Share

Penjelasan Reza

"Sudah bangun?"

Amala menoleh mendengar suara. Dia sejenak terkejut ketika melihat Pak Rido yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya.

Dia sendiri yang baru saja bangun semakin kaget ketika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih.

"Saya mau sekolah. Dik Amala tidak pergi ke kampus?" Pak Rido bertanya seraya memakai jam tangannya itu. Amala hanya menggeleng. Tidak ada janji antara dia dengan dosennya, sehingga dia juga malas untuk pergi.

"Kalau begitu, kita sarapan dulu, yuk. Saya sudah buatkan nasi goreng untuk kita semua."

Amala mengangguk saja. Pak Rido melenggang pergi. Dia baru bangkit kemudian. Berlalu sebentar ke kamar mandi hingga segera menyusul ke ruang makan.

Reza dan Kanaya sudah menunggu di sana dan terlihat tidak sabar untuk segera menikmati nasi goreng buatan ayahnya itu. Amala sendiri tidak bisa berkutik ketika tatapan Reza seolah mengintai hebat. Dia tidak nyaman dengan posisinya seperti itu.

"Ibu." panggil Kanaya, menatap Amala dengan nanar. Gadis kecil itu tak peduli dengan Reza yang menyikutnya perlahan, seolah sebuah kode untuk tidak memanggil Amala.

"Apa sih, Bang? Ibu ayo duduk di sini," ucap Kanaya dengan begitu bersemangat. Dia membantu menarik kursi mempersilahkan Amala untuk segera duduk.

Pak Rido kemudian datang membawakan beberapa potong roti. Beliau bahkan terlihat begitu sibuk dengan pakaian dinasnya itu.

"Mari sarapan. Jangan lupa berdoa dulu, ya."

“Iya, Ayah. Ayah, Adek udah bangun?"

Amala menoleh melihat Kanaya cepat. Adek? Siapa lagi yang Kanaya maksud?

Detik itu juga, Amala baru menyadari jika anaknya Pak Rido berjumlah tiga orang. Sebab, sejak kemarin dia tidak melihat anak Pak Rido yang lain.

"Huaa! Ayah!"

Suara tangis yang pecah dari bilik kamar, sukses membuat Amala tersentak kaget. Amala tahu sekarang, jika Pak Rido memiliki anak yang lebih kecil. Amala padahal sudah menebak jika Kanaya adalah anak bungsu.

"Sebentar, Ayah lihat Adek dulu, ya."

"Adek kok cengeng semenjak pulang ke rumah ini, Yah? Biarin aja Adek tinggal sama Nenek, Ayah." Kanaya berkata sukses membuat niat Pak Rido tertahan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir itu, selain kini sorot mata Pak Rido dan Reza bertitik temu.

"Kanaya, kamu jangan bilang gitu. Habil kan anak Ayah juga, masa dirawat di rumah Nenek?" ujar Reza dengan lembut.

"Siapa yang mau jagain Habil, Bang? Kan kita pergi semua. Ayah sendiri juga mau pergi ngajar, kan?"

Amala terdiam. Dia merasa kini jika ada hal yang sedang ditakuti oleh dirinya sedang akan terbayang.

Ternyata, selama ini, anak bungsu Pak Rido tidak pernah berada di rumah karena Pak Rido tidak sempat untuk menjaganya. Jadi, ke mana anak itu selama ini? Amala hanya bisa menebak-nebak.

"Kalian tidak perlu sibuk mikirin itu. Fokus ke pendidikan kalian aja, ya?" ucap Pak Rido dengan lembut.

Saat itu, Amala sadar, meskipun enggan, dirinya mengakui bahwa Pak Rido memang ramah dan baik hati. Pasalnya, meskipun sedang menghadapi segala kerumitan yang ada di depannya, dia bahkan masih bisa bersikap tenang.

Beliau berlalu sebentar. Tak lama, pria itu kembali dengan menggendong seorang bocah kecil berusia 3 tahunan yang kini mukanya telah memerah sempurna karena menangis. Namun dia kini terlihat tenang dalam gendongan ayahnya yang begitu baik. Amala sejenak terpaku namun dia mencoba memejamkan mata, tak kuasa menerima kehidupannya yang kini telah berubah.

Dia berada di rumah orang yang belum pernah sekali pun dia jajaki. Kini, bahkan dia menjadi ibu dari tiga orang manusia yang tidak pernah dia temui sama sekali. Haruskah dia memutuskan untuk benar-benar pergi sekarang juga?

"Ibu, enggak apa-apa?"

Amala spontan membuka mata begitu mendengar pertanyaan Kanaya. Dia menggeleng dengan senyum tipis. Ada air mata yang hampir saja mengalir, sebelum hal itu benar-benar terjadi Amala segera bangkit. Berlari tepatnya.

"Ibu!"

"Kanaya, biarkan." Pak Rido mencegah Kanaya yang akan menyusul. Kanaya mengangguk kemudian.

Tak lama, satu persatu anak-anak Pak Rido telah pergi. Rumah pun mulai terlihat sepi dan hanya tertinggal Pak Rido yang sedang sibuk memberikan susu untuk anak bungsunya itu.

Amala bisa mendengar kesulitan Pak Rido dari arah kamar. Anaknya yang terus merengek menangis kemudian beliau yang bersuara dengan begitu lembut mencoba untuk menenangkan. Rasa pusing Amala kian menjadi-jadi mendengar itu semua.

Dia bahkan tidak pernah lagi keluar kamar sejak masuk sedari tadi. Dia tahu jika kini Pak Rido pasti butuh bantuan dirinya untuk menjaga anak bungsunya itu karena dia harus segera pergi mengajar. Namun Amala tidak sanggup bahkan bisa dikatakan tidak sudi melakukan itu semua.

"Dik."

Amala sukses terkejut mendengar suara Pak Rido yang kini telah masuk kamar. Habil dalam gendongannya itu menatap Amala dengan lekat. Anak itu seolah-olah heran siapa yang sedang berada di kamar ayahnya.

"Dik Amala, boleh saya minta tolong?"

Amala tahu apa permintaan itu. Dia bahkan tidak memberi jawaban selain kini segera duduk membelakangi Pak Rido. Pak Rido mendesah pelan hingga segera melangkah masuk.

"Saya juga terpaksa melakukan ini, Dik. Namun saya tidak punya cara lain. Nanti sore saya akan antarkan Habil pulang ke rumah Neneknya, tapi sekarang saya mohon untuk pagi ini Habil dijagain oleh Dik Amala sebentar, ya?"

Benar. Tebakan Amala bahkan tidak meleset sedikit saja. Amala merasakan air matanya kian menetes hebat sekarang. Dia memang seorang perempuan yang menyukai anak kecil namun bukan dengan anak kecil yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya itu. Dia tidak akan sanggup bahkan untuk menggendong anak Pak Rido itu.

"Dik Amala. Saya ...."

"Saya enggak bisa Pak. Tolong mengerti perasaan saya." Amala berkata cepat. Dia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia takut, jika tetap memaksa menjaga Habil kewarasan dirinya akan semakin menganggu.

"Baiklah. Saya mengerti." Pak Rido segera beranjak keluar. Amala seketika menunduk mencoba menutup isak tangis dirinya yang semakin menjadi-jadi.

Hari ini, dia benar-benar akan memutuskan untuk pergi. Tidak peduli dia akan pergi ke mana namun dia hanya harus segera meninggalkan rumah Pak Rido.

***

"Abang. Coba panggil Abang."

Amala terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara Reza dari luar kamar. Dia bahkan tanpa sadar tertidur setelah menangis sejak tadi pagi.

Bukankah tadi Pak Rido yang menjaga Habil? Lalu kenapa mendadak sekarang terdengar suara Reza?

"A ... Bang! Heheh!" disahuti oleh suara menggemaskan Habil itu hingga keduanya larut dalam tawa. Amala penasaran untuk melihat. Dia segera beranjak ke arah pintu dan membukanya dengan hati-hati.

Benar. Di bawah terlihat Habil dan Reza yang sedang bermain dengan girang. Sesekali Reza melempar bola kecil ke arah adiknya itu yang disambut dengan tawa bahagia. Reza sendiri ikut senang.

Amala sejenak terdiam. Sebenarnya ke mana ibu mereka? Kenapa Habil masih begitu kecil dan sudah ditinggal oleh ibunya? Ada sederet pertanyaan dalam benak Amala. Dia bahkan tidak menanyakan lebih perihal Pak Rido pada tantenya karena dia tidak mau semakin sakit dalam fakta itu. Namun kini, Amala yang sudah sah menjadi istri Pak Rido mau tidak mau harus tahu hal itu sekarang.

Jam kini telah menunjukkan pukul sebelas siang. Amala mencoba untuk segera turun ke bawah, disambut oleh Reza yang lumayan terkejut melihatnya. Habil sendiri segera duduk di pangkuan abangnya itu begitu melihat Amala datang. Anak kecil itu terlihat takut dengan orang asing di rumahnya.

"Lapar, ya?"

"Hm?" Amala menoleh pada Reza yang selalu menanyakan hal itu setiap kali mereka bertemu. Amala kemudian segera menggeleng pelan.

"Oh iya, terima kasih untuk nasi goreng semalam. Saya enggak sadar tertidur dan tiba-tiba Pak Rido yang ada di samping saya," ujar Amala tidak peduli dengan bahasa baku seperti apa yang sedang dia gunakan sekarang. Amala yakin jika Reza bahkan lebih tua dari dirinya.

"Enggak apa-apa, kok. Kenapa harus bilang terima kasih? Saya sering masak sebenarnya tapi semalam kebetulan kamu ... Eh, maksud saya Ibu yang lapar." Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Ada rasa geli sendiri ketika menyebut Amala dengan sebutan Ibu.

Amala sendiri hanya bisa berdiam diri. Dia benar-benar tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Namun kenyataannya sekarang dia benar-benar harus dipanggil ibu oleh Reza.

"Abang, kakak ini ciapaa?"

"Eh?" Reza sejenak kaget mendengar pertanyaan adiknya itu. Dia terkekeh pelan hingga bingung harus memberikan jawaban apa.

"I-ini Ibu barunya Habil. Ibu Amala," jawab Reza kemudian. Amala hanya bisa menumpahkan senyum ke arah Habil yang kini menatapnya dengan bingung.

"Ibu bayunya Abil?" Dia bertanya sendiri dengan nada begitu polos. Dia bahkan baru bisa bicara dengan irama yang umumnya anak kecil.

"Iya, Habil. Jadi, sekarang Habil punya Ibu lagi. Habil harus sayang sama Ibu Amala. Iya? Senang enggak?"

"Senang, Abang." 

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status