Share

Ancaman

Meja makan sudah dipenuhi oleh beberapa macam makanan. Tersusun rapi dan Pak Rido, lelaki paruh baya itu masih terlihat sibuk menata dengan baik.

Amala sendiri kini membeku. Diam tidak berkutik namun heran mengapa Pak Rido memperlakukannya seperti papanya memperlakukan dia dulu. Kenapa mirip sekali sikap keduanya? Amala sendiri kini membiarkan anak bungsunya Pak Rido itu yang terus memegang tangannya dengan kuat.

"Sudah. Ayo makan, Dek." Pak Rido menarik kursi mempersilakan Amala. Tidak ada penolakan selain Amala segera menghampiri cepat.

"Terima kasih." Amala berujar pelan sukses membuat Pak Rido tersenyum dengan haru. Ada rasa bangga yang terhinggap dalam jiwanya itu kala Amala menghargai apa yang sudah dia perbuat.

Amala sendiri bahkan sudah tidak sabar untuk segera makan. Dia berniat untuk mengambil ikan bakar yang ditemani dengan kuah kecap yang terlihat cukup nikmat. Makan mi instan bukan pilihan yang tepat untuknya berhenti merasa lapar.

Amala kemudian larut dalam menikmati makanan yang dibawa oleh Pak Rido. Dia tidak menyadari jika tatapan Pak Rido terus menyertainya. Posisi memangku anaknya itu, Pak Rido terus tersenyum melihat Amala makan dengan begitu lahap.

"Ba-bapak enggak makan?" Amala baru menyadari kemudian karena Pak Rido hanya duduk manis saja memerhatikan dirinya.

"Saya sudah makan dengan anak-anak sebelum datang kemari. Dik Amala makanlah. Saya tunggu hingga selesai."

Amala mengangguk dan segera melanjutkan makannya itu. Dia kemudian mulai mendengar anak bungsunya Pak Rido yang kemudian mulai rewel. Dia terlihat sangat mengantuk dan mulai menangis tidak karuan.

"Bawa saja ke kamar, Pak." Amala berkata.

Pak Rido terlihat terkejut. "Ke kamar Dik Amala?" Beliau hanya ingin memastikan sebelum lancang masuk ke kamar Amala. Dia tahu, bukan perkara mudah baginya untuk segera masuk ke kamar gadis yang telah menjadi istrinya ini.

"Rumah sebesar ini, saya takut tidur sendiri." Amala berkata jujur. Ya. Dia memang tipe penakut sejak kecil. Tidak ada pilihan lain baginya, Amala hanya menjalankan apa yang terjadi.

"Baiklah. Bapak antarkan Habil dulu ke kamar, ya." Pak Rido segera beranjak seraya mencoba menidurkan Habil anak bungsunya itu dalam gendongannya.

Amala mempercepat makannya dan segera bangkit mencoba untuk membereskan beberapa piring kotor. Dia tidak mau tidur jika belum menyelesaikan tugas rumah itu. Besok Amala harus segera pergi ke kampus lagi demi menyelesaikan studinya yang tertunda itu.

Ketika merasa semuanya sudah beres. Amala baru pergi ke kamar. Ada hal yang membuat dirinya terpaku sejenak kala melihat Pak Rido yang kini berbaring di atas kasur seraya menepuk-nepuk punggung Habil dengan lembut. Dia berusaha menidurkan Habil sementara kedua matanya terpejam rapat.

Amala tahu. Pak Rido memang menjalani kehidupan yang amat sulit. Tidak mudah baginya menjaga Habil yang masih kecil itu dan masih sangat perlu kehangatan dari seorang ibu. Amala sendiri kian heran mengapa Pak Rido malah memilih dirinya yang tidak tahu apa-apa untuk menjadi istri beliau?

"Lho, Dik. Kamu sudah di sini." Pak Rido baru sadar sehingga segera mencoba bangkit dengan perlahan.

"Apa boleh Habil tidur di kasur Dik Amala?"

Amala mengangguk saja. Dia memang sudah tidak ada pilihan apapun. Beranjak ke arah kemari Amala kemudian mengeluarkan selimut tebal. Dia akan tidur di lantai saja dari pada di atas kasur berbagi tempat tidur dengan Habil.

"Biar saya yang tidur di bawah, Dik." Pak Rido berkata cepat. Amala tidak sempat berkata Pak Rido sudah mengambil selimut itu dari tangannya dan segera membentangkannya ke atas lantai.

"Biar saya pindahkan Habil juga ke bawah ya, Dik."

"Jangan, Pak. Enggak apa-apa. Biarkan saja Habil di kasur," ucap Amala. Pak Rido masih belum yakin dengan perkataan Amala itu.

"Dik Amala benar tidak apa-apa?"

"Iya, Pak. Saya enggak apa-apa. Saya ke kamar mandi dulu. Bapak kalau mau tidur, silakan tidur saja."

Pak Rido hanya menyepi pelan. Beliau mengangguk dan segera berbaring. Ada rasa tidak nyaman ketika harus tidur di lantai memisahkan diri dengan Amala. Ada rasa heran pula, akan sampai kapan seperti ini? Dia tidak tahu Amala akan menginap sampai kapan di rumahnya ini dan tidak mau pulang. Namun, Pak Rido akan memikirkan segala cara yang lain agar Amala bisa membuat dirinya menjadi lebih tenang dan nyaman.

Sementara itu, Amala yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat Pak Rido yang sedang melamun itu terdiam beberapa saat. Ada rasa tidak tega membiarkan. Bagaimana pun Pak Rido adalah suaminya sekarang. Namun Amala masih belum bisa membiarkan dirinya itu didekati oleh Pak Rido sejenak pun.

Amala menepis rasa tidak enakan itu dan segera naik ke kasur. Pak Rido baru tahu dengan kehadirannya itu.

"Sudah mau tidur sekarang?" tanya Pak Rido kemudian.

"Iya."

"Dik Amala, saya boleh bertanya sedikit?" Pak Rido menoleh melihat Amala yang tidak mengatakan apapun.

"Apa Dik Amala masih melanjutkan kuliah?"

"Maksud, Bapak?"

.

"Tidak. Maksud saya, saya hanya memastikan apa yang sedang Dik Amala lakukan saja akhir-akhir ini. Saya juga tidak akan melarang Dik Amala untuk kuliah. Kalau memang masih ingin melanjutkan silahkan saja tidak apa-apa, Dik."

Amala hanya diam saja. Dia memang tidak berniat untuk melanjutkan kuliah lagi. Ada saja ha yang membuat dia berpikir bahwa tidak ada gunanya mendapatkan pekerjaan bagus kelak jika sudah lulus jika telah menjadi istri orang. Amala tahu dia masih muda, namun nafsunya untuk bekerja lebih keras ke depan seolah sudah kandas.

"Apa lagi tinggal skripsi saja, kan? Pasti tidak akan lama lagi itu sudah selesai. Saya harap Dik Amala bisa segera menyelesaikan itu, ya." Pak Rido tersenyum lembut di sana. Amala lagi-lagi hanya diam saja namun pandangannya teralihkan pada Habil yang sedang begitu pulas. Ada hal yang membuat Amala berpikir jika anak ini akan masuk ke dunianya untuk selamanya jika pernikahan itu masih tetap dipertahankan.

"Tidurlah, Dik. Sudah larut."

Pak Rido memejamkan mata. Amala malah kian merasa kepalanya akan pecah dengan pemikiran yang membuatnya kacau.

*

Bau nasi goreng telah tercium bahkan ketika Amala melangkahkan kaki ke dapur. Dia sejenak terkejut mendapati Pak Rido yang sedang sibuk menghidang nasi goreng di atas meja.

Cukup pagi sekali. Beliau sudah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Amala tahu, ketika subuh tadi Pak Rido sudah bangun untuk segera salat dan melanjutkan memasak. Lagi-lagi Amala berpikir jika sikap Pak Rido ini sama persis dengan papanya dulu.

"Sudah bangun, Dik? Ayo sarapan. Bapak hari ini ada harus masuk jam pertama. Jadi, lumayan buru-buru," ujar Pak Rido seraya menuangkan segelas susu hangat. Beliau selanjutnya menarik kursi mempersilakan Amala untuk duduk. Perbuatannya ini membuat Amala menjadi kaku sendiri.

"Terima kasih, Pak." Amala sendiri tidak lupa mengucapkan kalimat itu. Dia merasa tidak nyaman diperlakukan terlalu istimewa seperti itu.

"Jadi, hari ini Dik Amala akan ke kampus?"

"Saya belum tahu, Pak. Dosen belum mengabari."

"Baiklah. Kalau gitu, Bapak mandi dulu, ya. Silakan lanjutkan makannya." Pak Rido buru-buru melepaskan celemek dan meletakkan di sana. Baru beberapa langkah akan keluar, mendadak berhenti dan menoleh. Amala bingung sendiri melihatnya.

"Saya hampir lupa. Dik, nanti siang ada hajatan nikahan anak dari salah satu guru. Apa Dik Amala mau menemani saya datang ke sana?"

Hug! Amala hampir saja tersedak mendengar hal itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Roka
kisahnya seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status