapasan, melakukan kontak mata untuk seperkian detik. Namun, sayangnya Rei tidak mengenali kedua orang itu. Meskipun rasa ingin tahu pada diri mencuat, dia berusaha tampik karena beban pekerjaan yang sudah melampaui batas. 

“Aku butuh tanda tangan mu.” Kata Rei, memecah keheningan ruangan Jojo yang besar itu. 

Dia meletakkan setumpuk berkas di meja Jojo, sambil menunggu Jojo menandatangani berkas-berkas yang ia bawa. Rei mengambil sebungkus cemilan dari lemari kecil yang berada di dekat sofa. Lelaki itu memakan cemilan tersebut dengan sangat santai sambil duduk di sofa dan memperhatikan Jojo yang nampak serius membaca berkas yang ia bawa sebelum menandatanganinya. 

Detik berganti menit, tak terasa sudah lebih dari lima belas menit Rei berada di sana. Cemilan yang ia makan pun sudah tandas tak tersisa. Minuman dingin yang baru saja, ia buat pun bernasib sama. Bingung, jenuh dan tak tahu ingin berbuat apa, untuk beberapa saat Rei merasa bosan. Tito pun, orang yang Rei percaya menemukan gadis untuk di nikahi Jojo belum mengabarinya juga. Membuat akhinya rasa penasaran pada diri Rei mencuat lagi tentang kehadiran dua orang asing yang tadi meninggalkan ruangan Jojo. 

“Boleh aku bertanya?” Kata Rei kepada Jojo. 

“Hmm.” Malas Jojo hanya menjawab dengan deheman saja. 

“Siapa dua lelaki tadi yang baru saja keluar dari ruangan, mu?”

Kepala Jojo mendongak. Ada gurat keterkejutan dari sana. Entah sudah sedari kapan, asisten pribadinya itu memiliki rasa ingin tahu yang begitu tinggi kepadanya. Tapi, meski begitu Jojo pura-pura cuek dan tak terpengaruh. Dia kembali melanjutkan membaca berkas-berkas yang Rei berikan kepadanya. 

“Orang suruhanku.”Jelasnya.

Kepala Rei mengangguk-angguk mengerti. Rasa penasarannya berkurang lebih sedikit daripada tadi. Kini, lelaki itu merubah posisi duduknya yaitu dengan tiduran di atas sofa sambil mengeluarkan ponselnya dan memainkannya. 

Saat membuka ponsel tersebut, tak ada notifikasi dari Tito. Rei bersungut-sungut, tak sabar mendengar kabar terbaru dari anak buahnya yang ia utus. 

Jam makan siang baru saja usai. Di kafe yang letaknya tak jauh dari kantor, Jojo makan seorang diri di sana. Rei, memang sudah ijin tak bisa menemaninya makan siang seperti biasa karena ada urusan keluarga yang mendadak, itu karena disebabkan pernikahan Rei dengan Kikan hanya terhitung kurang lebih tiga bulan lagi. 

Sambil duduk mengerjakan pekerjaan dan memakan sepiring salad, Jojo asik dengan dunianya sendiri. Tak peduli orang berlalu-lalang di hadapannya yang bahkan sesekali meliriknya. Walaupun suasana di kafe itu cukup ramai, Jojo nampak terlihat sudah biasa bekerja di tempat keramaian seperti itu. Dia bahkan tak  terganggu dengan suara yang begitu bising, karena memang jam makan siang para karyawan. 

Hingga tak terasa waktu begitu cepat dan Jojo telah berada di kafe itu lebih dari satu jam. Gelas berisikan minuman manis pun telah tiga kali tandas, belum lagi makanan-makan yang setiap lima belas menit sekali keluar. Rasanya, jika setiap hari Jojo menghabiskan waktu makan siangnya di kafe bukan hanya bentuk badannya yang akan berubah drastis dalam waktu cepat, tetapi juga finansialnya yang akan menipis sebelum dia berusia 50 tahun. 

Senyum terlukis di wajah tampan Jojo, ketika jenuh dengan pekerjaannya dan menatap seorang bocah kecil sedang bermain bersama kedua orangtuanya tak jauh dari tempatnya duduk. Bocah lelaki berusia sekitaran dua tahunan itu, terlihat begitu lucu di mata Jojo. Senyumnya, tingkahnya, wajahnya, semuanya membuat Jojo nyaris ingin bergegas menghampirinya dan menggendongnya. Sungguh, entah apa alasannya sedari dulu Jojo sangat menyukai anak kecil seperti itu. 

Dan, saat matanya masih tertuju kepada bocah lelaki tadi tiba-tiba ponselnya berdering. Namanya Rei terpampang jelas di layar ponsel sebagai nama pemanggil. Jojo segera membereskan barang-barangnya, lalu berdiri meninggalkan kafe dengan tak lupa meninggalkan beberapa lembar uang seratus ribuan di atas meja. Dia keluar dengan ponsel di telinganya. 

“Ada apa, Rei?”

“Tuan, aku sudah menemukan calon istri yang tepat untukmu.”

Langkah kaki, Jojo terhenti. Dia tersenyum begitu lebar mendengar ucapan dari asisten pribadinya itu. Matanya langsung berbinar cerah menatap kendaraan yang berlalu-lalang di sekitaran jalan merdeka. 

Akhirnya setelah tiga hari menunggu, Rei berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Segera saja, Jojo menyuruh Rei menjadwalkan pertemuannya dengan wanita tersebut, setelah mengatakan itu Rei pun langsung menutup telponnya dan menghubungi Ciko untuk menyiapkan surat pra-nikah yang sebelumnya dia minta secara diam-diam. 

“Siapkan surat pra-nikah yang ku suruh kemarin.” Katanya, saat telepon baru saja di angkat. 

“Hah? Kau benar-benar menjadi menikah kontrak?”

Dengan santai, Jojo melanjutkan perjalanannya. “Tentu. Persiapkan segalanya, secepatnya aku akan menemuimu dengan membawa wanita itu.”

Terdengar jelas dari balik telpon, Rei berdecak tak percaya. 

“Cih, hatimu benar-benar sudah tertutup dendam. Bagaimana, jika kau berakhir dengan bucin seperti film wedding aggrement yang kau tonton itu, huh?”

Masih dengan penuh percaya diri, dan semangat yang menggebu-gebu di hatinya, Jojo berucap dengan lantang. 

“Itu tidak akan pernah terjadi. Jika itu terjadi, aku akan membelikan mu sebuh helikopter model terbaru.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status