Share

BAB 6

“Kamu kenapa, Sayang? Lesu banget."

Suara wanita paruh baya yang tengah duduk di sampingnya, menyadarkan Jennar dari lamunannya.

Gadis itu menoleh pada sang ibu sambil mengulum senyum tipis. "Nggak apa-apa, Mi. Aku hanya sedikit lelah saja,” kilah Jennar.

Kemarin, setelah terbangun di ruangan yang sama, Jennar dan Dean langsung menemui manajemen hotel untuk memeriksa rekaman CCTV hotel. Namun, pihak hotel menyatakan CCTV mengalami kerusakan di malam tersebut dan berakhir tidak memiliki rekaman apa pun.

Walaupun Jennar merasa tenang lantaran tidak ada bukti yang bisa mengganggu reputasinya, tapi Dean berpikiran sebaliknya. Seseorang telah menjebak mereka dan menempatkan mereka bersama dalam kondisi tidak senonoh, sesuatu jelas akan terjadi.

‘Dia bilang akan menemukan pelakunya, tapi sampai sekarang masih belum ada kabar,’ batin Jennar sembari menggigit bibirnya.

Memang Dean menyatakan agar gadis itu duduk manis dan tidak berulah, bahkan menyuruhnya untuk melupakan masalah itu karena dia akan membereskannya. Akan tetapi, karena dirinya, seorang model dan selebgram ternama, terlibat, Jennar jelas tidak bisa tenang!

“Makanya jangan semua tawaran pekerjaan kamu ambil. Sekali-kali istirahat, sayang…" omel ibunya.

"Iya, Mami Zeca," jawab Jennar menyebut nama sang ibu sambil mencolek hidungnya.

"Kamu ini …," decak sang ibunda saat sang anak menggodanya.

Jennar tersenyum tipis, kemudian mengedarkan pandangannya ke arah lain guna mencari keberadaan sang ayah. Abhinav, ayah Jennar, ternyata tengah berbincang dengan seseorang di telepon.

Saat ini, Jennar bersama kedua orang tuanya sedang berada di sebuah ruangan VVIP salah satu restoran mewah, guna memenuhi undangan salah satu sahabat dekat dari orang tuanya, yang Jennar sendiri pun tidak tahu siapa. Karena saat tiba di sana, ruangannya masih kosong.

“Pap—”

Gadis itu baru akan memanggil ayahnya, saat tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan memunculkan sepasang suami istri, serta seorang pria muda tampan yang berdiri di belakang mereka.

Sepasang mata Jennar hampir melompat keluar saat melihat Dean berdiri di sana.

'Gawat! Kok dia bisa di sini, sih?!'

Jennar seketika mengumpat dan langsung memalingkan wajahnya ke arah lain sambil berusaha menutupinya dengan salah satu tangannya.

Kedua mata Jennar bergerak gelisah mengamati sekelilingnya.

'Gue harus keluar dari sini!' batin Jennar panik. Di tengah kepanikan itu, tatapan Jennar berhenti pada sebuah pintu lain yang ada di ruangan tersebut.

Dengan perlahan Jennar berdiri, berniat melangkahkan kakinya secepat mungkin untuk meninggalkan ruangan tersebut. Namun baru beberapa langkah kecil, sang ibu yang duduk di sampingnya menangkap pergelangan tangan Jennar dan menahannya.

“Kamu mau ke mana?” tanya wanita tersebut.

“I-itu, Mi... aku mau—”

“Duduk!" perintahnya. "Nggak sopan pergi saat om dan tante baru datang!” tegur Zeca pada putrinya.

Mau tidak mau, Jennar terpaksa memasang senyuman paling manis di hadapan para orangtua. Berpura-pura menjadi anak yang baik. ‘Tenang. Paling lama dua jam doang di sini. Jangan panik, Jennar. Pasang senyuman terbaik lo!’

Berbeda dari kedua orangtua Jennar dan Dean yang tampak asyik berbincang di sela-sela menyantap hidangan makan malam, kedua muda mudi itu justru hanya terdiam dan menanggapi ocehan para orang tua dengan sebuah anggukan atau seulas senyuman tipis.

Sambil menanggapi beberapa pertanyaan yang diajukan untuknya, tangan Jennar sibuk di bawah meja. Gadis itu mengetikkan sesuatu untuk Dean yang duduk di hadapannya.

‘Jangan sampai ada yang tahu soal kemarin!’

Jennar memperhatikan Dean yang mengeluarkan ponselnya dari saku jas dan terlihat membaca sesuatu di sana–yang gadis itu yakini adalah pesan darinya. Kemudian, gadis itu melihat sebelah alisnya terangkat.

Namun, tingkah pria itu yang memasukkan kembali ponselnya membuat Jennar terbelalak. ‘Wah, apa dia baru saja mengabaikanku? Kurang ajar sekali.’

Ingin rasanya Jennar diam-diam menendang kaki Dean yang berada di bawa meja, tapi sayangnya, kakinya tidak cukup panjang untuk menjangkau kaki pria itu.

Sebuah tepuk tangan yang antusias, membuat perhatian Jennar teralihkan.

Ibunda Dean tersenyum lebar. Dia berkata dengan nada riang, “Kalian tahu nggak, kalau acara makan malam ini bukan sekedar temu kangen?”

Kalimat ibunda Dean yang terdengar sedikit ambigu itu pun otomatis membuat Jennar melempar tatapan penuh tanya pada wanita paruh baya tersebut.

“Seperti yang kalian tahu, kami sudah bersahabat sejak lama, bahkan keluarga Ganendra sudah menganggap om Abhi dan tante Zeca seperti keluarga sendiri." Kali ini, orang yang menyahut adalah Catra Dewantara Ganendra, ayah Dean.

“Dan sekarang, impian kami akan segera terwujud, melalui pernikahan kalian!” seru Abhi–ayah Jennar–dengan gembira.

Namun, pernyataannya itu jelas membuat kedua anak mereka sama-sama terkejut.

“Pernikahan?!” Tanpa sadar, Jennar memekik kaget. Dia menatap kedua orangtuanya dengan tatapan tidak terima.

“Iya, pernikahan, Sayang...” sahut ibunda Jennar dengan santainya. “Sebenarnya, dari dulu kalian sudah kami jodohkan,” sambungnya lagi dengan antusias.

“Dijodohkan?!” Suara Jennar semakin melengking tinggi. “Memangnya sekarang masih zamannya Siti Nurbaya?!” protesnya tidak terima.

“Jennar!”

Ayahanda Jennar seketika memelototi putrinya yang langsung menyatakan penolakannya dengan lantang. Namun, Jennar bersikap tidak peduli.

“Nggak! Pokoknya aku nggak mau nikah!” ucap Jennar penuh emosi. “Papi sama Mami jangan seenaknya gitu dong! Aku ini udah dewasa! Aku yang menentukan jalan hidupku sendiri!” tegasnya. “Aku mau fokus sama karir dulu!” Jennar lagi-lagi menyuarakan penolakannya, tidak peduli pada reaksi para orang tua yang jelas terkejut dengan reaksi gadis itu.

Sekilas, gadis itu melirik ke arah Dean yang masih tidak mengatakan apapun, membuat Jennar semakin kesal.

'Kenapa dia tidak mengatakan apapun?!’ batin Jennar kesal.

“Jennar, sayang... kamu tenang du—”

Tok ... Tok ... Tok ...

Ketika Ibunda Dean berusaha menenangkan putri sahabatnya, sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka semua. Seorang pelayan muncul, dia berjalan masuk dengan membawa sebuah amplop coklat.

“Ehm, permisi. Maaf mengganggu waktunya, tapi kami ingin memberikan titipan untuk Tuan Catra Dewantara Ganendra,” ujar pelayan tersebut, menyebutkan nama lengkap Catra.

“Untuk saya?” Pria paruh baya itu sontak mengerutkan keningnya.

“Iya, Tuan.”

Pelayan itu lantas mengangguk kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Catra, sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Ekspresi kebingungan masih terlihat di wajahnya, tapi ia tetap membuka amplop coklat itu. Hanya saja, sesaat setelah beliau membuka amplop itu, kedua matanya tampak membelalak kaget. Emosi selanjutnya yang memenuhi matanya adalah kemarahan.

Entah kenapa, Jennar merasakan atmosfer di ruangan tersebut menjadi terasa menegangkan, hingga membuat bulu kuduknya ikut berdiri.

“Ada apa?” tanya Ibunda Dean hati-hati saat melihat raut marah pada wajah suaminya.

Namun, alih-alih menjawab, Catra malah memberikan tatapan penuh kemarahan kepada putranya, sebelum kemudian beliau melemparkan foto-foto tersebut ke atas meja.

“Jelaskan foto-foto ini!!!” bentak Catra penuh emosi.

Jennar yang sudah merasakan firasat buruk, seketika tampak menegang di tempat duduk saat mengetahui kalau foto-foto tersebut adalah foto-fotonya bersama Dean. Foto-foto yang diambil dengan posisi mereka yang saling berpelukan dengan sebuah selimut yang menutupi tubuh polos mereka!

“Saya sudah memutuskan, pernikahan kalian akan dipercepat!”

Mendengar pernyataan tersebut, sontak saja membuat Jennar dan Dean saling bertukar pandang dengan ekspresi wajah mereka yang tampak syok dan tegang.

'Mampus gue!!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status