"Cukup, cukup! Jangan panggil saya Adik! Saya enggak mau Bapak perlakukan saya seperti itu! Sekarang Bapak tinggalin aku sendiri di sini! Keluar!" Amala kini perlahan bangkit. Dia melangkah menjauh berharap Pak Rido mengambil inisiatif untuk pergi meninggalkan dirinya.
Pak Rido bernapas lega kemudian karena Amala sudah tidak berontak ingin pergi. Dia memang sebaiknya meninggalkan Amala seorang diri hingga dia bisa lebih tenang.
"Baiklah. Saya akan keluar. Dik Amala istirahat, ya."
Amala tidak peduli apa yang Pak Rido katakan. Dia hanya berpikir aman untuk sementara waktu dan bersiap untuk memikirkan cara melarikan diri.
Pintu kamar tertutup rapat. Pak Rido menyapu wajah dengan telapak tangannya dengan berat. Dia rasa, pernikahan ini akan berjalan dengan begitu buruk. Namun mengingat amanah dari papanya Amala itu seolah membuat dirinya berpikir dua kali.
"Amala, saya harap kamu bisa lebih tenang sekarang," ujarnya dengan lembut.
***
Kini jam menunjukkan angka dua belas malam. Amala meringkuk di atas kasur ketika merasakan perutnya yang berbunyi hebat. Dia lapar sekali.
Seharian ini dia bahkan tidak makan apapun. Pantas saja jika badannya begitu lemas. Niat untuk melarikan diri bahkan terpaksa dia urungkan. Kamar ini berada di lantai atas, sehingga tidak mungkin bagi dirinya meloncat ke luar. Belum lagi dengan badannya yang lemas untuk bergerak.
Dia tahu, jika sedari tadi ada beberapa ketukan pintu yang mengatakan jika membawa makan malam. Amala sendiri tidak peduli dan membiarkan saja hal itu. Lalu kini, rasa lapar di tengah malam melanda kemudian.
Amala sudah tidak tahan lagi. Dia perlahan bangkit menuju pintu. Membuka kunci yang sedari siang tadi bersemayam di sana. Rumah begitu sepi membuat langkahnya bahkan seolah terdengar.
Amala mencoba untuk menuruni anak tangga dengan perlahan seraya memegang perutnya itu. Gaun pengantin yang masih melekat pada tubuhnya seolah memberi kesan betapa dia semakin membenci pernikahan ini. Amala bahkan tidak tahu apakah ada pakaian yang bisa dia kenakan untuk malam ini saja.
Jika benar Tante Nisya pergi ke luar kota, Amala benar-benar akan sangat marah. Semenjak orang tuanya satu persatu pergi meninggalkan dia selamanya, hanya Tante Nisya yang selalu menjaga dirinya dari kejadian apapun.
Berjalan mengendap-ngendap, Amala kini telah tiba di lantai bawah. Karena bentuk rumah Pak Rido yang sederhana, membuat Amala bisa mudah mencari-cari di mana dapur berada. Amala akhirnya tiba di sana dengan berharap menemukan sedikit makanan di dalam kulkas.
Seolah Tuhan sedang berada di sisinya, sepotong roti ternyata masih tersisa di dalam kulkas. Tak menunggu lama, Amala pun bergegas untuk mengambilnya.
"I-ibu."
Amala hampir saja tersedak begitu mendengar suara seseorang tepat di belakang tubuhnya itu. Dia benar-benar seperti maling yang tertangkap bagaimana tidak, dia bahkan makan dengan keadaan terburu-buru.
Lalu kini ada hal yang membuat dia terkejut. Seseorang yang memanggil ibu untuknya itu bukan suara Kanaya melainkan suara seorang lelaki. Amala tahu sekarang.
"I-ibu lapar?"
Reza, lelaki itu kini melangkah mendekati Amala yang menggigit roti untuk yang terakhir kali. Amala memegang perut, dia masih lapar sekali. Roti itu tidak cukup untuk makan malamnya.
"Tunggu dulu, biar saya masakkan sesuatu, ya?" Reza dia pun dengan sigap segera melakukan sesuatu di sana. Amala berdiri diam menatap anak Pak Rido itu yang kini sibuk mencincang bawang.
Amala tidak punya pilihan lain. Dia sudah lapar dan tidak akan pedulikan egonya lagi. Dia pun kini menarik kursi menunggu Reza memasak untuknya. Rasa kantuk yang datang itu, membuat Amala mencoba menahan diri.
Beberapa menit benar-benar sudah larut dalam tidurnya itu, Amala kemudian terbangun ketika seseorang menyentuh bahunya lembut. Dia terkejut hingga semakin kaget melihat siapa yang kini duduk di sampingnya.
Pak Rido. Dia tersenyum.
"Adik pasti lapar sekali, ya? Reza sudah selesai membuatkan nasi goreng ditambah telur dadar. Makanlah." Pak Rido memajukan piring itu ke arah Amala yang segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Benar. Dia benar-benar tidak sanggup melihat wajah lelaki yang seusia dengan papanya itu.
Kenapa papanya tidak menyuruh Amala menikah saja dengan anak Pak Rido? Kenapa harus menikah dengan Pak Rido? Amala tidak bisa berpikir lagi.
"Dik. Kenapa melamun? Makanlah. Nanti Dik Amala sakit."
"Saya enggak lapar."
"Reza sendiri yang bilang jika Dik Amala lapar sekali. Makanlah. Saya temani di sini."
"Saya enggak akan makan kalau Bapak di sini," ujar Amala cepat. Pak Rido terdengar menghembuskan napas dengan berat. Dia kemudian mengangguk seraya bangkit.
"Baiklah. Saya tunggu di ruang tamu, ya. Makanlah."
Pak Rido yang beranjak, detik Amala segera menyendok sedikit nasi goreng itu dan memakannya dengan lahap. Rasanya begitu enak. Amala tidak percaya jika Reza bisa memasak dengan begitu enak seperti ini. Dia juga heran selama apa dia tertidur sehingga Reza mendadak pergi dan berganti Pak Rido ayahnya di samping Amala.
Makan dengan begitu cepat membuat Amala akhirnya selesai. Dia meneguk sedikit minuman hingga segera bangkit. Dia seolah lupa jika Pak Rido masih menunggunya di ruang tamu.
Amala berhenti melangkah dan melihat Pak Rido memegang sebuah tas yang tidak asing di matanya.
"Ini tas dititipkan supir Tante Nisya. Di dalamnya ada pakaian Dik Amala." Pak Rido mengatakan dengan lembut. Amala hendak mengambil alih tas itu, namun beliau segera menjaukan cepat.
"Biar saya yang pegang Dik. Saya antarkan ke kamar. Ayo."
"Enggak! Saya enggak mau." Amala berkata cepat.
Pak Rido tersenyum pelan. Dia tahu kecemasan apa yang sedang Amala rasakan sekarang.
"Dik, saya hanya ingin mengantar tas ini ke kamar. Ayo." Pak Rido segera melangkah. Tidak ada cara lain untuk membuat Amala percaya hingga dia lebih dulu pergi. Amala berharap jika Pak Rido membuktikan perkataannya itu.
Tiba di kamar. Pak Rido bahkan menyusun pakaian Amala dengan baik ke dalam lemari. Namun beliau tertahan ketika ingin melanjutkan ketika melihat sebuah tas kecil di dalamnya. Amala yang melihat itu, segera mengambil cepat. Dia tahu apa isi dari tas kecil itu. Pasti berbagai jenis pakaian dalamnya yang tidak mungkin diperlihatkan pada Pak Rido.
"Bapak keluar saja sekarang," ucap Amala kemudian.
"Ini kamar saya Amala. Saya mau keluar ke mana?"
"Apa?" Amala jelas tersentak namun dia kini baru menyadari jika lemari di sampingnya terdapat beberapa baju lelaki dan pakaian dinas guru yang terjejer rapi.
Sedari tadi Pak Rido tidak langsung masuk ke kamar karena kamar yang dikuncikan Amala. Beliau juga tidak mau membuat Amala ketakutan.
"Dik, kamu tidak perlu takut. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Mari tidur. Besok saya juga harus berangkat pagi-pagi sekali," ujar Pak Rido segera naik ke atas kasur dan berbaring. Amala sendiri masih berdiri di ambang pintu.
Kedua kakinya seolah tidak bisa bergerak sama sekali. Namun dia juga tidak mampu untuk melarikan diri karen pintu kamar yang masih terbuka lebar. Dia sengaja membukanya karena takut Pak Rido akan macam-macam.
"Dik. Ayo tidurlah. Kamu mau berdiri di sana sampai kapan? Ini sudah hampir jam dua dini hari."
Amala tidak peduli. Dia masih menunggu Pak Rido tidur hingga baru beranjak. Pintu kamar ditutup olehnya dengan begitu saja dan tidak dikunci. Dia kemudian melangkah perlahan hingga mencoba berbaring di samping Pak Rido dengan jarak yang begitu jauh.
Amala benar-benar takut. Namun rasa kantuk dan lelah juga menguasai dirinya. Dia hanya berharap Pak Rido benar-benar sudah terlelap.
Tidur membelakangi Pak Rido, Amala memeluk tubuhnya sendiri sebagai guling. Ada rasa yang begitu dia tahan sedari tadi. Air mata itu pun keluar dengan perlahan. Rasa rindu kini membuncah hebat kepada kedua orang tuanya itu.
Beberapa saat lagi dia akan selesai menjalankan kuliahnya. Dia hampir lulus namun Amala bahkan kini tidak berpikir akan mencari pekerjaan atau tidak. Cita-citanya sudah menghilang dan lenyap ditelan bumi. Amala tidak bisa bahkan membayangkan saja.
Di antara rasa lelah dan kantuk yang mulai datang, Amala mengerjapkan matanya. Tepat sebelum Amala terlelap, wanita itu mendengar gumaman dari pria di sampingnya.
“Aku akan menunggumu sampai kamu siap, Amala.”
"Sudah bangun?"Amala menoleh mendengar suara. Dia sejenak terkejut ketika melihatPak Rido yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Dia sendiri yang baru saja bangun semakin kaget ketika melihat jamyang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih."Saya mau sekolah. Dik Amala tidak pergi ke kampus?" PakRido bertanya seraya memakai jam tangannya itu. Amala hanya menggeleng. Tidakada janji antara dia dengan dosennya, sehingga dia juga malas untuk pergi."Kalau begitu, kita sarapan dulu, yuk. Saya sudah buatkan nasigoreng untuk kita semua."Amala mengangguk saja. Pak Rido melenggang pergi. Dia baru bangkitkemudian. Berlalu sebentar ke kamar mandi hingga segera menyusul ke ruangmakan.Reza dan Kanaya sudah menunggu di sana dan terlihat tidak sabaruntuk segera menikmati nasi goreng buatan ayahnya itu. Amala sendiri tidak bisaberkutik ketika tatapan Reza seolah mengintai hebat. Dia tidak nyaman denganposisinya seperti itu."Ibu." panggil Kanaya, menatap Amala dengan nanar. Gadiskecil it
"Jika saya boleh tanya, ke—kemana Ibu kalian?" Dengan hati-hati, Amala menanyakan hal sensitif itu kepada Reza. Pasalnya, Amala benar-benar penasaran. Reza seolah sudah sangat ahli dalam mengurus anak kecil, bahkan, mengalahkan Amala yang notabenenya seorang Perempuan. "Ibu kami sudah meninggal ketika melahirkan Habil," tukas Reza cepat sukses membuat Amala terkejut."Jadi ....""Iya. Selama ini Ayah emang enggak mau menikah lagi. Namun, Ayah mendadak cerita kalau Ayah mendapat amanah yang begitu besar. Ayah diberi amanah untuk menjaga seorang perempuan dengan cara menikahi perempuan itu. Saya awalnya memang kaget dan enggak bisa terima hal itu, tapi saya tahu kalau Ibu Amala ini orang baik," ujar Reza menjelaskan tanpa diminta oleh Amala sendiri. Amala kehilangan hal apa yang ingin dia ceritakan. Namun menatap dua mata Reza yang berbicara begitu tulus itu sudah membuatnya yakin jika anak-anak Pak Rido begitu baik dan mau menerima kedatangan dirinya dalam hidup mereka."Lalu, bagai
Kamar indah yang tersusun rapi kini di depan mata. Ada hal yang membuatnya cukup berbinar seperti rasanya kembali kepada hal yang membuat terbang."Ah! Aku pulang!"Bruk! Amala menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tidur dengan nyaman merasakan ketenangan yang teramat sangat. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknyaa. Dia tahu, bahwa kenyamanan seperti ini tidak akan dirasakan olehnya dengan cukup lama. Pasalnya ini hanyalah salah satu syarat yang dia ajukan dengan sahabat papanya itu."Pokoknya aku harus cari cara supaya Pak Guru itu enggak lagi maksa aku pulang ke rumah dia. Aku harus tetap di sini!" Amala memuaskan diri dengan tidur beberapa saat di kamar. Dia kemudian terbangun ketika melihat jam yang telah menunjukkan pukul dua siang.Hari ini, dia baru sadar jika ada janji dengan dosen. Meskipun sudah tidak berniat lagi untuk menyelesaikan skripsinya itu, Amala mau tidak mau harus tetap menemui dosennya. Dia hanya tidak ingin pendidikannya itu terbengkalai tidak jelas.Rasa l
Meja makan sudah dipenuhi oleh beberapa macam makanan. Tersusun rapi dan Pak Rido, lelaki paruh baya itu masih terlihat sibuk menata dengan baik.Amala sendiri kini membeku. Diam tidak berkutik namun heran mengapa Pak Rido memperlakukannya seperti papanya memperlakukan dia dulu. Kenapa mirip sekali sikap keduanya? Amala sendiri kini membiarkan anak bungsunya Pak Rido itu yang terus memegang tangannya dengan kuat."Sudah. Ayo makan, Dek." Pak Rido menarik kursi mempersilakan Amala. Tidak ada penolakan selain Amala segera menghampiri cepat."Terima kasih." Amala berujar pelan sukses membuat Pak Rido tersenyum dengan haru. Ada rasa bangga yang terhinggap dalam jiwanya itu kala Amala menghargai apa yang sudah dia perbuat.Amala sendiri bahkan sudah tidak sabar untuk segera makan. Dia berniat untuk mengambil ikan bakar yang ditemani dengan kuah kecap yang terlihat cukup nikmat. Makan mi instan bukan pilihan yang tepat untuknya berhenti merasa lapar.Amala kemudian larut dalam menikmati mak
Amala hampir saja tersedak mendengar hal itu. Dia segera minum susunya dengan cepat. Pak Rido hanya bisa mendesah pelan melihat itu. Reaksi Amala saja sudah menjadi jawaban baginya."Apa itu penting?" tanya Amala kemudian."Tentu saja. Saya hanya berpikir Dik Amala akan mau menemani saya. Namun jika tidak, tidak apa saya ....""Oke. Nanti siang Bapak jemput saya." Amala tidak tahu, mengapa dia langsung setuju saja. Namun, kebaikan Pak Rido dari kemarin menjadikan dia tidak tega untuk menolak."Alhamdulillah. Iya, Dik. Nanti pulang sekolah saya kemari. Saya mandi dulu, yaa." Penuh senyuman yang cerah, beliau beranjak cepat. Amala terkekeh saja melihat hal itu. Lucu saja. Teman papanya itu berubah cukup senang. Amala kadang heran, Pak Rido sebenarnya suka atau memang kasihan padanya? Tidak mungkin beliau jatuh cinta bukan? Amala menggeleng tidak mengerti.*Tidak ada baju. Namun ada satu gaun berwarna putih yang kini menjuntai di depan Amala. Biasanya dia kerap memakai itu jika sedang
"Rahmi. Kamu datang juga?" Pak Rido yang mendadak datang membuat wanita yang ternyata bernama Rahmi itu segera menarik diri menjauh dari Amala. Raut wajahnya seketika berganti dengan senyuman awal di mana membuat Amala tidak habis pikir."Eh, Mas. Iya dong. Aku baru saja bicara dengan istrimu. Dia cantik sekali, ya?" Rahmi. Wanita itu berkata dengan suara yang terkesan dibuat-buat seraya menatap Amala yang kini terpaku tidak percaya.Amala kian heran. Siapa sebenarnya wanita ini? Apa mau dia sehingga berani mengancamnya? Apa dia menyukai Pak Rido seperti wanita lainnya juga? "Terima kasih, Rahmi. Oh iya, sepertinya kami sudah harus pamit. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan cepat," ucap Pak Rido seraya menoleh pada Amala. Amala bersyukur mendengarkan hal itu."Baiklah, Mas. Kamu hati-hati, ya. Aku berdoa supaya kalian bisa segera memiliki momongan.""Amin." Pak Rido tersenyum lebar. "Ayo, Dik. Kita pulang." Amala mengangguk mengerti hingga segera beranjak. Namun ada hal ya
"Dik Amala. Maaf, saya sudah mengajakmu untuk bertemu dengan mereka hari ini. Saya tahu ini tidak mudah. Maafkan saya."Amala bergeming.*Pemakaman yang nan luas. Amala melempar pandangan ke segala arah. Dia berharap segera ke makan orang tuanya itu. Rasa rindu yang telah memuncak tidak akan bisa dia utarakan kepada siapapun.Amala akhirnya bersimpuh di makam papanya. Duduk di sana memerhatikan batu nisan dengan pandangan lama. Dia berharap jika seandainya waktu bisa diulang dia akan meminta papanya itu untuk selalu ada dalam dekapannya selamanya.Isak tangis telah datang. Amala tidak kuasa menahan diri lagi hingga memeluk nisan itu dengan erat. Air mata yang menjadi jawaban bahwa betapa dia begitu sangat mencintai orang yang telah pergi ini. "Pa, apa benar ini yang terbaik untuk Amala? Kenapa Papa memilih Pak Rido untuk datang dalam hidup Amala, Pa?" Amala terisak. Dia sesekali menyeka air mata itu namun tetap dengan posisi yang terus menumpahkan segala hal yang terus bermain dalam
"Kamu kelihatan enggak seceria dulu lagi. Padahal Amala yang dulu begitu banyak bicara dan tertawa. Kamu polos dan bicara sekenanya kamu tanpa pikir panjang, tapi kamu yang sekarang kelihatan beda saja, Mal. Apa mungkin karena Papamu meninggal? Lalu mau sampai kapan kamu menjadi seperti orang lain?" Amala bergeming. Jadi selama ini Adlan tahu apa yang berbeda darinya? "Amal. Kamu gadis kuat. Kamu harus bisa tersenyum seperti dulu. Kehidupan akan tetap terus berjalan, kan? Kalau kamu selalu sedih, Papa dan Mamamu juga akan sedih di sana. Kamu harus bisa menjadi Amala yang dulu lagi. Kamu enggak sembunyikan apapun dariku, kan, Amal?" "Lan, aku sama sekali ....""Tolong jangan bohong. Aku tahu dari raut wajah kamu saja kamu ini sedang menyembunyikan sesuatu.""Enggak ada yang perlu kamu tahu, Lan. Intinya sekarang aku baik-baik saja, bukan? Kamu enggak perlu cemaskan apapun. Sekarang pulanglah. Nanti Papamu bisa marah kalau kamu terlambat."Mendengar Amala bicara yang begitu lembut it