Operasi pengangkatan kanker pankreas pada sang ibu sedang berjalan. Shania di temani oleh Leonard di ruang luar ruang operasi.
"Shania, ibu pasti baik-baik saja. Percayalah," ucap Leonard mencoba menengkan Shania.Shania hanya mengangguk dan mulai bersandar pada dada bidang Leonard. Sembari Leonard mengusap kepala Shania, jika dilihat mereka persis seperti sepasang kekasih.Tanpa keduanya sadar, Steven telah berdiri tidak jauh dari mereka. Dia melihat posisi romantis itu dengan matanya sendiri. Steven pun mengepalkan tangannya lalu meninggalkan rumah sakit itu dalam keadaan marah.Sementara Shania masih bersandar, tiba-tiba ponselnya kentangnya itu berbunyi. Nama Steven tertera pada layar ponsel.Shania menjawab tanpa mau bergerak seinci pun dari dada bidang Leonard."Aku masih menunggu ibu ku operasi," ucap Shania lebih dulu."Iya, sambil bermesraan bersama kekasihmu!" sahut Steven dari seberang sana."Aku tidak ada kekasih, jangan membual sembarangan," jawab Shania polos."Terus yang sandari itu siapa? Kau kira aku buta!" ujar Steven emosi."Oh, Leonard. Hmm," sahut Shania lalu bergumam.Leonard yang namanya disebut pun menjawab Shania dan suara Leonard terdengar di dalam panggilan telepon Steven."Ada apa Shania?" jawab Leonard dengan tangan masih betah mengusap kepala Shania."Tidak, Leo," ujar Shania.Sementara, Steven yang mendengar nada suara Shania yang lebih lembut ketika berbicara kepada Leonard langsung mematikan panggilan secara sepihak."Sial! Perempuan ini benar-benar tidak tahu diri!" maki Steven, "Sean, kau harus menambah poin terakhir dalam kontrak itu dan katakan tidak boleh berhubungan dengan pria lain!" lanjut Steven lagi.Sean mengangguk lalu segera menambahkan poin pada kontrak perjanjian itu. Kebetulan, Seam sedang menggunakan laptop untuk memeriksa beberapa laporan sebelum dikirim langsung ke email Steven.Kembali ke rumah sakit di mana Shania berada."Leo, Steven mengira kau kekasih ku," ucap Shania."Terus dia memarahi kau? Apa aku harus menjaga jarak dengan kau juga?" tanya Leonard dengan wajah penasaran."Mungkin dia akan meminta aku menjauhi kau, tetapi tenang saja tidak semudah itu dia bisa mengawal setiap gerak gerikku!" jawab Shania.Sepertinya, Shania sudah mulai menebak sifat asli Steven. Namun, Shania tidak akan membiarkan dirinya dikekang apalagi hubungan pernikahan ini menurutnya akan terjadi sementara saja.Shania telah berfirasat bahwa Steven akan menyulitkan dirinya. Oleh itu, Shania tinggal hanya menunggu hal itu terjadi lalu memikirkan rencananya sendiri.***Keesokannya, Shania telah pulang ke rumah miliknya dengan sang ibu. Dia bersyukur karena operasi semalam berjalan dengan lancar.Shania pulang ke rumahnya karena ingin membersihkan diri, namun belum saja dia melangkah masuk ke kamar, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah Shania dengan kuat."Siapa? Siang-siang begini?" tanya Shania pada dirinya sendiri.Shania pun tidak menunggu lama dan langsung saja membuka pintu utama rumah itu. Mata Shania dibuat membulat ketika melihat wajah Steven, pria yang merupakan suami dadakannya kini berada di hadapan pintu rumahnya.Tanpa permisi, Steven menolak pintu itu dengan lebar lalu memasuki rumah Shania. Dia melihat ke sekitarnya dan mulai duduk di atas sofa ruang tengah."Kalian periksa setiap sudut!" perintah Steven.Shania yang masih berdiri dekat pintu pun harus menepi karena beberapa pria asing masuk dan langsung memeriksa isi rumah Shania."Ck, kau cari apa?" tanya Shania."Cari kekasih sialan kau itu!" jawab Steven dingin.Shania mendengus ketika mendengar ucapan Steven. Namun, dia tidak bisa menjelaskan tentang Leonard dengan berlebihan apalagi Shania belum tahu semua tentang Steven."Sudah Tuan! Pria itu tidak berada di rumah ini," ucap salah satu pria tadi."Lah, memang Leonard tidak ada di sini. Emangnya dia mau buat apa di rumah aku?" sahut Shania dengan sinis."Kau sudah menikah dan kau berselingkuh!" bentak Steven.Namun, tidak ada gurat gusar karena takut pada wajah Shania. Hal itu, membuat Steven semakin kesal lalu memanggil Sean untuk mengeluarkan kontrak yang telah dia sediakan."Silakan baca ini!" Steven melempar sekeping map yang berisi dokumen itu pada Shania.Shania menatap tajam ke arah Steven karena sifatnya. Benar-benar pria kaya yang tidak memiliki sopan santun! Begitulah menurut Shania.Shania pun membuka map tersebut lalu membaca setiap isi dokumen yang bertuliskan tentang kontrak pernikahan.'Uang bulanan 2 miliar, ini cukup untuk memenuhi kebutuhan rawat kemotrapi ibu. Ck, sekali lagi aku harus menerima kontrak ini,' batin Shania."Bagaimana? Kalau se--" ucapan Steven terhenti ketika Shania mencapai pulpen yang berada di atas meja lalu menandatangan kontrak perjanjian pernikahan itu.'Ternyata dia matre!' ejek Steven dalam hati."Sudah selesai dan kalau tidak ada apa-apa lagi, silakan pergi karena aku masih memburu waktu untuk ke rumah sakit," jelas Shania.Steven menyeringai, dia terlihat begitu mengerikan di mata orang-orang yang menakuti dirinya, sedangkan bagi Shania, Steven hanyalah sebagai sumber uang perawatan sang ibu."Apa kau tidak membaca dengan seksama setiap poin di dalam kontrak itu? Kau harus tinggal bersama aku dan harus melayani aku seperti seorang istri yang melayani suami pada umumnya," ucap Steven memperingatkan Shania."Aku tahu, tetapi ibu aku baru saja selesai operasi dan kau sebagai suami pada umumnya harus mengerti," jawab Shania.Steven tidak menyangka ternyata Steven berani menjawab ucapannya. Dia mulai tertawa kecil karena menganggap remeh seorang Shania."Baiklah, untuk seminggu ini aku izinkan kau merawat ibu kau, tetapi setelah seminggu kau harus pulang ke apartemen aku dan layani aku sebagai suami kau!" ujar Steven dengan tegas.Shania hanya tersenyum dan tidak menjawab ucapan Steven. Dia mungkin bisa menebak teka teki yang ada pada pikiran Steven."Oh iya, jangan lupa poin terakhir. Putuskan pria itu dan kau tidak boleh berhubungan dengan pria lain selain aku," lanjut Steven, lagi-lagi memperingati Shania."Jangan khawatir, aku akan mengikuti semua syarat yang kau ajukan, tetapi aku ingin menambah satu syarat dari aku pada kontrak perjanjian ini, bisa kan?" ucap Shania dengan senyuman palsunya."Hanya satu? Bisa saja, kau hanya perlu tambah di bagian bawah poin terakhir." Steven kembali menyerahkan pulpen pada Shania.Shania menerima pulpen dari Steven dan langsung saja menulis satu syarat yang dia maksudkan tadi. Setelah selesai, Shania menyerahkan dokumen itu pada Steven untuk dibaca dan ditandatangani.Ketika Steven membaca syarat Shania, dia merasa sedikit kesal karena awalnya dia mengira Shania akan menulis tentang harta yang harus Shania dapati, tetapi yang Shania tulis sangat jauh dari pikirannya.'Jangan mencampuri sedikit pun urusan pribadinya? Emang urusan pribadi apa yang dia ada? Kenapa dia tidak menulis untuk mendapat keuntungan dirinya dari aku. Ck, wanita ini memang aneh! Tapi tunggu saja, aku akan membuat kau menderita setelah kau merasa tersanjungi dengan sikapku!' ucap Steven dalam hati.Bersambung...Shania mengirim pesan pada Leonard agar tidak mendatangi rumah sakit untuk seminggu terakhir ini karena dia takut Steven nekad mengganggu Leonard.Apalagi, yang paling Shania takuti adalah rencananya bersama Leonard terbongkar dan Steven yang mengacaukannya. Oleh itu, Shania memilih untuk lebih baik berhati-hati.Sementara, di tempat Leonard. Dia mulai merasa pusing, bagaimana harus menjalani tanggungjawabnya terhadap Shania jika dia tidak menemui Shania."Tuan Cristo, maaf kali ini mungkin aku sedikit gagal tapi ke depannya aku akan menjaga dan melindungi Shania sesuai dengan janji dan sumpah yang pernah aku katakan," ucap Leonard.Seminggu tidak menemui Shania adalah waktu yang sangat lama. Dia masih ingat ketika dirinya dikirim ke luar negara untuk melanjutkan kuliahnya. Setelah Leonard berhasil, dia dikagetkan dengan berita bahwa mendiang ayah Shania sedang sekarat di rumah sakit. Setelah itu, Leonard benar-benar seperti orang yang hilang arah tuju apalagi mendiang ayah Shania la
Leonard masih terdiam karena terkejutannya. Baginya, Shania benar-benar dalam masalah besar kali ini. Istri Steven? Yang benar saja. "Ternyata kau yang menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai," ucap Leonard.Masih saja Leonard teringat permainan aktingnya bersama Shania. Walaupun, terdapat gurat khawatir pada wajahnya, Leonard coba senatural mungkin menghadapi Steven."Segera lupakan Shania! Dia telah menjadi milikku dan kau tidak wajar untuk mencintainya lagi," tegas Steven.Leonard tersenyum lalu berkata, "Milikmu? Apa kau yakin, Shania benar-benar milikmu?"Raut wajah Steven mendadak memerah, dia tahu apa yang dimaksudkan oleh Leonard. Namun, Steven juga tidak bisa mengakui bahwa Shania benar-benar miliknya."Ck, untuk sekarang mungkin dia masih mencintai kau, tetapi ke depannya, aku adalah rumahnya dan satu-satunya pria yang telah menempati hatinya," ucap Steven dengan begitu yakin."Stev, aku tahu kau hanya memanfaatkan Shania. Kau menikahinya karena uang dan beberapa pe
"Sssh." Shania membuka matanya yang terasa begitu berat dan kepala masih terasa pusing."Kau sudah bangun? Kepala kau masih sakit?" tanya Leonard yang sedari tadi berada di sisi Shania."Leo, aku kenapa?" Bukan menjawab, Shania malah kembali bertanya."Kau pingsan karena terlalu banyak menangis, mungkin juga tertekan," jawab Leonard.Shania langsung mengangkat pandangannya menatap Leonard. Wajah Leonard terlihat lesu dan khawatir. Matanya juga terlihat merah.Deg!Ibu! Shania teringat akan Natalia sang ibu kandungnya. Dia lantas menoleh ke arah sekitarnya. Di mana Natalia? Dia tidak melihatnya."Leo, Leo, ibu di mana? Aku tadi bermimpi ibu ..., meninggalkan kita." Shania menggoyangkan lengan Leonard dengan tangisan yang kembali pecah.Leonard hanya diam dan tidak menjawab, hanya saja matanya jelas terlihat berkaca-kaca. Sungguh miris, gadis yang berjuang hingga mengorbankan diri demi sang ibu yang sekarat berakhir begini.Leonard lantas menarik Shania dan membawa masuk ke dalam peluka
Proses pemakaman telah selesai. Shania dan Leonard masih duduk di sebelah kuburan Natalia. Air mata terlihat mengalir di pipi Shania, namun tidak terdengar isak tangisan."Ibu, selamat beristirahat. Nia, bakal merindui ibu, Nia sayang ibu," ucap Shania lirih.Leonard pula hanya menatap papan nama Natalia dengan sendu, namun terlihat gurat amarah pada wajahnya."Nia, kita pulang ya. Sudah hampir sore, tidak baik untuk berada di sini," ujar Leonard.Shania mengangguk lalu berpamitan dengan sang ibu. Mereka pun keluar dari tanah perkuburan itu. Setelah tiba di luar kawasan perkuburan, Shania menangkap sosok pria yang sangat dia benci. Ingin sekali dia meneriaki dan memukul pria itu, tetapi dia masih belum memiliki kekuatan."Shania," panggil Leonard.Shania menoleh ke arah Leonard dengan raut wajah sendu. Tangan Shania yang digenggam Leonard pun segera Leonard lepaskan perlahan."Kau tahu batasmu dan kau, Shania! Cepat masuk ke mobil," perintah Steven dingin.Shania menatap Leonard, dia
"Aku cuma bertanya," jawab Steven dingin.Shania memasang wajah datar. Lalu berkata, "Ok, oh ya, aku ingin keluar sedikit, ada yang aku harus beli."Steven diam, dia menatap Shania dengan intens seperti ingin membaca pikiran Shania. Namun, apa yang dia cari tidak terlihat."Terserah, yang penting kau harus pulang sebelum jam 12 malam," sahut Steven."Aku hanya pergi ke toko 24 jam di seberang jalan, tidak butuh sampai berjam-jam," ujar Shania.Steven menjeling lalu lanjut memasuki kamar miliknya, dia tidak ingin peduli tentang Shania. Selama, Shania tidak berhubungan dengan pria lain.Setelah melihat Steven menutup pintu kamar dengan rapat, Shania kembali membalas pesan Leonard. Dia memberitahu Leonard untuk menemuinya, di toko 24 jam seberang jalan yang berdekatan dengan apartemen Steven.Shania pun bersiap-siap untuk keluar. Dia menggunakan baju yang agak tebal karena masih merasa kedinginan.Ketika telah tiba di toko seberang jalan, Shania menunggu Leonard di dalam toko dan berdiri
Leonard menatap wajah Shania penuh kasih. Dia tersenyum lalu mengusap puncak kepala Shania."Kau mau aku menganggap kau seperti apa?" bukan menjawab, Leonard malah kembali bertanya.Shania hanya diam, dia juga tidak tahu ingin menjawab seperti apa. Apalagi, dirinya sudah berstatus istri. Andai saja Leonard mau mengerti mungkin Shania bisa lebih yakin dalam memberi jawaban."Terserah kau, Leo," jawab Shania. "Kalau begitu, apa kau mau menganggapku sebagai satu-satunya keluarga yang ada di dunia ini?" ujar Leonard sembari bertanya.Sudut bibir Shania terangkat ke atas, dia lantas memeluk Leonard. Sangat berharap urusannya bersama Steven cepat selesai."Leo, aku harus pergi. Nanti, kita bertemu lagi ya. Kau tetap jaga diri dan selalu berhati-hati," ucap Shania setelah melepaskan pelukkannya."Kau juga, jangan terlalu khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri dan yang harus dikhawatirkan itu kau, jangan mudah termakan jebak
"Shania? Bukankah kau ...?" Leonard terlihat kaget."Aku sebenarnya, kebutulan ingin mampir loh," jelas Shania.Leonard mendekati Shania yang mengenakan masker putih dan kaca mata biasa, agar bisa menutupi dirinya. Namun, penampilannya mudah ditebak oleh Leonard."Kita makan siang yuk," ajak Leonard.Shania mengangguk lalu memasuki taksi yang telah menunggu Leonard sedari tadi. Sepanjang perjalanan, Shania terlihat diam."Shania, kita sudah hampir mencapainya," ucap Leonard memecah keheningan di antara mereka."Leo, kalau suatu hari aku jadi jahat. Aku minta padamu teruskan rencana kita," ujar Shania."Jahat? Apa maksud kau?" Leonard bingung.Shania pun mengeluarkan botol kecil dari dalam tas selempangnya, lalu ditunjukkan pada Leonard.Mata Leonard membulat, dia menatap Shania tidak percaya lalu kembali menatap botol kecil itu. Leonard mulai menunjukkan raut wajah khawatir."Paman, berhenti di taman depan," ucap Leonard tiba-tiba.Singkatnya, kini Leonard dan Shania sudah duduk di ba
"Kenapa mereka juga berada di sini?" tanya Leonard pada Shania.Shania menoleh sekilas ke arah Stella dan Steven yang berada tidak jauh dari brankar Leonard. Dia pun mengendikkan bahunya."Bagaimana perasaan kau?" tanya Shania kemudian."Baik saja, tetapi suasana hatiku benar-benar buruk," jawab Leonard.Tiba-tiba Stella memberanikan diri mendekati brankar Leonard. Stella juga memasang wajah bersalah dan sangat berharap Leonard bisa memaafkannya."Leo, aku ... kami meminta maaf atas kesalahpahaman selama ini," kata Stella dengan nada rendah.Leonard hanya menoleh sekilas ke arah Stella, lalu di menatap Shania dengan tatapan yang sulit diartikan."Shania, aku ingin beristirahat, bisakah biarkan aku sendiri," pinta Leonard.Shania hanya mengangguk lalu segera keluar dari kamar dan disusuli oleh Steven. Sementara, Stella masih berdiri di tempat, menatap Leonard dengan penuh berharap."Leo," panggil Stella.Leonard mengabaikan Stella, dia menutup matanya lalu menarik selimut menutupi hing