"Pepes ikannya enak lho, Bu. Ayah emang pintar masak, hehe!" Dia terkekeh lucu di sana yang semakin membuat Amala merasa trenyuh, sedih dan kasian karena Kanaya harus ikut dalam masalah ini.*Amala memandang lekat anak-anak dengan tatapan yang sedih. Hari ini, dia tidak bisa percaya adalah hari terakhir bertemu dan mengajar anak-anak di kelas lima itu.Ada hal puas yang hinggap dalam hatinya. Dia puas dan senang karena bisa mengajar walaupun hanya sebentar. Dia juga merasa puas karena berhasil menjadi seorang pendidik yang mereka inginkan. Meskipun kini amala akan merasa sedih karena harus meninggalkan mereka karena telah selesai masa penelitiannya itu.Dia hanya melepas anak-anak dengan berpelukan hangat. Amala bahkan sengaja tidak mengatakan apapun pada mereka terkait dirinya yang tidak akan pernah masuk lagi ke kelas lima itu, namun begitu kelas telah usai, seperti biasa hanya Andi yang tertinggal, Amala pun berniat untuk mengatakan padanya saja."Andi harus menjadi anak yang puny
"Masih untung saya menerima kamu di sekolah ini! Kamu masih banyak tanya, hah! Kalau kamu saya tolak, nilai segini saja kamu tidak akan punya! Anak kemarin sore so-soan mau mengajari saya! Tidak tahu malu!"Amala bergeming. Dia tidak sadar kini, mengepal kedua tangannya dengan kuat. Gemetar."Keluar!"Amala tidak bisa lagi mempermalukan dirinya. Dia segera keluar. Ada isak tangis yang akan pecah namun sebisa mungkin berusaha menahan diri.Dia tidak lekas menemui Pak Rido suaminya itu selain kini segera ke toilet. Duduk di sana mencoba melepaskan semua hal yang membuatnya terpikat.Amala terkadang kian heran, apa yang sebenarnya Rahmi itu inginkan padanya. Bukankah seharusnya masalah pribadi tidak dikaitkan dengan hal yang ingin dia capai sekarang? Bagaimana bisa dia menjelaskan pada dosennya terkait nilai yang begitu buruk diberikan oleh pihak sekolah.Amala hanya takut, jika orang kampus juga akan mengira dia melakukan suatu hal yang jahat di sekolah ini, meskipun kenyataan Amala sam
"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Perkenalkan, ini calon suami Mba, namanya Pak Rido Saputra. Sebelum meninggal, Almarhum Bapaknya Mba sudah titipkan pesan, kalau Mba harus menikah dengan Pak Rido. Beliau seorang duda dengan tiga orang anak yang ...."Manik seorang wanita yang baru saja melepas sebutan remaja dan telah sepenuhnya menjadi dewasa itu membulat sempurna. Wanita itu membuang napas gusar. Mimpi apa dia semalam sehingga tiba-tiba disuguhi oleh kenyataan mendadak dan pahit ini!?Tak kuasa untuk mendengar pembicaraan itu lebih lanjut, wanita itu pun berteriak lancang, "Cukup!"Seketika, ruangan menjadi hening. Selembar foto menjuntai ke atas lantai. Wanita itu memasang wajah kesal, berbeda dengan seorang lelaki paruh baya di depannya yang justru tersenyum cerah. "Apa Papa nggak salah? Kenapa bikin wasiat aneh-aneh sih! Aku harus menikah dengan Aki-aki seperti itu? Udah punya anak pula! Ah!"Bayangan sebelum papanya benar-benar akan pergi tiba-tiba melayang dalam benak. "Anakku Amala, Pak Rido adalah sahabat
"Kak, sudah bangun rupanya, ya?"Sebuah suara feminin tiba-tiba membangunkan Amala. Wanita itusedikit terkejut ketika melihat seorang gadis masuk ke kamar membawakan segelasair putih. Dia mendekat dengan senyum hangat di sudut bibirnya itu.Amala tidak tahu siapa gadis itu, namun dia hanya berkata bahwagadis itu begitu baik membawakan dirinya minum."Kakak pasti haus. Pingsannya lama sekali. Minum dulu,Kak." ucapnya sembari menyodorkan segelas air putih di atas nampan. "Terima kasih." Amala berkata pelan. Meskipun wanita ituragu dan bingung, Amala tetap berusaha untuk tenang."Aku Kanaya." Ucapan gadis itu membuat Amala menautkan alisnya. Belum sempatberkata apa-apa, gadis itu tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Amala." Dengan senyum, Amala pun menyambut jabatan tangansang gadis dengan perlahan."Ibu.""Ibu?" Amala tersentak. Berbanding terbalik dengannya,gadis itu malah tersenyum semakin lebar."Iya, Ibu. Kak Amala sudah menjadi istri dari Ayah, kan? Jadi,Kak Amala adalah I
"Cukup, cukup! Jangan panggil saya Adik! Saya enggak mau Bapakperlakukan saya seperti itu! Sekarang Bapak tinggalin aku sendiri di sini!Keluar!" Amala kini perlahan bangkit. Dia melangkah menjauh berharap PakRido mengambil inisiatif untuk pergi meninggalkan dirinya.Pak Rido bernapas lega kemudian karena Amala sudah tidak berontakingin pergi. Dia memang sebaiknya meninggalkan Amala seorang diri hingga diabisa lebih tenang."Baiklah. Saya akan keluar. Dik Amala istirahat, ya." Amala tidak peduli apa yang Pak Rido katakan. Dia hanya berpikiraman untuk sementara waktu dan bersiap untuk memikirkan cara melarikan diri.Pintu kamar tertutup rapat. Pak Rido menyapu wajah dengan telapaktangannya dengan berat. Dia rasa, pernikahan ini akan berjalan dengan begituburuk. Namun mengingat amanah dari papanya Amala itu seolah membuat dirinyaberpikir dua kali."Amala, saya harap kamu bisa lebih tenang sekarang,"ujarnya dengan lembut.***Kini jam menunjukkan angka dua belas malam. Amala me
"Sudah bangun?"Amala menoleh mendengar suara. Dia sejenak terkejut ketika melihatPak Rido yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Dia sendiri yang baru saja bangun semakin kaget ketika melihat jamyang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih."Saya mau sekolah. Dik Amala tidak pergi ke kampus?" PakRido bertanya seraya memakai jam tangannya itu. Amala hanya menggeleng. Tidakada janji antara dia dengan dosennya, sehingga dia juga malas untuk pergi."Kalau begitu, kita sarapan dulu, yuk. Saya sudah buatkan nasigoreng untuk kita semua."Amala mengangguk saja. Pak Rido melenggang pergi. Dia baru bangkitkemudian. Berlalu sebentar ke kamar mandi hingga segera menyusul ke ruangmakan.Reza dan Kanaya sudah menunggu di sana dan terlihat tidak sabaruntuk segera menikmati nasi goreng buatan ayahnya itu. Amala sendiri tidak bisaberkutik ketika tatapan Reza seolah mengintai hebat. Dia tidak nyaman denganposisinya seperti itu."Ibu." panggil Kanaya, menatap Amala dengan nanar. Gadiskecil it