Bugh!"Reza!" Amala sukses memekik begitu Reza berhasil menghadiahkan sebuah bogem mentah tepat di rahang Adlan. Adlan kesakitan."Kamu ini siapa! Berhenti menganggu Ibu Amala! Paham!" Reza membentak kemudian."Reza, sudah. Bukan apa-apa. Sebaiknya kita segera pergi. Ayo." Amala berhasil mengajak Reza untuk masuk ke mobil menyusul Kanaya yang sudah terkejut itu. Amala sejenak kemudian melihat Adlan yang kini menatapnya dengan pandangan trenyuh.Amala benar-benar tidak tahu harus mengatakan hal apa namun dia hanya berpikir untuk bukan saatnya bicara dengan Adlan sekarang. "Adlan, maafkan aku." Amala berujar lirih hingga segera masuk ke mobil."Amala! Amala tunggu!" Adlan memekik. Dia hanya memandangi mobil itu dengan pandangan nanar sekarang. Ada rasa sakit yang membuncah. Apakah ini yang dinamakan dengan penyesalan tanpa hujung? Dia tahu dia sudah terlambat untuk bisa bertemu dengan Amala lagi.*"Ibu Amala baik-baik saja, kan?" tanya Reza setelah membawakan Amala secangkir teh hang
"Alhamdulillah. Saya tahu Dik Amala adalah orang baik. Dik Amala akan menjadi istri yang baik untuk saya dan anak-anak saya." "Le-lepaskan saya, Mas.""Oh!" Pak Rido tersadar kemudian."Ma-maaf, Dik. Ehem, susunya saya minum sekarang, ya." Pak Rido. Beliau kemudian sukses membuat Amala terkejut saat menghabiskan segelas susu itu dalam sekejap. Amala tidak bisa menahan tawanya melihat kejadian itu hingga Pak Rido kebingungan sendiri."Dik, kenapa malah tertawa?""Enggak apa-apa. Saya ke kamar mandi dulu." Amala segera beranjak masuk ke kamar mandi. Dia tahu sikapnya ini begitu berbeda sekarang. Lalu benar. Wajahnya sudah memerah sempurna. Apa Pak Rido tidak menyadari ada perubahan pada wajahnya itu? Amala tidak menyangka akan semalu ini.Dekapan Pak Rido tadi masih terasa hangat dalam dirinya. Perasaan apa itu sebenarnya? Apa Amala telah berhasil luluh? Keluar dari kamar mandi. Amala kini melihat Pak Rido yang ternyata sudah berbaring bersiap akan tidur. Amala antara kikuk tidak jelas
"Papa sudah meninggal.""Apaa?!" Putri. Untuk ke sekian kalinya kembali tersentak. Lama-lama Putri akan terkena serangan jantung."Om Rahman sudah meninggal. Ya ampun. Kok aku jahat ya enggak tahu Papamu meninggal, Mal." Putri mendadak merasa bersalah kini."Aku senang kamu pulang, Put. Sekarang aku bisa cerita apapun tanpa takut lagi." Amala tersenyum namun mendadak rasanya ingin menangis saja. Putri iba melihat hal itu hingga segera merangkul temannya itu dengan erat. "Kamu pasti sudah lewati masalah yang berat banget ya, Mal. Aku minta maaf, ya. Sekarang kamu bisa cerita apapun sama aku. Aku janji bakal dengar apapun yang mau kamu cerita. Janji!" Putri kian memeluk sahabatnya itu dengan erat. Amala terkekeh pelan sukses dengan air matanya yang ikut jatuh."Tuh, kan. Aku malah nangis." Amala merengek pelan."Jangan nangis dong, Amal. Kamu enggak boleh nangis. Ayo puter badan kamu sekarang!" Putri. Dia sengaja membalikkan tubuh Amala ke arah kamar di mana kini terlihat Kanaya yang s
"Kamu tunggu apa lagi? Lagi pula mau tunggu sampai kapan? Sampai kamu jatuh cinta? Hah?"Pertanyaan itu, masih terus bermain dalam benak Amala. Dia kini berada di balkon kamar. Menumpahkan pandangan ke atas langit sana yang dipenuhi oleh rona jingga. Hari sudah semakin sore. Putri sudah pulang ke rumahnya setelah memberikan berbagai kritikan dan nasihat kepada Amala. Amala tahu, jika semua hal yang Putri katakan itu memang benar namun dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. "Assalamualaikum. Dik."Amala sukses terkejut karena sudah larut dalam lamunannya itu ketika mendadak melihat Pak Rido yang ternyata sudah berada di kamar, entah. Amala bahkan tidak melihat Pak Rido masuk."Sedang apa?" tanya Pak Rifo ikut menyusul ke balkon. Beliau terlihat cukup lelah dengan pekerjaannya hari ini. Terlihat dari rona wajah namun bibir itu masih bisa tersenyum dengan baik.Sekolah yang Pak Rido baktikan memang terkenal cukup bergengsi. Selain karena peraturan dan kualitas yang begitu baik, seko
"Dik, bisakah malam ini?" Pak Rido bertanya dengan lirih. Amala malah tersentak."Bi-bisa apa, Maas?""Ayo bangun. Ketika pergi."Amala kembali tersentak. Kenapa mendadak Pak Rido malah menyuruhnya berdiri kini? Mau diajak ke mana? Lalu apa maksudnya bisa? Pikiran Amala kian berkecamuk. Takut."Ehem, Dik Amala sedang berpikir apa?""Eh?" Amala cengengesan yang sontak saja membuat Pak Rido tersenyum simpul. Ada rasa untuk tertawa namun Pak Rido menahan dirinya itu. Amala benar-benar gadis yang begitu lucu. "Bisakah malam ini saya mengajak Dik Amala pergi berkeliling kota? Kita lihat pasar malam. Tidak jauh dari sini.""Oh." Amala mangut-mangut mengerti. Dia pun segera bangkit seraya berusaha menghilangkan wajahnya itu. Benar. Dia yakin kini kedua pipinya telah memerah sempurna.Pak Rido kali ini benar-benar tertawa.Jam kini menunjukkan pukul sembilan malam. Di bawah sinar rembulan dan sedikit angin yang berhembus. Amala dan Pak Rido suaminya itu pergi berjalan beriringan.Ada beberap
"Calon suamiku. Mas Brian." Putri menjawab dengan begitu polos sementara Amala kian tersentak."Calon suami?""Nah, itu dia! Mas Brian! Aku di sini!" Putri sukses memekik dan melabai cepat ke arah seorang lelaki yang tersenyum lebar di sana. Dia mengangkat plastik yang dipenuhi oleh buah-buahan bewarna oranye, yaitu jeruk.Amala kian terkejut melihat itu. Sementara Pak Rido terlihat biasa saja karena memang tidak tahu hal tersebut lebih jelas."Nah. Aku sudah beli semua yang kamu minta tadi, Put." Brian. Lelaki itu menyerahkan plastik buat tersebut kepada Putri."Mal, ini untuk Kanaya, ya." Putri menyodorkan kepada Amala kini yang bingung. Pak Rido sendiri terlihat terkejut kini. Dari mana Putri mengenal anaknya itu?"Kok untuk ....""Iya. Kemarin aku sempat tanya sama Kanaya dia suka buah apa. Aku sudah janji mau bawa dia jeruk karena buah kesukaan dia jeruk! Hehe!" Putri tertawa lucu seraya disahuti oleh Brian lelaki itu juga. Amala tidak percaya melihat mereka yang begitu kompak it
"Kenapa Dik Amala tidak mengajak saya?"*Mati adalah hakikat yang pasti terjadi. Ada hal tidak bisa dibicarakan namun siapa yang ditinggal kemudian akan merasakan rindu yang tidak bisa terhimpit dengan hal yang berbau tabu.Amala. Kini diam menyusut diri. Batu nisan yang terpampang di depan mata menjadi awal di mana rasanya ingin menangis dengan begitu keras. Cukup merasa sakit dan rindu namun dia sendiri heran bagaimana demi mewujudkan dan meluapkan rasa tersebut dengan baik.Pak Rido sendiri kini duduk di dekatnya. Tidak ada kata. Selain hanya terus mengibakan doa terhadap sahabat yang telah menjadi orang tuanya juga itu. Ada beberapa hal yang selayaknya menjadi mimpi baginya bahwa sosok yang telah tiada itu sudah menjadi bagian hidupnya meski datang dengan keadaan yang telah berlalu."Mari pulang, Mas." Amala kini bangkit. Sejenak membuat suaminya itu bertanya-tanya. Mereka bahkan baru sebentar di tempat ini namun Amala telah bergelak untuk meminta pergi. Haruskah dia mengiyakan d
"Enggak, Mas. Saya bahkan enggak berbuat apapun.""Bohong! Dia tadi menamparku, Mas!" Rahmi memekik kini.Semua pandangan tertuju pada Amala. Ada hal yang ingin disampaikan oleh Rido namun dia sendiri tidak bisa seketika memihak karena tidak memiliki hal yang bisa dia lakukan.Rido tidak segera berujar. Dia memilih kini untuk segera menarik tangan Amala. Cengkraman cukup kuat. Hingga menyeretnya berjalan cepat memecah kerumunan orang-orang yang mendadak telah berkumpul.Amala jelas tersentak dengan sikap Rido tersebut. Namun dia bahkan tidak bisa berujar apapun selain hanya menyerah. Seorang perempuan yang tidak bisa berteriak hanya mengikuti alur seperti apa yang akan Rido lakukan padanya."Lepasin aku, Mas!" Amala baru menarik lengannya kala mereka telah berada di samping mobil."Apa yang kamu lakukan, Dik? Apa seperti ini? Kamu sengaja ingin mempermalukan saya di sekolah ini?" Amala menatap Rido tidak percaya. Jadi ini adalah ungkapan setelah dia sendiri yang sudah menjadi korban