Share

BAB 4

“Aku kira kamu tidak akan datang.”

Suara dalam dari pria yang tengah terduduk di kursi restoran ruang VIP selagi menatap ke arahnya membuat Jennar mendengus kesal. 

Meski dalam mode kesal, Jennar memutuskan untuk mengubah caranya berbicara agar lebih formal. “Saya tidak pernah ingkar janji, Pak Dean” ujarnya, sengaja memberi penekanan khusus terhadap nama pria di hadapan. 

Tanpa Jennar sadari, sudut bibir pria itu terangkat, membentuk sebuah senyuman saat melihat dirinya menumpahkan emosi selagi memotong daging di atas piring dengan begitu barbar. Pancaran mata pria bernetra zamrud itu menunjukkan rasa terhibur kala pandangannya mendarat pada bibir Jennar yang merengut menggemaskan.

Dengan tatapan lekat pada setiap gerakan gadis itu, Dean berujar, “Mengenai tawaran saya kemarin–”

“Anda bisa membicarakannya dengan agensi saya.” Jennar tersenyum, dalam hatinya bersorak penuh kemenangan. ‘Rasain!’ makinya. ‘Sudah ganti waktu seenak jidat, masih mau dapatin kerja sama? Enak aja!’ Jennar tidak berhenti menggerutu dalam hati. “Hari ini, kita berbincang mengenai satu sama lain saja, bagaimana?”

Sayangnya, reaksi pria di hadapan Jennar tidak sesuai harapan. Bukannya terlihat marah atau paling tidak memasang wajah tidak senang, Dean malah menatap gadis itu dengan tenang.

“Ini tidak sesuai pembicaraan kita kemarin,” ujar Dean. “Aku kemari untuk membahas kerja sama denganmu.”

Jennar menaikkan bahunya. “Saya tidak bisa menyetujui tawaran kerja sama tanpa adanya persetujuan agensi.” Sebuah senyuman tipis tersungging di wajah gadis tersebut seiring dia membatin, ‘Gila, Jennar. Pinter banget sih lo aktingnya!

“Begitukah?” tanya Dean dengan pandangan datar. Kemudian, pria itu pun mengutak-utik ponselnya sebentar, membuat Jennar mengerutkan kening.

Apa yang dia lakukan?’ batin Jennar, sedikit tersinggung karena pria itu memilih untuk sibuk dengan ponselnya. 

Tidak semua orang mendapatkan kesempatan makan dengannya, oke? Apa tidak bisa sedikit saja pria itu menghargai keberadaannya?!

Tepat ketika Jennar memikirkan hal tersebut, getaran dari dalam tasnya sendiri menarik perhatian gadis tersebut. Dia meraih ponselnya dan menatap layarnya hanya untuk berakhir dengan mata membesar.

‘Bu CEO?!’ batin Jennar, merasa terkejut lantaran pimpinan agensi turun tangan untuk menghubungi dirinya. Gadis itu kembali mengangkat pandangan dan menatap Dean, merasa tidak enak, tapi dia harus mengangkat panggilannya.

“Silakan,” ucap Dean dengan sebuah senyuman tipis penuh arti, tahu sang gadis tengah meminta izinnya.

Akhirnya, Jennar pun mengangkat telepon itu. “Halo? Ya?” Kening mulus gadis itu berkerut. “Tapi, Bu saya masih ada kontrak–” Maniknya terarah kepada Dean, entah kenapa memancarkan kekesalan. “Saya mengerti ….”

Setelah mematikan panggilan itu, Jennar melemparkan tatapan mematikan kepada Dean yang menyantap hidangannya dengan tenang. Pria itu seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja gadis itu bahas, atau paling tidak … dia sudah tahu apa yang telah terjadi.

Jennar menaruh ponselnya di atas meja. “Ibu Imelda? Serius?” Dia menatap pria itu dengan kesal. ”Seharusnya pembicaraan ini hanya antara kita saja.” 

Pria itu menatap Jennar, dan berujar dengan tenang, “Kamu sendiri yang berkata perlu ada persetujuan agensimu, bukan?”

“Aku mengundangmu makan malam karena ingin berterima kasih, kenapa kamu malah memaksaku ke dalam sebuah kerja sama?” balas Jennar, merasa Dean sangat tidak tahu terima kasih.

Dean meletakkan alat makannya dan meneguk sedikit anggur dari dalam gelasnya. Dia menatap Jennar selagi berkata, “Dan aku menerima undanganmu karena mengira kita akan membicarakan kerja sama, kenapa kamu terus menolaknya?”

Mendengar balasan Dean, Jennar merasa kehabisan kata. ‘Ya ampun, muka ganteng, tapi kenapa sikapnya nyebelin kayak gini?! Cowok ganteng di dunia ini nggak ada yang bener apa?!’ geramnya seraya meraih gelas berisi anggur merah dan meneguknya cepat. ‘Emang cuma ada dua tipe cowok di dunia ini.’ Dia membanting gelasnya dan menancapkan pandangannya pada wajah rupawan Dean. ‘Kalau nggak baj*ngan, ya ho–! Eh ….

“Jennar, kamu baik-baik saja?”

Suara Dean terngiang di telinga Jennar. Akan tetapi, entah kenapa pandangan gadis tersebut mulai membuyar.

“Aku ….”

Jennar ingin menjelaskan, tapi bibirnya terasa kelu. Pandangannya terarah pada gelas anggur yang kosong, lalu alisnya tertaut. 

Anggur macam apa yang–

Namun, sebelum Jennar bahkan bisa menyelesaikan ucapan batinnya, semuanya berubah menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status