"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Perkenalkan, ini calon suami Mba, namanya Pak Rido Saputra. Sebelum meninggal, Almarhum Bapaknya Mba sudah titipkan pesan, kalau Mba harus menikah dengan Pak Rido. Beliau seorang duda dengan tiga orang anak yang ...."Manik seorang wanita yang baru saja melepas sebutan remaja dan telah sepenuhnya menjadi dewasa itu membulat sempurna. Wanita itu membuang napas gusar. Mimpi apa dia semalam sehingga tiba-tiba disuguhi oleh kenyataan mendadak dan pahit ini!?Tak kuasa untuk mendengar pembicaraan itu lebih lanjut, wanita itu pun berteriak lancang, "Cukup!"Seketika, ruangan menjadi hening. Selembar foto menjuntai ke atas lantai. Wanita itu memasang wajah kesal, berbeda dengan seorang lelaki paruh baya di depannya yang justru tersenyum cerah. "Apa Papa nggak salah? Kenapa bikin wasiat aneh-aneh sih! Aku harus menikah dengan Aki-aki seperti itu? Udah punya anak pula! Ah!"Bayangan sebelum papanya benar-benar akan pergi tiba-tiba melayang dalam benak. "Anakku Amala, Pak Rido adalah sahabat
"Kak, sudah bangun rupanya, ya?"Sebuah suara feminin tiba-tiba membangunkan Amala. Wanita itusedikit terkejut ketika melihat seorang gadis masuk ke kamar membawakan segelasair putih. Dia mendekat dengan senyum hangat di sudut bibirnya itu.Amala tidak tahu siapa gadis itu, namun dia hanya berkata bahwagadis itu begitu baik membawakan dirinya minum."Kakak pasti haus. Pingsannya lama sekali. Minum dulu,Kak." ucapnya sembari menyodorkan segelas air putih di atas nampan. "Terima kasih." Amala berkata pelan. Meskipun wanita ituragu dan bingung, Amala tetap berusaha untuk tenang."Aku Kanaya." Ucapan gadis itu membuat Amala menautkan alisnya. Belum sempatberkata apa-apa, gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Amala." Dengan senyum, Amala pun menyambut jabatan tangansang gadis dengan perlahan."Ibu.""Ibu?" Amala tersentak. Berbanding terbalik dengannya,gadis itu malah tersenyum semakin lebar."Iya, Ibu. Kak Amala sudah menjadi istri dari Ayah, kan? Jadi,Kak Amala adalah I
"Cukup, cukup! Jangan panggil saya Adik! Saya enggak mau Bapakperlakukan saya seperti itu! Sekarang Bapak tinggalin aku sendiri di sini!Keluar!" Amala kini perlahan bangkit. Dia melangkah menjauh berharap PakRido mengambil inisiatif untuk pergi meninggalkan dirinya.Pak Rido bernapas lega kemudian karena Amala sudah tidak berontakingin pergi. Dia memang sebaiknya meninggalkan Amala seorang diri hingga diabisa lebih tenang."Baiklah. Saya akan keluar. Dik Amala istirahat, ya." Amala tidak peduli apa yang Pak Rido katakan. Dia hanya berpikiraman untuk sementara waktu dan bersiap untuk memikirkan cara melarikan diri.Pintu kamar tertutup rapat. Pak Rido menyapu wajah dengan telapaktangannya dengan berat. Dia rasa, pernikahan ini akan berjalan dengan begituburuk. Namun mengingat amanah dari papanya Amala itu seolah membuat dirinyaberpikir dua kali."Amala, saya harap kamu bisa lebih tenang sekarang,"ujarnya dengan lembut.***Kini jam menunjukkan angka dua belas malam. Amala me
"Sudah bangun?"Amala menoleh mendengar suara. Dia sejenak terkejut ketika melihatPak Rido yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Dia sendiri yang baru saja bangun semakin kaget ketika melihat jamyang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih."Saya mau sekolah. Dik Amala tidak pergi ke kampus?" PakRido bertanya seraya memakai jam tangannya itu. Amala hanya menggeleng. Tidakada janji antara dia dengan dosennya, sehingga dia juga malas untuk pergi."Kalau begitu, kita sarapan dulu, yuk. Saya sudah buatkan nasigoreng untuk kita semua."Amala mengangguk saja. Pak Rido melenggang pergi. Dia baru bangkitkemudian. Berlalu sebentar ke kamar mandi hingga segera menyusul ke ruangmakan.Reza dan Kanaya sudah menunggu di sana dan terlihat tidak sabaruntuk segera menikmati nasi goreng buatan ayahnya itu. Amala sendiri tidak bisaberkutik ketika tatapan Reza seolah mengintai hebat. Dia tidak nyaman denganposisinya seperti itu."Ibu." panggil Kanaya, menatap Amala dengan nanar. Gadiskecil it
"Jika saya boleh tanya, ke—kemana Ibu kalian?" Dengan hati-hati, Amala menanyakan hal sensitif itu kepada Reza. Pasalnya, Amala benar-benar penasaran. Reza seolah sudah sangat ahli dalam mengurus anak kecil, bahkan, mengalahkan Amala yang notabenenya seorang Perempuan. "Ibu kami sudah meninggal ketika melahirkan Habil," tukas Reza cepat sukses membuat Amala terkejut."Jadi ....""Iya. Selama ini Ayah emang enggak mau menikah lagi. Namun, Ayah mendadak cerita kalau Ayah mendapat amanah yang begitu besar. Ayah diberi amanah untuk menjaga seorang perempuan dengan cara menikahi perempuan itu. Saya awalnya memang kaget dan enggak bisa terima hal itu, tapi saya tahu kalau Ibu Amala ini orang baik," ujar Reza menjelaskan tanpa diminta oleh Amala sendiri. Amala kehilangan hal apa yang ingin dia ceritakan. Namun menatap dua mata Reza yang berbicara begitu tulus itu sudah membuatnya yakin jika anak-anak Pak Rido begitu baik dan mau menerima kedatangan dirinya dalam hidup mereka."Lalu, bagai
Kamar indah yang tersusun rapi kini di depan mata. Ada hal yang membuatnya cukup berbinar seperti rasanya kembali kepada hal yang membuat terbang."Ah! Aku pulang!"Bruk! Amala menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tidur dengan nyaman merasakan ketenangan yang teramat sangat. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknyaa. Dia tahu, bahwa kenyamanan seperti ini tidak akan dirasakan olehnya dengan cukup lama. Pasalnya ini hanyalah salah satu syarat yang dia ajukan dengan sahabat papanya itu."Pokoknya aku harus cari cara supaya Pak Guru itu enggak lagi maksa aku pulang ke rumah dia. Aku harus tetap di sini!" Amala memuaskan diri dengan tidur beberapa saat di kamar. Dia kemudian terbangun ketika melihat jam yang telah menunjukkan pukul dua siang.Hari ini, dia baru sadar jika ada janji dengan dosen. Meskipun sudah tidak berniat lagi untuk menyelesaikan skripsinya itu, Amala mau tidak mau harus tetap menemui dosennya. Dia hanya tidak ingin pendidikannya itu terbengkalai tidak jelas.Rasa l