"Kamu harus melunasi biaya pengobatan dan rawat berjalan, kalau tidak kami tidak bisa merawat ibumu di rumah sakit ini dan dengan terpaksa kami harus mengeluarkan ibu kamu dari sini!" ucap Mahen.
"Tapi, Dok. Aku belum mendapatkan uang sebanyak itu. Tidak bisakah, biarkan ibuku di sini dulu dan beri aku waktu untuk mencari uang?!" pinta Shania dengan tatapan memohon.Air mata Shania tidak berhenti mengalir karena khawatir akan nasib sang ibu jika harus dikeluarkan dari rumah sakit ini. Dia belum sanggup kehilangan wanita yang satu-satunya dia miliki itu.'Tapi aku harus ke mana? Leonard saja tidak bisa membantuku,' batin Shania."Secepatnya ya, agar kami bisa melanjutkan perawatan seperti biasa," ucap Carl menatap gadis malang itu.Shania mengangguk lalu meninggalkan ruangan Carl dengan cepat. Dia mencoba memikirkan cara agar bisa mendapatkan uang ratusan dolar dengan cepat.Shania Zeeburgh, gadis berumur 19 tahun. Saat ini sedang menjaga ibunya yang telah didiagnosa mengidapi kanker pankreas stadium 3.Sejak sang ibu ditahan di rumah sakit, Shania tidak punya waktu untuk diri sendiri. Padahal pada awalnya, dia merupakan seorang anak gadis kaya dan manja. Dia tidak pernah melakukan pekerjaan apa pun hingga saat ayahnya meninggal dunia dan sang ibu berbaring di rumah sakit, merubah segala yang dia miliki."Secepatnya, aku harus secepatnya mendapatkan uang!" tekad Shania menggebu-gebu.Shania mulai terpikir untuk mendatangi Johnsen — Adik dari mendiang ayahnya. Walaupun, Shania yakin pria tua itu tidak akan memberinya uang seperti yang dia harapkan."Tidak ada salahnya mencoba, lagi pula ke mana aku harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu yang cepat? ujar Shania lirih seraya menghembuskan napasnya kasar. Mengingat wajah sang ibu, dadanya kembali seperti dihantam ribuan ton batu.Sebelum Shania hendak pergi menemui sang paman, dia menyempatkan diri berpamitan dengan ibunya. Walaupun, wanita paruh baya itu masih tidak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.Shania berjalan kaki sambil memikirkan cara lain selain menemui sang paman. Entah kenapa rasanya sangat berat untuk bertemu dengan adik dari mendiang ayahnya itu?Tiba-tiba Shania berhenti melangkah dan matanya menatap ke sebuah klub dan kasino yang sangat terkenal di kota itu."Mungkin aku sudah gila! Kenapa otakku mengatakan bahwa di dalam sana aku bisa mendapatkan uang yang banyak? Hah! Sudahlah lupakan saja." Gadis itu menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan semua pikiran yang ada di kepalanya.Beberapa menit kemudian, kaki Shania tetap membawanya masuk ke dalam bangunan yang mewah itu.Jujur saja, Shania merasa ingin muntah ketika masuk ke dalam bangunan itu karena dari bagian luar saja, bau aroma nikotin sangat kuat hingga menusuk ke dalam indera penciumannya.'Tolong, seseorang beritahu aku, apa yang aku lakukan ini salah, tetapi mau ke rumah paman juga pasti sia-sia. Ck!' batin Shania sambil berdecak.Tiba-tiba seorang pria bertubuh gempal dan berkumis tebal menyenggol pundak Shania."Eh, maaf, Adik. Paman tidak sengaja," ucap pria itu dengan nada yang lembut."Ah, tidak apa-apa. Salah aku juga tidak melihat jalan," sahut Shania memaksakan senyum dan sedikit menjauh dari lelaki itu."Oh ya ...," pria itu menelisik penampilan Shania. "Adik mau ke mana? Tempat ini tidak cocok untuk gadis secantik Adik," lanjut pria itu."Eh, er ... aku, aku mau mencari kerja di sini paman," jawab Shania dengan polos.Pria itu langsung membulatkan matanya lalu menatap Shania dengan tatapan yang sulit diartikan."Ikuti Paman." Pria itu menarik tangan Shania lalu membawanya ke ruangan yang terdapat banyak gadis cantik."Kau bertemu dengan orang yang tepat!" ucap pria itu.Kini, Shania berada di dalam ruangan yang dipenuhi oleh gadis cantik dengan pakaian yang sangat-sangat terbuka. Shania menelan saliva dengan susah payah, merasa bahwa kini dirinya benar-benar tak memiliki jalan keluar.'Aku pasti sudah gila!' batin Shania.* * *"Sean, aku ingin menemui temanku. Kau bisa langsung pulang setelah selesai," ucap Steven."Baik, Tuan," sahut SeanSteven berlalu pergi meninggalkan Sean yang masih menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi. Dia sudah berjanji bersama teman-temannya untuk bertemu di klub ternama di kota ini.Steven Kent pria dewasa berumur 34 tahun merupakan seorang pengusaha dalam bidang limbah kimia. Setelah beberapa bulan sibuk di meja kerjanya, Steven sengaja mengosongkan jadwal hari ini untuk meluangkan waktu sembari bertemu teman-teman lama.Singkatnya, kini Steven berada di ruang vip duduk bersama ke tiga teman lamanya. Mereka berbagi cerita seperti para pria lajang pada umumnya."Eh, kalian tahu tidak? Paman Max punya anak buah baru dan dia sangat-sangat cantik!" ujar teman Steven yang bernama Gerald."Kau kalau hal-hal seperti itu selalu dapat informasi yang cepat," sindir pria bernama Bernard pula seraya memutar bola matanya malas."Aku penasaran," sahut Steven tersenyum miring."Wah, cepat, Ger! Kau harus menyuruh paman Max untuk mengirim anak buahnya yang baru itu ke sini karena Stev sudah mulai penasaran," ujar pria terakhir yang bernama Carry dengan nada sindiran."Ok baik!" Gerald langsung membuat panggilan ke nomor paman Max yang merupakan pemilik klub dan kasino itu.Pintu ruang vvip mereka diketuk, dengan cepat Gerald membuka pintu ruangan mereka dan terlihat paman Max lebih dulu masuk dan di susuli dengan seorang gadis yang terlihat begitu cantik.Steven tersentak, dia mengerutkan dahinya karena dia mengenali gadis yang bersama paman Max itu.'Shania? Kenapa dia bisa di sini? Kenapa aku tidak mengetahui tentang hal ini,' batin Steven menatap Shania tak berkedip."Silakan, Nia!" ucap Max lalu meninggalkan gadis itu di dalam ruangan VIP."Selamat malam, sebelum saya mulai menemani tuan-tuan sekalian, saya harus beritahu bahwa siapa pun pelanggan saya, akan saya kenakan bayaran yang tinggi. Apakah Anda mampu tuan-tuan?" ucap Shania yang dipanggil Nia oleh Max."Wow, baru kali ini wanita klub yang menawar harga dirinya sendiri dengan tinggi. Hebat!" ejek Bernard dengan menepuk tangan."Apakah kau masih tersegel?" tanya Gerald seraya tersenyum mengejek."Iya, Tuan," jawab Shania percaya diri, tetapi jari-jari tangan yang saling meremas satu sama lain dengan keringat dingin mengucur. Menandakan bahwa gadis muda itu sedang gugup"Buktinya?" timpal Bernard ikut menyambung."Apa kau ingin tidur denganku?" Shania kembali melontarkan pertanyaan dengan raut wajah yang serius.Pertanyaan Shania membuat Steven dan Carry kompak terbatuk-batuk. Steven langsung menatap tajam ke arah Shania."Kau sungguh berani gadis kecil!" ujar Carry geleng-geleng kepala."Kenapa tidak?" tantang Shania serius."Baiklah, aku sanggup membayarmu. Jika kau mau tidur denganku," ucap Steven.Ucapan Steven tadi membuat ketiga temannya kompak menoleh ke arah lelaki itu. Baru kali ini mereka mendengar ucapan pria hidung belang keluar dari mulut Steven."Stev, kau serius?" tanya Carry."Baiklah, tetapi aku mau menegaskan bahwa harga diriku sama sekali tidak cocok dengan dirimu," sahut Shania.'Sepertinya, aku pernah melihat pria ini, tetapi di mana?' ucap Shania dalam hati.Steven tersenyum miring lalu berdiri dan berjalan mendekati Shania. Tanpa banyak berkata lagi, Steven langsung menarik tangan Shania untuk membawanya keluar dari dalam ruangan itu."Kau hendak membawaku ke mana?! tanya Shania kesal karena lelaki itu menariknya dengan kasar."Menidurimu!" sahut Steven dengan serius, tetapi ekspresi wajah santai.'Sial! Aku gali lobang untuk diriku sendiri. Habislah aku kali ini!'Bersambung ...Teman-teman Steven hanya menatap kepergian Steven bersama gadis yang menurut mereka sangat berani."Apa kau yakin Steven bakal meniduri gadis itu?" tanya Gerald pada Bernard dan Carry."Mungkin saja hal itu akan terjadi. Lihat saja wajah Steven begitu serius, aku yakin dia dan gadis itu bakal melewati malam panas malam ini," sahut Bernard.Carry hanya diam dan masih menatap ke arah pintu. Sebenarnya, dia merasa sedikit familiar dengan wajah gadis itu, tetapi dia tidak yakin di mana dia pernah menemukan gadis itu.Sementara, di tempat Steven pula. Kini, mereka telah sampai di parkiran mobil. Steven telah melepaskan pegangan tangannya pada Shania dan menatap Shania dengan tatapan tajam."Kenapa kau bisa berada di tempat ini?" tanya Steven, "bukankah kau seharusnya berada di rumah sakit. Menjaga ibumu?" lanjut Steven lagi.Shania langsung mengerutkan dahinya. Dari mana pria ini tahu? Begitulah pikirnya. Ternyata benar dugaannya bahwa dia pernah bertemu dengan pria ini karena tahu tentang
Pernikahan antara Shania dan Steven terjadi sekelip mata. Kini mereka telah pulang dari pemberkatan oleh pendeta di gereja.Shania tidak bisa berkata apa-apa, entah kenapa dia hanya diam dan mengikuti saja ucapan kedua beradik tersebut. Sementara, Stella pula terlihat begitu puas."Oh ya, Kak Shania. Sekarangkan, Kakak sudah menjadi seorang istri. Jadi aku harap, Kakak bisa memutuskan hubungan Kakak dengan pacar Kakak karena status Kakak bukan lagi lajang," saran Stella yang penuh dengan maksud tersirat."Maaf, tetapi aku tidak punya pacar," jawab Shania."Le-- err maksud aku, benarkah?" tanya Stella lagi.Shania hanya mengangguk saja untuk membenarkan kata-katanya, sedangkan Steven hanya diam menatap ke arah jalan raya yang penuh dengan kenderaan.Tiba-tiba Shania teringat dengan kejadian 2 minggu yang lalu dan ternyata ini bukanlah kali pertama dia bertemu dengan Steven dan Stella.'Ck, ternyata waktu itu ya! Pantas saja dia tahu tentang ibu,' batin Shania sambil dalam diam mencuri
Operasi pengangkatan kanker pankreas pada sang ibu sedang berjalan. Shania di temani oleh Leonard di ruang luar ruang operasi."Shania, ibu pasti baik-baik saja. Percayalah," ucap Leonard mencoba menengkan Shania.Shania hanya mengangguk dan mulai bersandar pada dada bidang Leonard. Sembari Leonard mengusap kepala Shania, jika dilihat mereka persis seperti sepasang kekasih.Tanpa keduanya sadar, Steven telah berdiri tidak jauh dari mereka. Dia melihat posisi romantis itu dengan matanya sendiri. Steven pun mengepalkan tangannya lalu meninggalkan rumah sakit itu dalam keadaan marah.Sementara Shania masih bersandar, tiba-tiba ponselnya kentangnya itu berbunyi. Nama Steven tertera pada layar ponsel.Shania menjawab tanpa mau bergerak seinci pun dari dada bidang Leonard."Aku masih menunggu ibu ku operasi," ucap Shania lebih dulu."Iya, sambil bermesraan bersama kekasihmu!" sahut Steven dari seberang sana."Aku tidak ada kekasih, jangan membual sembarangan," jawab Shania polos."Terus yan
Shania mengirim pesan pada Leonard agar tidak mendatangi rumah sakit untuk seminggu terakhir ini karena dia takut Steven nekad mengganggu Leonard.Apalagi, yang paling Shania takuti adalah rencananya bersama Leonard terbongkar dan Steven yang mengacaukannya. Oleh itu, Shania memilih untuk lebih baik berhati-hati.Sementara, di tempat Leonard. Dia mulai merasa pusing, bagaimana harus menjalani tanggungjawabnya terhadap Shania jika dia tidak menemui Shania."Tuan Cristo, maaf kali ini mungkin aku sedikit gagal tapi ke depannya aku akan menjaga dan melindungi Shania sesuai dengan janji dan sumpah yang pernah aku katakan," ucap Leonard.Seminggu tidak menemui Shania adalah waktu yang sangat lama. Dia masih ingat ketika dirinya dikirim ke luar negara untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah Leonard berhasil, dia dikagetkan dengan berita bahwa mendiang ayah Shania sedang sekarat di rumah sakit. Setelah itu, Leonard benar-benar seperti orang yang hilang arah tuju apalagi mendiang ayah Shania la
Leonard masih terdiam karena terkejutannya. Baginya, Shania benar-benar dalam masalah besar kali ini. Istri Steven? Yang benar saja. "Ternyata kau yang menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai," ucap Leonard.Masih saja Leonard teringat permainan aktingnya bersama Shania. Walaupun, terdapat gurat khawatir pada wajahnya, Leonard coba senatural mungkin menghadapi Steven."Segera lupakan Shania! Dia telah menjadi milikku dan kau tidak wajar untuk mencintainya lagi," tegas Steven.Leonard tersenyum lalu berkata, "Milikmu? Apa kau yakin, Shania benar-benar milikmu?"Raut wajah Steven mendadak memerah, dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Leonard. Namun, Steven juga tidak bisa mengakui bahwa Shania benar-benar miliknya."Ck, untuk sekarang mungkin dia masih mencintai kau, tetapi ke depannya, aku adalah rumahnya dan satu-satunya pria yang telah menempati hatinya," ucap Steven dengan begitu yakin."Stev, aku tahu kau hanya memanfaatkan Shania. Kau menikahinya karena uang dan beberapa pe
"Sssh." Shania membuka matanya yang terasa begitu berat dan kepala masih terasa pusing."Kau sudah bangun? Kepala kau masih sakit?" tanya Leonard yang sedari tadi berada di sisi Shania."Leo, aku kenapa?" Bukan menjawab, Shania malah kembali bertanya."Kau pingsan karena terlalu banyak menangis, mungkin juga tertekan," jawab Leonard.Shania langsung mengangkat pandangannya menatap Leonard. Wajah Leonard terlihat lesu dan khawatir. Matanya juga terlihat merah.Deg!Ibu! Shania teringat akan Natalia sang ibu kandungnya. Dia lantas menoleh ke arah sekitarnya. Di mana Natalia? Dia tidak melihatnya."Leo, Leo, ibu di mana? Aku tadi bermimpi ibu ..., meninggalkan kita." Shania menggoyangkan lengan Leonard dengan tangisan yang kembali pecah.Leonard hanya diam dan tidak menjawab, hanya saja matanya jelas terlihat berkaca-kaca. Sungguh miris, gadis yang berjuang hingga mengorbankan diri demi sang ibu yang sekarat berakhir begini.Leonard lantas menarik Shania dan membawa masuk ke dalam peluka
Proses pemakaman telah selesai. Shania dan Leonard masih duduk di sebelah kuburan Natalia. Air mata terlihat mengalir di pipi Shania, namun tidak terdengar isak tangisan."Ibu, selamat beristirahat. Nia, bakal merindui ibu, Nia sayang ibu," ucap Shania lirih.Leonard pula hanya menatap papan nama Natalia dengan sendu, namun terlihat gurat amarah pada wajahnya."Nia, kita pulang ya. Sudah hampir sore, tidak baik untuk berada di sini," ujar Leonard.Shania mengangguk lalu berpamitan dengan sang ibu. Mereka pun keluar dari tanah perkuburan itu. Setelah tiba di luar kawasan perkuburan, Shania menangkap sosok pria yang sangat dia benci. Ingin sekali dia meneriaki dan memukul pria itu, tetapi dia masih belum memiliki kekuatan."Shania," panggil Leonard.Shania menoleh ke arah Leonard dengan raut wajah sendu. Tangan Shania yang digenggam Leonard pun segera Leonard lepaskan perlahan."Kau tahu batasmu dan kau, Shania! Cepat masuk ke mobil," perintah Steven dingin.Shania menatap Leonard, dia
"Aku cuma bertanya," jawab Steven dingin.Shania memasang wajah datar. Lalu berkata, "Ok, oh ya, aku ingin keluar sedikit, ada yang aku harus beli."Steven diam, dia menatap Shania dengan intens seperti ingin membaca pikiran Shania. Namun, apa yang dia cari tidak terlihat."Terserah, yang penting kau harus pulang sebelum jam 12 malam," sahut Steven."Aku hanya pergi ke toko 24 jam di seberang jalan, tidak butuh sampai berjam-jam," ujar Shania.Steven menjeling lalu lanjut memasuki kamar miliknya, dia tidak ingin peduli tentang Shania. Selama, Shania tidak berhubungan dengan pria lain.Setelah melihat Steven menutup pintu kamar dengan rapat, Shania kembali membalas pesan Leonard. Dia memberitahu Leonard untuk menemuinya, di toko 24 jam seberang jalan yang berdekatan dengan apartemen Steven.Shania pun bersiap-siap untuk keluar. Dia menggunakan baju yang agak tebal karena masih merasa kedinginan.Ketika telah tiba di toko seberang jalan, Shania menunggu Leonard di dalam toko dan berdiri