"Perkenalkan, ini calon suami Mba, namanya Pak Rido Saputra. Sebelum meninggal, Almarhum Bapaknya Mba sudah titipkan pesan, kalau Mba harus menikah dengan Pak Rido. Beliau seorang duda dengan tiga orang anak yang ...."
Manik seorang wanita yang baru saja melepas sebutan remaja dan telah sepenuhnya menjadi dewasa itu membulat sempurna. Wanita itu membuang napas gusar. Mimpi apa dia semalam sehingga tiba-tiba disuguhi oleh kenyataan mendadak dan pahit ini!?
Tak kuasa untuk mendengar pembicaraan itu lebih lanjut, wanita itu pun berteriak lancang, "Cukup!"
Seketika, ruangan menjadi hening. Selembar foto menjuntai ke atas lantai. Wanita itu memasang wajah kesal, berbeda dengan seorang lelaki paruh baya di depannya yang justru tersenyum cerah.
"Apa Papa nggak salah? Kenapa bikin wasiat aneh-aneh sih! Aku harus menikah dengan Aki-aki seperti itu? Udah punya anak pula! Ah!"
Bayangan sebelum papanya benar-benar akan pergi tiba-tiba melayang dalam benak.
"Anakku Amala, Pak Rido adalah sahabat papa yang begitu baik. Papa yakin, Beliau akan bisa menjaga Amala sebagaimana papa menjaga Amala sekarang. Jadi, papa begitu ingin jika Amala bisa menerima Pak Rido dalam kehidupan Amala."
Dengan itu, seketika, dunia Amala terasa runtuh.
***
Beberapa anak berlari dengan begitu senang seraya bersorak keras. Beberapa kali dari mereka hampir saja tertabrak dan jatuh. Tak hanya itu, suara keras mereka seolah sanggup memecah gendang telinga.
Amala berdesis kesal. Jika bukan karena ada kepentingan, dia benar-benar tidak akan mau pergi ke tempat seperti ini. Sekolah dasar tepatnya, di mana dia akan bertemu dengan Pak Rido, pria yang dijodohkan dengannya.
Beliau adalah seorang guru di sekolah dasar yang kini diinjaki Amala. Coba bayangkan saja, sudah akan menikah dengan lelaki tua, ditambah pula dia merupakan seorang guru dan memiliki tiga orang anak. Apa tidak buat pusing kepala?
Amala yang sedang sibuk menyelesaikan skripsinya itu, kini harus dilibatkan dengan hal yang semakin membuatnya begitu keras.
"Dek, mau cari siapa?"
Amala berhenti. Dia menoleh hingga mendapati seorang guru wanita cantik yang menatapnya. Mungkin aneh saja melihat gelagat Amala yang berjalan tanpa arah sambil sesekali celingukan itu.
"Pak ... Pak Rido."
"Oh, Adek anaknya Pak Rido, ya?"
Amala hanya bisa tertawa meringis. Belum apa-apa saja dia sudah dikira anak lelaki tua itu. Bagaimana ketika dia sudah menikah nanti? Seusai basa-basi dan meninggalkan guru muda itu, Amala kemudian bergerak ke luar gerbang. Wanita itu berdiri di sana menunggu hingga sahabat papanya itu muncul.
Beberapa menit berlalu, cukup lama hingga kemudian Amala mendengar suara seseorang memanggil.
"Dik Amala."
Amala menoleh cepat. Dia tidak bisa berbohong jika cukup kaget melihat pak guru itu kini di hadapan dirinya sembari memberikan senyuman selembut sutra.
Harus diakui, meskipun sudah berkeluarga, pria yang sudah berumur 43 tahun itu masih memiliki paras bak sultan arab. Rahangnya yang kuat, serta hidungnya yang mancung, bisa membuat wanita manapun menoleh ketika berada di dekat pria itu. Begitu juga dengan Amala, meskipun dia membenci perjodohan ini, Amala tak bisa memungkiri bahwa Pak Rido memang … tampan.
Sebenarnya, ini bukan pertemuan pertama Amala dengan sahabat papanya itu, namun adalah kedua kalinya setelah di hari pemakaman papanya dua bulan yang lalu.
"Apa ada hal penting yang ingin Dik Amala sampaikan?"
Melihat Amala yang hanya diam saja, Rido kemudian melangkah lebih dekat. Sekilas, Amala mengingatkannya pada anaknya sendiri, Reza yang kini sedang sibuk menyelesaikan studi akhir juga.
Dalam hati, Rido sebenarnya tahu apa yang dirasakan oleh Amala. Dirinya sendiri terkejut ketika mendengar permintaan dari sahabatnya sendiri untuk menikahi Amala. Bagaimana dengan Amala sendiri yang masih sibuk dengan urusan kuliahnya?
"Gak usah basa-basi, Pak. Bapak udah tahu kedatangan saya untuk apa, kan? Kenapa Bapak terima permintaan gak masuk akal Papa?" tanya Amala dengan suara yang sengaja dia tinggikan.
Pak Rido tersenyum tipis. "Saya hanya ingin menjalankan amanah, Dik."
Mendengar hal itu, Amala dipenuhi rasa terkejut. "Dik? Amanah? Bisa gak, Bapak janganpanggil saya seperti itu? Saya ini bukan adik Anda! Lagi pula, amanah apa yang ...."
"Maaf, Amala. Saya tidak ingin bertengkar dengan Dik Amala. Tapi, saya merasa berdosa kalau menolak permintaan ayahmu. Jadi, meskipun Dik Amala tidak suka dengan saya, tidak apa-apa, saya akan menunggu sampai Dik Amala siap menerima saya. Mohon maaf, saya ada jam sebentar lagi. Jadi, saya permisi, ya. Assalamualaikum," ucap Rido, melempar seutas senyum hingga segera berlalu, meninggalkan Amala yang tak bisa berkata apa-apa.
***
Beberapa komentar pedas seiring terdengar kala detik ijab kabul akan disenandung. Amala hanya meringkuk dalam kenyataan pahit. Duduk di antara beberapa tamu perempuan dan bersiap untuk mendengarkan Pak Rido, sahabat papanya itu melafalkan kalimat yang begitu sakral baginya.
Dia tahu, jika di antara orang-orang ini ada anak Pak Rido di sana. Namun dia sendiri tidak tahu bagaimana rupa dan perasaan mereka saat ini ketika melihat dirinya. Amala bahkan tidak berani menampakkan diri sama sekali hingga hari ini tiba.
"Saya terima nikahnya, Amala ...."
Lafal itu terbentang indah ke langit, seiring dengan air mata Amala menggelegar hebat ke arah tanah. Amala sesegukan kemudian. Andai Nisya tidak berada di sampingnya mungkin saja dia sudah terombang jatuh.
Dunianya sudah tidak ada lagi bagi seorang Amala.
"Sah!" Orang-orang berkata dengan begitu lantang. Detik Amala sudah ambruk.
"Kak, sudah bangun rupanya, ya?"Sebuah suara feminin tiba-tiba membangunkan Amala. Wanita itusedikit terkejut ketika melihat seorang gadis masuk ke kamar membawakan segelasair putih. Dia mendekat dengan senyum hangat di sudut bibirnya itu.Amala tidak tahu siapa gadis itu, namun dia hanya berkata bahwagadis itu begitu baik membawakan dirinya minum."Kakak pasti haus. Pingsannya lama sekali. Minum dulu,Kak." ucapnya sembari menyodorkan segelas air putih di atas nampan. "Terima kasih." Amala berkata pelan. Meskipun wanita ituragu dan bingung, Amala tetap berusaha untuk tenang."Aku Kanaya." Ucapan gadis itu membuat Amala menautkan alisnya. Belum sempatberkata apa-apa, gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Amala." Dengan senyum, Amala pun menyambut jabatan tangansang gadis dengan perlahan."Ibu.""Ibu?" Amala tersentak. Berbanding terbalik dengannya,gadis itu malah tersenyum semakin lebar."Iya, Ibu. Kak Amala sudah menjadi istri dari Ayah, kan? Jadi,Kak Amala adalah I
"Cukup, cukup! Jangan panggil saya Adik! Saya enggak mau Bapakperlakukan saya seperti itu! Sekarang Bapak tinggalin aku sendiri di sini!Keluar!" Amala kini perlahan bangkit. Dia melangkah menjauh berharap PakRido mengambil inisiatif untuk pergi meninggalkan dirinya.Pak Rido bernapas lega kemudian karena Amala sudah tidak berontakingin pergi. Dia memang sebaiknya meninggalkan Amala seorang diri hingga diabisa lebih tenang."Baiklah. Saya akan keluar. Dik Amala istirahat, ya." Amala tidak peduli apa yang Pak Rido katakan. Dia hanya berpikiraman untuk sementara waktu dan bersiap untuk memikirkan cara melarikan diri.Pintu kamar tertutup rapat. Pak Rido menyapu wajah dengan telapaktangannya dengan berat. Dia rasa, pernikahan ini akan berjalan dengan begituburuk. Namun mengingat amanah dari papanya Amala itu seolah membuat dirinyaberpikir dua kali."Amala, saya harap kamu bisa lebih tenang sekarang,"ujarnya dengan lembut.***Kini jam menunjukkan angka dua belas malam. Amala me
"Sudah bangun?"Amala menoleh mendengar suara. Dia sejenak terkejut ketika melihatPak Rido yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Dia sendiri yang baru saja bangun semakin kaget ketika melihat jamyang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih."Saya mau sekolah. Dik Amala tidak pergi ke kampus?" PakRido bertanya seraya memakai jam tangannya itu. Amala hanya menggeleng. Tidakada janji antara dia dengan dosennya, sehingga dia juga malas untuk pergi."Kalau begitu, kita sarapan dulu, yuk. Saya sudah buatkan nasigoreng untuk kita semua."Amala mengangguk saja. Pak Rido melenggang pergi. Dia baru bangkitkemudian. Berlalu sebentar ke kamar mandi hingga segera menyusul ke ruangmakan.Reza dan Kanaya sudah menunggu di sana dan terlihat tidak sabaruntuk segera menikmati nasi goreng buatan ayahnya itu. Amala sendiri tidak bisaberkutik ketika tatapan Reza seolah mengintai hebat. Dia tidak nyaman denganposisinya seperti itu."Ibu." panggil Kanaya, menatap Amala dengan nanar. Gadiskecil it
"Jika saya boleh tanya, ke—kemana Ibu kalian?" Dengan hati-hati, Amala menanyakan hal sensitif itu kepada Reza. Pasalnya, Amala benar-benar penasaran. Reza seolah sudah sangat ahli dalam mengurus anak kecil, bahkan, mengalahkan Amala yang notabenenya seorang Perempuan. "Ibu kami sudah meninggal ketika melahirkan Habil," tukas Reza cepat sukses membuat Amala terkejut."Jadi ....""Iya. Selama ini Ayah emang enggak mau menikah lagi. Namun, Ayah mendadak cerita kalau Ayah mendapat amanah yang begitu besar. Ayah diberi amanah untuk menjaga seorang perempuan dengan cara menikahi perempuan itu. Saya awalnya memang kaget dan enggak bisa terima hal itu, tapi saya tahu kalau Ibu Amala ini orang baik," ujar Reza menjelaskan tanpa diminta oleh Amala sendiri. Amala kehilangan hal apa yang ingin dia ceritakan. Namun menatap dua mata Reza yang berbicara begitu tulus itu sudah membuatnya yakin jika anak-anak Pak Rido begitu baik dan mau menerima kedatangan dirinya dalam hidup mereka."Lalu, bagai
Kamar indah yang tersusun rapi kini di depan mata. Ada hal yang membuatnya cukup berbinar seperti rasanya kembali kepada hal yang membuat terbang."Ah! Aku pulang!"Bruk! Amala menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tidur dengan nyaman merasakan ketenangan yang teramat sangat. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknyaa. Dia tahu, bahwa kenyamanan seperti ini tidak akan dirasakan olehnya dengan cukup lama. Pasalnya ini hanyalah salah satu syarat yang dia ajukan dengan sahabat papanya itu."Pokoknya aku harus cari cara supaya Pak Guru itu enggak lagi maksa aku pulang ke rumah dia. Aku harus tetap di sini!" Amala memuaskan diri dengan tidur beberapa saat di kamar. Dia kemudian terbangun ketika melihat jam yang telah menunjukkan pukul dua siang.Hari ini, dia baru sadar jika ada janji dengan dosen. Meskipun sudah tidak berniat lagi untuk menyelesaikan skripsinya itu, Amala mau tidak mau harus tetap menemui dosennya. Dia hanya tidak ingin pendidikannya itu terbengkalai tidak jelas.Rasa l
Meja makan sudah dipenuhi oleh beberapa macam makanan. Tersusun rapi dan Pak Rido, lelaki paruh baya itu masih terlihat sibuk menata dengan baik.Amala sendiri kini membeku. Diam tidak berkutik namun heran mengapa Pak Rido memperlakukannya seperti papanya memperlakukan dia dulu. Kenapa mirip sekali sikap keduanya? Amala sendiri kini membiarkan anak bungsunya Pak Rido itu yang terus memegang tangannya dengan kuat."Sudah. Ayo makan, Dek." Pak Rido menarik kursi mempersilakan Amala. Tidak ada penolakan selain Amala segera menghampiri cepat."Terima kasih." Amala berujar pelan sukses membuat Pak Rido tersenyum dengan haru. Ada rasa bangga yang terhinggap dalam jiwanya itu kala Amala menghargai apa yang sudah dia perbuat.Amala sendiri bahkan sudah tidak sabar untuk segera makan. Dia berniat untuk mengambil ikan bakar yang ditemani dengan kuah kecap yang terlihat cukup nikmat. Makan mi instan bukan pilihan yang tepat untuknya berhenti merasa lapar.Amala kemudian larut dalam menikmati mak
Amala hampir saja tersedak mendengar hal itu. Dia segera minum susunya dengan cepat. Pak Rido hanya bisa mendesah pelan melihat itu. Reaksi Amala saja sudah menjadi jawaban baginya."Apa itu penting?" tanya Amala kemudian."Tentu saja. Saya hanya berpikir Dik Amala akan mau menemani saya. Namun jika tidak, tidak apa saya ....""Oke. Nanti siang Bapak jemput saya." Amala tidak tahu, mengapa dia langsung setuju saja. Namun, kebaikan Pak Rido dari kemarin menjadikan dia tidak tega untuk menolak."Alhamdulillah. Iya, Dik. Nanti pulang sekolah saya kemari. Saya mandi dulu, yaa." Penuh senyuman yang cerah, beliau beranjak cepat. Amala terkekeh saja melihat hal itu. Lucu saja. Teman papanya itu berubah cukup senang. Amala kadang heran, Pak Rido sebenarnya suka atau memang kasihan padanya? Tidak mungkin beliau jatuh cinta bukan? Amala menggeleng tidak mengerti.*Tidak ada baju. Namun ada satu gaun berwarna putih yang kini menjuntai di depan Amala. Biasanya dia kerap memakai itu jika sedang
"Rahmi. Kamu datang juga?" Pak Rido yang mendadak datang membuat wanita yang ternyata bernama Rahmi itu segera menarik diri menjauh dari Amala. Raut wajahnya seketika berganti dengan senyuman awal di mana membuat Amala tidak habis pikir."Eh, Mas. Iya dong. Aku baru saja bicara dengan istrimu. Dia cantik sekali, ya?" Rahmi. Wanita itu berkata dengan suara yang terkesan dibuat-buat seraya menatap Amala yang kini terpaku tidak percaya.Amala kian heran. Siapa sebenarnya wanita ini? Apa mau dia sehingga berani mengancamnya? Apa dia menyukai Pak Rido seperti wanita lainnya juga? "Terima kasih, Rahmi. Oh iya, sepertinya kami sudah harus pamit. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan cepat," ucap Pak Rido seraya menoleh pada Amala. Amala bersyukur mendengarkan hal itu."Baiklah, Mas. Kamu hati-hati, ya. Aku berdoa supaya kalian bisa segera memiliki momongan.""Amin." Pak Rido tersenyum lebar. "Ayo, Dik. Kita pulang." Amala mengangguk mengerti hingga segera beranjak. Namun ada hal ya