Share

Menghindari Adlan

Kamar indah yang tersusun rapi kini di depan mata. Ada hal yang membuatnya cukup berbinar seperti rasanya kembali kepada hal yang membuat terbang.

"Ah! Aku pulang!"

Bruk! Amala menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tidur dengan nyaman merasakan ketenangan yang teramat sangat.

Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknyaa. Dia tahu, bahwa kenyamanan seperti ini tidak akan dirasakan olehnya dengan cukup lama. Pasalnya ini hanyalah salah satu syarat yang dia ajukan dengan sahabat papanya itu.

"Pokoknya aku harus cari cara supaya Pak Guru itu enggak lagi maksa aku pulang ke rumah dia. Aku harus tetap di sini!"

Amala memuaskan diri dengan tidur beberapa saat di kamar. Dia kemudian terbangun ketika melihat jam yang telah menunjukkan pukul dua siang.

Hari ini, dia baru sadar jika ada janji dengan dosen. Meskipun sudah tidak berniat lagi untuk menyelesaikan skripsinya itu, Amala mau tidak mau harus tetap menemui dosennya. Dia hanya tidak ingin pendidikannya itu terbengkalai tidak jelas.

Rasa lapar mendadak menggeroti dirinya. Amala merasa jika memang tubuhnya sudah meminta jatah makan siang. Tadi pagi bahkan dia tidak sempat untuk sarapan karena terburu-buru untuk segera pulang ke rumahnya.

Tidak ada makanan apapun di kulkas. Amala hanya bisa menyerah dan berniat untuk segera pergi saja. Dia akan makan apapun makanan yang dijual di kampus.

Rumah yang cukup sepi. Namun ada seutas bayangan yang berkeliaran di hadapannya saat Amala berniat untuk menutup pintu. Amala rasanya ingin menangis, ketika bayangan papanya dan dirinya itu muncul dengan baik. Ada tawa lepas di sana sementara rasa sedih yang menghiasi wajah ayahnya yang telah pucat.

Amala tahu, ayahnya menahan rasa sakit kala itu. Namun sisi lain, dia juga tidak peduli karena tidak paham apa yang sedang papanya itu alami. Andai saja Amala tahu jika papanya sedang sekarat, mungkin dia akan melakukan segala cara hingga papanya itu bisa bertahan sedikit lebih lama lagi.

"Pa, semoga Papa tenang di alam sana, ya. Amala akan jadi anak yang kuat untuk Papa." Menyeka sedikit air matanya itu, Amala segera menutup pintu rumah. Dia harus segera bergegas ke kampus.

***

"Bu Lusi hari ini tidak masuk."

Perkataan itu sukses membuat Amala terdiam membeku. Dia tidak bisa berkutik selain hanya bisa menumpahkan sedikit senyum kecut. Ya, dosen pembimbingnya tidak ke kampus jadi dia akan kembali tertunda untuk bimbingan skripsinya tersebut.

Dia terpaksa untuk segera keluar dari ruangan dosen. Berjalan dengan tertatih karena kesal saja sudah lelah datang ke kampus dan menghabiskan uang untuk memesan taksi, namun dia tidak mendapatkan hasil apapun.

Amala tidak terlalu peduli. Dia pun segera ke kantin untuk makan siang. Ada beberapa menu kesukaannya dulu yang kini kembali dirasakan olehnya dengan senang. Dia tidak terlalu peduli pula pada beberapa orang yang lewat. Tentu saja mereka semua adalah adik letingnya yang semester lebih bawah darinya. Dia tidak perlu khawatir jika salah satu dari mereka adalah temannya dari fakultas lain.

Sibuk menikmati makanannya itu, Amala melempar pandangannya ke segala arah. Dia hanya mencoba melihat keadaan orang-orang yang sedang begitu sibuk. Kedua matanya pun mendadak tertuju pada seorang lelaki yang sedang berjalan menuju ke arah kantin. Amala awalnya bersikap biasa saja namun semakin dekat, dia mulai sadar siapa lelaki itu.

Amala terkesiap. Dia segera menunduk cepat. Ada rasa cemas yang datang takut jika lelaki itu akan melihatnya.

Adlan. Lelaki yang selama ini memang menjadi sosok yang Amala inginkan. Amala tahu hal itu sudah tidak akan bisa dia lakukan lagi sehingga lebih baik dia menghindari Adlan sekarang. Amala segera bangkit mencoba untuk membayar cepat makanannya dan segera pergi.

"Amala!"

Benar. Dugaannya jika Adlan akan melihatnya itu benar terjadi. Amala sejenak mendesah keras. Dia tidak mungkin berlari keluar dari kantin karena hal itu pasti akan membuat semua orang terkejut.

Amala kini menyerah, mendengar langkah Adlan yang semakin dekat.

"Amala, akhirnya kita bertemu lagi, ya. Kamu ke mana saja?"

Adlan. Lelaki tampan dan tinggi itu kini sudah ada di hadapan Amala. Ada rasa senang yang terlihat di wajahnya itu. Namun Amala tidak berkutik sama sekali. Amala bahkan tidak sanggup untuk melihat wajah Adlan. Amala merasa malu saja karena kini posisinya dia sudah menikah.

"Mal, kenapa kamu diam saja? Apa kamu sakit? Kenapa sudah dua Minggu ini kamu enggak kelihatan di kampus?"

"Aku ... Aku baik-baik saja, Adlan. Ehem, aku buru-buru harus segera pulang. Aku duluan ya."

"Amala tunggu dulu. Aku ingin bicarakan sesuatu. Aku sudah berkerja sekarang di supermarket. Ada beberapa hal yang membantu aku untuk bekerja di sana. Jadi, aku enggak bisa segera bimbingan dengan baik. Kamu sendiri bagaimana, apa yang kamu lakukan sehingga enggak sempat bimbingan?"

Amala terdiam kemudian. Dia sebenarnya benar-benar ingin segera beranjak namun dia masih tidak tahu untuk mengatakan apa pada Adlan.

"Aku lumayan sibuk. Adlan, aku benar-benar harus segera pergi. Maaf ya."

"Kamu masih pakai nomor yang sama, kan?" Adlan bertanya dengan cepat. Amala tidak menjawab namun dia hanya mengangguk saja. Tidak ada sepatah kata pun lagi yang keluar dia segera beranjak cepat meninggalkan lelaki yang disukainya itu dengan tatapan bingung.

Adlan. Dia tahu jika ada sesuatu yang sedang ditutupi oleh Amala padanya.

*

Air sudah mendidih. Amala segera memasukkan mi ke dalamannya dan menunggu beberapa saat. Malam ini, dia tidak punya pilihan lain selain memasak mi instan untuk menjadi pilihan makanannya itu.

Duduk di meja makan yang begitu luas. Namun hanya dia seorang yang berada di sana kian membuat Amala tertekan. Sebenarnya dia ingin menangis hingga air matanya itu benar-benar tumpah di antara suapan mi nan pedas masuk ke mulutnya.

Amala tidak bisa berkutik dengan baik selain hanya bisa terus melanjutkan makanannya itu dengan rasa sesak seolah menggoncang dadanya. Namun lagi-lagi dia harus kuat dan menenangkan diri dan pikirannya.

Amala terkejut ketika kemudian mendengar suara bel rumah yang berbunyi. Dia tidak tahu siapa yang datang namun dia sudah menebak jika orang itu adalah sosok yang tidak akan disukai olehnya.

Amala malas untuk membuka pintu. Namun sisi lain dia juga tidak mungkin membiarkan orang itu terus berada di luar rumah. Amala tidak punya pilihan lain, dia pun segera berjalan cepat bergegas membuka pintu.

Benar. Tebakannya tidak meleset. Dia melihat Pak Rido, lelaki yang telah menjadi suaminya itu kini berdiri seraya memegang sebuah tas dengan raut wajah tersenyum. Hal yang kemudian membuat Amala terkejut adalah Pak Rido tidak datang sendiri melainkan dengan seorang bocah kecil yang kini digandeng olehnya.

"Bapak, kenapa ...."

"Ayo masuk. Kamu pasti lapar, kan?"

Amala terdiam. Dia ingin mengatakan sesuatu namun Pak Rido telah melangkah pelan-pelan seraya menunggu anak bungsunya itu berjalan dengan perlahan. Begitu lucu, namun Amala menahan diri untuk tidak mendekat.

"Seperti bau mi instan. Kamu makan mi, Amala?"

"Saya enggak punya pilihan lain." Amala menjawab kemudian.

"Kebetulan tadi saya sudah masak di rumah. Ayo makan. Kamu tidak boleh makan makanan seperti itu. Kamu masih muda. Nak, Papa gendong, ya."

Amala kini benar-benar tidak bisa berkutik. Dia hanya melihat Pak Rido yang kini menggendong anaknya itu dan berlalu ke dapur. Dia hanya tidak menyangka karena Pak Rido benar-benar datang ke rumahnya untuk menginap.

Namun sisi lain, Amala senang karena tidak sendirian di rumah sebesar ini. Setidaknya dia bisa tidur dengan nyaman.

"Ibuu."

Amala tersentak ketika mendengar panggilan nan lucu itu. Dia kemudian mendapati anak bungsu Pak Rido yang kini melangkah dengan tertatih-tatih mencoba mendekatinya. Amala tanpa sadar tersenyum gemas.

"Ibuu!" Anak itu terus memanggilnya dengan begitu lucu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status