Share

Menikah Denganku!

Alya menolak dengan tegas rencana ayahnya untuk segera menikahkah dirinya dengan Aziz. Bukan karena tidak mencintainya, tapi cara sang ayah menikahkan mereka yang ia tidak setujui. 

Ia ingin menikah dengan cara terhormat, bukan atas dasar kepentingan bisnis semata. Meskipun Aziz pasti akan membantunya, tapi ia tidak ingin pernikahan menjadi dasar dari bantuan itu. Juga, Egie pasti akan melibatkan Aziz dalam masalah mereka, sebab pria kejam itu tidak mengenal belas kasihan. Ia tentu tidak akan membuat Aziz dan keluarganya menderita sama seperti dirinya saat ini.

Dan sore itu, Aziz sudah duduk di hadapannya di kantor, pemuda itu segera datang ke kantor Alya setelah mendengar penolakannya dari Abah Nayef.

"Kenapa kamu menolak pernikahan kita, Al?" tanya Aziz.

"Maaf, Ziz. Bukan pernikahan seperti itu yang aku harapkan. Jika kamu mau membantu maka silakan bantu dengan suka rela, jangan libatkan pernikahan dalam urusan bisnis," tegas Alya.

"Bukan begitu maksudnya. Aku pasti akan membantumu, tapi untuk ayahku, kita butuh sebuah ikatan untuk mendapat bantuan dana darinya," tukas Aziz. 

"Atau kamu meragukan aku?" Aziz mulai terbawa emosi.

Alya yang sejak tadi hanya menunduk, perlahan mengangkat wajahnya. Sepasang bola mata lentik itu menatap tajam bola mata hitam Aziz, mereka saling tatap beberapa saat. Ada gejolak tak kasat mata yang tengah menyelinap di hati kedua insan itu.

"Jaga ucapanmu, aku tidak pernah mengkhianati kesetiaan seseorang. Aku hanya tidak ingin hubungan kita tercampur aduk dengan bisnis. Kamu bisa bayangkan apa yang terjadi jika suatu saat aku atau kamu terlibat masalah serius dalam bisnis, akankah pernikahan kita tetap bertahan?" Alya mengalihkan perhatiannya ke luar ruangan melalui dinding kaca.

"Juga urusanku dengan Starbig, biar aku sendiri yang menyelesaikan, aku tidak ingin menyeret perusahaanmu dan ayahmu dalam masalah ini. Kamu pasti sangat tau seperti apa seorang Egie Andirasmaja," ucap Alya lagi.

Mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.

"Aku berangkat ke Dubai lusa, tolong jaga dirimu baik-baik," ucap Aziz mengakhiri perdebatan. Ia tahu Alya tidak akan mengubah pendiriannya jika sudah mengambil keputusan. 

"Bukannya masih dua bulan lagi?" Alya mengernyitkan keningnya mengetahui Aziz akan segera pergi, padahal rencana awalnya pemuda itu akan berangkat dua bulan lagi.

"Ada urusan mendesak," jawabnya singkat, ia sedikit kesal karena sifat Alya yang sangat keras kepala.

Ia lalu bangkit dari kursinya, berjalan menuju ke pintu.

"Hati-hati di perjalanan," tukas Alya sebelum Aziz meninggalkan ruangan.

Alya mengusap wajahnya berkali-kali sepeninggal Aziz, berusaha meredam perasaan kesal yang masih bersemayam di lubuk hatinya. Lalu meraih surat peringatan yang dikirimkan oleh Starbig beberapa menit yang lalu. Ia belum sempat membacanya karena Aziz tiba-tiba datang setelah Hanami mengantarkan surat itu.

Dan ia langsung membulatkan bola matanya begitu membaca sebaris kalimat di dalam surat itu, "Aku akan mengembalikan kejayaan perusahaanmu dengan syarat kamu menikah denganku."

"Apa aku salah baca?" Alya mengulang-ulang hingga beberapa kali sebaris kalimat yang tercetak tebal itu.

"Bisanya dia menawarkan solusi konyol begitu? Apa dia pikir aku wanita murahan?" Alya memprotes seorang diri. Memikirkan wajah dingin Egie membuatnya bergidik ngeri.

Alya mengabaikan tawaran Egie itu, ia masih bisa mencari cara lain agar bisa mengembalikan kemakmuran perusahannya.

Baru saja ia terlepas dari pernikahan karena bisnis dengan Aziz, kini mendapat tawaran baru dari musuh bisnisnya. Apa mereka sebegitu merendahkan wanita? Sehingga sangat mudah mengikat dengan pernikahan untuk memuluskan sebuah bisnis! Alya merasa geram dengan semua itu.

***

Dua minggu berlalu, Alya belum merespon surat peringatan yang dikirimkan Egie. Pria itu tidak sabar menunggu lagi. Entah mengapa ia begitu bersemangat kali ini, mungkin karena hanya Alya yang melakukan perlawanan dan berani mengulur waktu untuk menerima penawarannya.

"Tommy! Buat gadis itu menyerah secepatnya!" perintah Egie.

"Baik, Tuan," tukas Tommy. Lalu bergegas meninggalkan tuannya.

Egie tersenyum menyeringai. Ia sangat menyukai permainan dalam berbisnis. Memiliki segalanya dalam hidup membuatnya bisa melakukan apa saja yang ia inginkan.

"Kamu pikir bisa menghindari jurang neraka yang sudah aku gali?"

Ponsel Egie berdering, ia merogoh saku celananya, mengambil benda pipih dari dalam sana. Tampak sang ibu menelepon. Ia berdecak kesal, sejak dulu ia tidak pernah akrab dengan ibunya semenjak bercerai dengan ayahnya.

"Halo," jawabnya dingin.

"Halo, Egie. Kamu di mana sekarang?" tanya sang ibu lembut.

"Masih di kantor. Ada perlu apa?" Egie menjawab seperlunya, ia juga tidak ingin bermanja ria dengan sang ibu. Ditinggalkan saat usianya masih membutuhkan kasih sayang membuatnya memendam kemarahan pada ibunya.

"Mama dengar dari asisten rumah tangga, kamu tidak pulang ke rumah sudah tiga hari? Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya ibunya tetap lembut.

Egie berdecak kesal, ia sangat tidak suka diperhatikan seperti itu. Meski sang ibu selalu melimpahkan kasih sayang secara tidak langsung, ia tidak pernah menanggapi semua itu, ia selalu mengabaikannya dan menganggapnya tidak pernah ada.

"Mama tidak perlu khawatirkan aku. Uruslah urusan Mama, aku sibuk." Egie segera memutuskan sambungan telepon. Ia tidak ingin berlama-lama berbicara dengan ibunya.

Tidak lama kemudian, Tommy sudah kembali ke ruangannya.

"Bagaimana?" tanya Egie tidak sabar.

"Dia ingin bertemu dengan Anda, Tuan." Tommy mengabarkan.

"Untuk apa lagi?" Egie menghempaskan dirinya di atas kursi dengan malas.

"Katanya ada yang perlu didiskusikan, dia tidak mengatakannya padaku. Dia sekarang ada di depan ruangan," ucap Tommy.

"Baiklah, suruh dia masuk." Egie akhirnya mengizinkan. Ia juga penasaran, alasan apalagi yang akan dilontarkan Alya untuk mengulur waktu.

Tommy keluar ruangan, lalu tidak lama kemudian kembali masuk bersama Alya. Gadis itu tampak lebih kurus dan sedikit pucat, Egie memperhatikannya sejak pertama kali Alya memasuki ruangan. Gadis itu segera duduk di hadapan Egie setelah dipersilakan.

"Maafkan saya, Tuan Egie. Saya hanya ingin mengatakan kepada Anda bahwa tawaran pernikahan itu tidak ada hubungannya dengan  masalah bisnis kita. Anda sebutkan saja berapa nominal yang harus saya serahkan untuk membayar kerugian yang Anda alami," ucap Alya sambil menunduk.

Egie tersenyum mendengar ucapan Alya, ia cukup terkesan dengan keberanian gadis itu. Selama ini tidak ada yang berani bernegosiasi dengannya.

"Apa kamu sudah tidak sanggup mengikuti permainanku, hem? Aku hampir mengakhiri permainanku, bukan? Dan aku sudah menawarkan harga yang harus kamu bayar, apa kamu tidak mengerti?" Egie memegang dagunya sendiri memandangi Alya yang masih menunduk. Wanita itu, benar-benar membuatnya penasaran.

Alya terdiam, ia tidak memiliki kata-kata lagi untuk membalas ucapan Egie. Pria itu memang cerdik dan licik! Perlahan ia mengangkat wajahnya, menatap bola mata tajam Egie yang berkilat-kilat. Wajah itu semakin mengerikan dengan senyum seringainya kali ini.

"Saya...."

"Kalau kamu menolak tawaran terakhirku ini, artinya kamu sudah merendahkan aku berkali-kali. Aku tidak akan berbelas kasihan lagi," ancam Egie memotong kalimat Alya.

Egie berdiri dari tempat duduknya, mendekati kursi yang sedang diduduki Alya.

Melihat pria itu semakin mendekat, jantung Alya berdegup kencang. Baru kali ini ia merasakan ketakutan yang teramat sangat. Dan kini, Egie tepat berada di hadapannya sambil mencondongkan tubuhnya. Kedua tangan pemuda itu bertumpu di kiri dan kanan kursi yang diduduki Alya, wajah mereka berhadapan sangat dekat. 

Menyaksikan semua itu membuat tangan Alya gemetar, keringat dingin membasahi telapak tangannya.

"Ap-apa yang Anda lakukan?" tanya Alya tergagap.

Bersambung...

Wina Faathimah

Halo sobat, jangan lupa klik subscribe dan berikan review ya... Terima kasih...

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status