Share

Part 7

Gubuk di pinggir sawah dengan pencahayaan lampu pijar yang hampir redup itu berdiri. Rumah yang begitu jauh dari pemukim dan satu-satunya mungkin rumah  ada di desa itu hampir rubuh termakan usia. Kayu-kayunya saja yang berfungsi sebagai penyangga sudah hampir reot di makan rayap. Atap-atapnya yang terbuat dari genteng tradisional juga beberapa ada yang bolong. Membuat kadang kala, jika hujan turun  air hujan langsung masuk ke dalam rumah. Membuat Sarah terkadang kelabakan karena takut membuat rumah banjir dan mengganggu ibunya yang sakit keras. Tetapi, meskipun begitu rumah berlantai tanah itu menjadi tempat satu-satunya Sarah pulang. Meskipun gubuk, reot, dan hampir roboh. Sarah tetap bersyukur masih memiliki rumah untuknya bernaung dari panas dan hujan di luar sana. 

Sambil menggenggam plastik berisi beras yang ia beli di warung Bi Titing tadi, Sarah membuka pintu rumah. Kepalanya menyembul memastikan tak ada ayahnya yang pulang untuk mencari dirinya dan meminta uang dari dia. Matanya terus menyelisik, menyapu seluruh ruangan gubuk itu dengan teliti dan perasaan takut. Hingga, dia memastikan sang ayah belum pulang, Sarah pun segera masuk dan langsung mengunci pintu. 

Di kamar, seorang wanita paruh baya tengah terbaring lemah tak berdaya mencoba bangkit kala mendengar suara pintu terbuka. Wanita setengah baya yang sudah berkeriput, dan beruban itu mencoba bangkit dari tidurnya. Berjalan dengan tertatih-tatih untuk siapa yang pulang ke rumah. 

“Sudah pulang, Rah?” 

Sarah yang tengah meletakan beras terlonjak kaget, ketika mendengar sebuah suara yang memecah keheningan rumah itu. Tubuhnya reflek berputar dan menemukan sang ibu yang sedang berdiri di ambang pintu kamar dengan satu tangannya bertumpu memegang pintu. 

“Ibu, ibu kenapa bangun?” Sarah mendekat dan mencoba membantu sang ibu kembali ke kamar. 

Namun, ibunya menolak dan lebih memilih untuk duduk di kursi makan yang telah usam. 

“Ibu udah minum obat?” tanya Sarah sembari menuangkan air dan memberikannya kepada ibu. 

Kepala ibu mengangguk. “Sudah, neng.”

Sarah tersenyum sembari duduk dan mengusap tangan ibunya yang telah di tutupi keriput dengan lembut. Matanya berbinar, tak kuasa melihat ibunya yang semakin hari semakin kurus. 

“Buk, sabar, ya. Sarah janji bakal bawa ibu ke kota untuk menjalankan kemoterapi yang di anjurkan dokter.”

Kepala ibu menggeleng cepat. Sedari dulu, wanita tua tak berdaya itu tidak mau menyusahkan anaknya. Apalagi saat Sarah harus putus sekolah karena ulah ayahnya yang menghabiskan uang. Ibu menjadi menyalahkan dirinya sendiri. Semua semakin di perparah ketika dokter menyatakan ibu memiliki penyakit kanker, dia semakin mengalahkan diri tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk Sarah. Dan malah hanya menyusahkan hidupnya Sarah saja. 

Meskipun berkali-kali, Sarah menegaskan semua ini bukan salah ibunya. Tetap saja, ibunya bersih kukuh ini semua salahnya. Andai saja, ibu tidak memutuskan untuk pensiun lebih cepat dari seorang guru. Mungkin saja, saat itu Sarah masih bisa melanjutkan pendidikannya dan sekarang hidup enak dengan pekerjaan yang layak. 

“Buk, tadi Sarah ketemu dengan Kang Tito.”

Kepala Ibu menengadah menatap anaknya dengan lekat. 

“Kang Tito menawarkan pekerjaan untuk, Sarah.” 

Mata ibu berbinar. Entah ini mimpi atau tidak, Tito anaknya Bi Titing menawarkan pekerjaan untuk Sarah yang tidak memiliki ijasah tinggi sepertinya. Ibunya pun penasaran, lalu bertanya mengenai pekerjaan yang di tawarkan Kang Tito dengan nada yang terbata-bata. 

“Memang apa pekerjaan yang di tawarkan, Tito?”

Belum juga, Sarah menjawab. Tiba-tiba pintu rumahnya di gedor dengan cukup keras. Kedua orang itu pun langsung terlonjak kaget. Serempak menoleh ke arah pintu. 

“Bapak mu pulang, neng.” Kata ibu yang sudah tau siapa orang yang begitu kasar mengetuk pintu keras di malam seperti itu. 

Sarah pun bangun, hendak membuka pintu. Dan saat pintu itu terbuka seorang lelaki paruh baya muncul dengan kasar langsung mendorong pintu cukup keras. Saking kerasnya membuat Sarah tersungkur jatuh ke lantai tanah rumahnya. Ibu yang melihat berusaha bangkit untuk menolong Sarah. Tetapi sayang, lelaki paruh baya berpenampilan acak-acakan dan bau tak sedap itu keburu mendorong tubuh ringkih ibu dengan kasar. Ibu ikut jatuh. Bahkan kepalanya hingga membentur tembok rumah. 

“Akh!”

Ibu meringis kesakitan. Tak lama setelahnya cairan kental berwarna merah keluar dari kepala ibu di ikuti dari hidungnya. Sarah yang melihat itu panik, berusaha bangkit untuk menolong ibu. 

Namun, teganya lelaki paruh baya yang tak lain ayahnya langsung menarik lengan tangan Sarah. Mendorong tubuh anak semata wayangnya itu untuk duduk di kursi makan. Kepala Sarah menunduk. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis. Apalagi melihat ibunya yang sudah tak berdaya dengan darah yang membasahi wajahnya. Dengan nada penuh gemetar, Sarah pun mencoba bicara dengan ayahnya apa mau dia sampai pulang ke rumah dengan keadaan marah-marah seperti ini. 

“Ba–pak kenapa seperti ini?”

Tanpa merasa iba, ayahnya mencengkeram rambut Sarah hingga membuat kepalanya mendongak. 

“Kenapa lo bilang? Lo udah berani, huh sama gua?”

Cairan air mata terus merembes. Sarah menangis tersedu-sedu tak mengerti ucapan ayahnya itu. 

“Pak, Sarah gak ngerti maksud bapak apa?”

“Oh, jadi lo gak ngerti maksud gua, huh?” Sungut bapak semakin mempererat cengkraman pada rambut Sarah. 

“Kemana lo seharian ini? Kenapa gua cari ke pasar lo gak ada, huh? Mau ngehindar dari gua? Gak mau lo gua pintai duit, huh?”

Sarah menggelengkan kepala lagi. Ayahnya yang kalap, langsung menarik rambut Sarah dan mendorongnya kemana sang ibu tersungkur. Sarah menangis, memeluk ibunya yang tak berdaya untuk menyembunyikan diri. 

“Anak gak tau diri, lo. Udah gua gedein, bukannya bersyukur. Anak sialan.” Hardiknya terus menerus membuat hati Sarah menjerit. 

Setelah puas memaki Sarah, ayahnya kemudian pergi tak lupa dengan membawa sejumlah uang hasil  Sarah seharian kuli panggul di pasar. Lelaki itu akan kembali ke terminal dimana bandar cina berada. Menghabiskan uangnya dengan mabuk-mabukan, berjudi, dan menyewa pelacur. 

Sambil mengusap airmatanya, Sarah memeluk ibunya. Ibunya pun membalas pelukan Sarah. Seraya berkata “Sabar, neng.” Dan perlahan pengelihatan ibunya pun memudar. 

Sarah yang masih mendekap tubuh sang ibu tersadar. Lalu, ia melihat wajah sang ibu yang telah pucat pasih, matanya tertutup, bibirnya putih. Mata Sarah membulat, dia pun segera memangku tubuh sang ibu. 

"Ibu, ibu, ibu bangun." Sarah mulai panik.

Dia menggoyang-goyangkan tubuh ibunya. Sembari menyeka darah yang masih saja keluar dari pelupuk dahi dan hidung. Merasa tak ada jawaban dari sang ibu pun, Sarah mulai kelabakan. Dia menangis histeris. Mulai berteriak meminta tolong kepada warga siapa saja yang mungkin kebetulan sedang melewati dekat rumahnya. 

"Ibu, Sarah mohon bertahan lah. Sarah mohon bertahan demi Sarah, buk." Ucapnya dengan nada bergementar takut sang ibu kenapa-kenapa. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status