"Sssh." Shania membuka matanya yang terasa begitu berat dan kepala masih terasa pusing."Kau sudah bangun? Kepala kau masih sakit?" tanya Leonard yang sedari tadi berada di sisi Shania."Leo, aku kenapa?" Bukan menjawab, Shania malah kembali bertanya."Kau pingsan karena terlalu banyak menangis, mungkin juga tertekan," jawab Leonard.Shania langsung mengangkat pandangannya menatap Leonard. Wajah Leonard terlihat lesu dan khawatir. Matanya juga terlihat merah.Deg!Ibu! Shania teringat akan Natalia sang ibu kandungnya. Dia lantas menoleh ke arah sekitarnya. Di mana Natalia? Dia tidak melihatnya."Leo, Leo, ibu di mana? Aku tadi bermimpi ibu ..., meninggalkan kita." Shania menggoyangkan lengan Leonard dengan tangisan yang kembali pecah.Leonard hanya diam dan tidak menjawab, hanya saja matanya jelas terlihat berkaca-kaca. Sungguh miris, gadis yang berjuang hingga mengorbankan diri demi sang ibu yang sekarat berakhir begini.Leonard lantas menarik Shania dan membawa masuk ke dalam peluka
Proses pemakaman telah selesai. Shania dan Leonard masih duduk di sebelah kuburan Natalia. Air mata terlihat mengalir di pipi Shania, namun tidak terdengar isak tangisan."Ibu, selamat beristirahat. Nia, bakal merindui ibu, Nia sayang ibu," ucap Shania lirih.Leonard pula hanya menatap papan nama Natalia dengan sendu, namun terlihat gurat amarah pada wajahnya."Nia, kita pulang ya. Sudah hampir sore, tidak baik untuk berada di sini," ujar Leonard.Shania mengangguk lalu berpamitan dengan sang ibu. Mereka pun keluar dari tanah perkuburan itu. Setelah tiba di luar kawasan perkuburan, Shania menangkap sosok pria yang sangat dia benci. Ingin sekali dia meneriaki dan memukul pria itu, tetapi dia masih belum memiliki kekuatan."Shania," panggil Leonard.Shania menoleh ke arah Leonard dengan raut wajah sendu. Tangan Shania yang digenggam Leonard pun segera Leonard lepaskan perlahan."Kau tahu batasmu dan kau, Shania! Cepat masuk ke mobil," perintah Steven dingin.Shania menatap Leonard, dia
"Aku cuma bertanya," jawab Steven dingin.Shania memasang wajah datar. Lalu berkata, "Ok, oh ya, aku ingin keluar sedikit, ada yang aku harus beli."Steven diam, dia menatap Shania dengan intens seperti ingin membaca pikiran Shania. Namun, apa yang dia cari tidak terlihat."Terserah, yang penting kau harus pulang sebelum jam 12 malam," sahut Steven."Aku hanya pergi ke toko 24 jam di seberang jalan, tidak butuh sampai berjam-jam," ujar Shania.Steven menjeling lalu lanjut memasuki kamar miliknya, dia tidak ingin peduli tentang Shania. Selama, Shania tidak berhubungan dengan pria lain.Setelah melihat Steven menutup pintu kamar dengan rapat, Shania kembali membalas pesan Leonard. Dia memberitahu Leonard untuk menemuinya, di toko 24 jam seberang jalan yang berdekatan dengan apartemen Steven.Shania pun bersiap-siap untuk keluar. Dia menggunakan baju yang agak tebal karena masih merasa kedinginan.Ketika telah tiba di toko seberang jalan, Shania menunggu Leonard di dalam toko dan berdiri
Leonard menatap wajah Shania penuh kasih. Dia tersenyum lalu mengusap puncak kepala Shania."Kau mau aku menganggap kau seperti apa?" bukan menjawab, Leonard malah kembali bertanya.Shania hanya diam, dia juga tidak tahu ingin menjawab seperti apa. Apalagi, dirinya sudah berstatus istri. Andai saja Leonard mau mengerti mungkin Shania bisa lebih yakin dalam memberi jawaban."Terserah kau, Leo," jawab Shania. "Kalau begitu, apa kau mau menganggapku sebagai satu-satunya keluarga yang ada di dunia ini?" ujar Leonard sembari bertanya.Sudut bibir Shania terangkat ke atas, dia lantas memeluk Leonard. Sangat berharap urusannya bersama Steven cepat selesai."Leo, aku harus pergi. Nanti, kita bertemu lagi ya. Kau tetap jaga diri dan selalu berhati-hati," ucap Shania setelah melepaskan pelukkannya."Kau juga, jangan terlalu khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri dan yang harus dikhawatirkan itu kau, jangan mudah termakan jebak
"Shania? Bukankah kau ...?" Leonard terlihat kaget."Aku sebenarnya, kebutulan ingin mampir loh," jelas Shania.Leonard mendekati Shania yang mengenakan masker putih dan kaca mata biasa, agar bisa menutupi dirinya. Namun, penampilannya mudah ditebak oleh Leonard."Kita makan siang yuk," ajak Leonard.Shania mengangguk lalu memasuki taksi yang telah menunggu Leonard sedari tadi. Sepanjang perjalanan, Shania terlihat diam."Shania, kita sudah hampir mencapainya," ucap Leonard memecah keheningan di antara mereka."Leo, kalau suatu hari aku jadi jahat. Aku minta padamu teruskan rencana kita," ujar Shania."Jahat? Apa maksud kau?" Leonard bingung.Shania pun mengeluarkan botol kecil dari dalam tas selempangnya, lalu ditunjukkan pada Leonard.Mata Leonard membulat, dia menatap Shania tidak percaya lalu kembali menatap botol kecil itu. Leonard mulai menunjukkan raut wajah khawatir."Paman, berhenti di taman depan," ucap Leonard tiba-tiba.Singkatnya, kini Leonard dan Shania sudah duduk di ba
"Kenapa mereka juga berada di sini?" tanya Leonard pada Shania.Shania menoleh sekilas ke arah Stella dan Steven yang berada tidak jauh dari brankar Leonard. Dia pun mengendikkan bahunya."Bagaimana perasaan kau?" tanya Shania kemudian."Baik saja, tetapi suasana hatiku benar-benar buruk," jawab Leonard.Tiba-tiba Stella memberanikan diri mendekati brankar Leonard. Stella juga memasang wajah bersalah dan sangat berharap Leonard bisa memaafkannya."Leo, aku ... kami meminta maaf atas kesalahpahaman selama ini," kata Stella dengan nada rendah.Leonard hanya menoleh sekilas ke arah Stella, lalu di menatap Shania dengan tatapan yang sulit diartikan."Shania, aku ingin beristirahat, bisakah biarkan aku sendiri," pinta Leonard.Shania hanya mengangguk lalu segera keluar dari kamar dan disusuli oleh Steven. Sementara, Stella masih berdiri di tempat, menatap Leonard dengan penuh berharap."Leo," panggil Stella.Leonard mengabaikan Stella, dia menutup matanya lalu menarik selimut menutupi hing
Shania menggelengkan kepalanya. Siapa Melinda? Kenapa wanita asing ini bertanya padanya dengan nada sedikit menyindir."Terus kau siapa?" tanya wanita itu lagi."Shania," jawab Shania jujur dan singkat.Wanita tadi memicingkan matanya, dia sepertinya coba mengingat nama Shania jika dia pernah mendengarnya. Akan tetapi, nama itu tidak pernah keluar dari mulut Steven."Kau buat apa di sini?" Wanita itu kembali bertanya."Aku istri pria tadi." Lagi-lagi Shania menjawab dengan jujur.Mata wanita tadi membulat hingga kakinya melangkah mundur karena saking kagetnya. Dia meneguk air liur, kenapa dia baru tahu bahwa Steven mempunyai istri."Err.. maafkan aku karena bersikap sedikit sombong, kenalkan aku Kaila, teman sekaligus sekretaris tuan Steven," ucap wanita tadi yang bernama Kaila.Shania mengerutkan dahinya, dia menatap tangan Kaila yang ingin bersalaman padanya. Kaila saat ini terlihat lebih sopan, ketimbang beberapa menit tadi, walaupun pakaiannya sangat terbuka."Jangan terlalu sopan
"Leo, kau di mana?" tanya Shania lewat panggilan telepon."Aku masih di lapangan, ada apa? Kau terdengar cemas?" sahut Leonard dari seberang sana."Aku cuma mengkhawatirkan kau, Leo," jawab Shania jujur.Leonard yang berada di seberang sana tersenyum mendengar ucapan Shania. Andaikan tidak ada batas pemisah antara mereka sudah tentu Shania akan menjadi satu-satunya wanita yang akan mendampingi dirinya."Aku akan pulang besok, kita bisa bertemu lusa," beritahu Leonard."Aku menunggumu! Cepatlah pulang dan senantiasa berhati-hati di mana pun kau berada," pesan Shania.Beberapa menit kemudian, Shania akhirnya bisa tenang walaupun jantungnya masih saja berdebar."Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir. Sudahlah, aku harus tetap positif," ucap Shania sembari mengusap dadanya.Shania pun melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi. Dia memberesi serpihan kaca, lalu membuangnya ke dalam tong sampah setelah membungkusi kaca tersebut menggunakan kain lusuh miliknya.Singkatnya, malam telah