Share

Mencari Bantuan

Alya menatap Hanami dengan pandangan sendu. Baru saja sekretaris pribadinya itu melaporkan tentang penarikan saham dari 50 persen investor dan 25 persen supplier membatalkan kerja sama. Secara otomatis bulan depan mereka akan kehilangan banyak pasokan modal dan barang. 

"Tim sudah mencari tau latar belakang semua itu, mereka mundur atas tekanan dari seseorang. Mereka tidak mengatakan itu siapa, tapi aku yakin pastilah Egie Andirasmaja orangnya." Hanami menambahkan informasi yang dibawanya.

Dan seperti yang diprediksi, satu bulan berikutnya, Almanar kehilangan banyak investor dan supplier. Akibat dari penarikan saham dan pembatalan kerja sama, kini mereka memiliki hutang yang sangat besar untuk menutupi biaya pembelian barang. Jumlah barang di gudang dan etalase juga merosot tajam.

Alya berdiri dengan gelisah di hadapan dinding kaca. Ia harus membuat sebuah terobosan baru agar bisnisnya terus berkembang. Ia teringat Fahira, sahabat karibnya yang baru pulang beberapa hari lalu dari magister-nya di Virginia yang langsung dilanjutkan dengan umrah. Sahabatnya pasti bisa membantunya karena ayahnya memiliki banyak relasi bisnis dan orang-orang berpengalaman. Ia segera meneleponnya.

"Assalamu'alaikum, Alya, honey bunny, sweety, habibaty." Terdengar jawaban riang Fahira diiringi tawa.

Alya tersenyum geli mendengar kekonyolan ucapan sahabatnya. "Wa'alaikumsalam, kamu di rumah?" 

"Iya di rumah, nih lagi makan sama Miau. Ada apa?" 

"Aku ke situ, ya? Ada yang mau aku omongin," ucap Alya lirih.

"Eleuh-eleuh, bos eta moal tiasa jauh atuh (bos itu nggak boleh jalan jauh). Biar aku yang ke situ," sergah Fahira.

"Apaan sih, tunggu di situ aku langsung OTW, sekalian mau jenguk Miau, udah kangen ih." Alya langsung beranjak sambil tetap memegangi ponsel di telinganya.

Setelah selesai menelepon, ia menghubungi Hanami untuk menginformasikan bahwa dirinya sedang keluar. Lalu bergegas menuju ke mobilnya di area parkir khusus. Setelah menyebutkan alamat tujuannya, Pak Rusdi, sopir pribadinya, segera membawanya ke alamat tersebut.

"Ke rumah Neng Fahira kah, Neng?" tanya Pak Rusdi.

"Iya, Pak. Singgah dulu beli makanan Miau, ya?"

"Baik, Neng."

Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya Alya tiba di rumah Fahira. Sahabatnya itu sudah menunggunya di depan rumah dan langsung menghambur ke pelukannya saat ia tiba di teras.

"Alyaaaa!!! I miss you so much (aku sangat merindukanmu)! Kaifahaluki (apa kabarmu)?" Fahira mengeratkan pelukannya.

"Alhamdulillah, bikhair (baik). Anti (kamu) tambah geulis (cantik) aja, Fa. Tambah berisi juga, pasti seneng ya di negeri orang?" seloroh Alya. 

"Iya kah? Hmmm, harus diet nih," tukas Fahira sambil tersenyum.

Alya memperbaiki jilbab Fahira yang miring karena pelukan mereka, lalu mencubit pipi sahabatnya dengan gemas. "Si geulis Fahira," celetuknya.

Mereka lalu masuk ke dalam. Alya mencari-cari Miau yang tidak nongol batang hidungnya. "Miau..., di mana kamu, Nak? Ini Ummi bawain snack!" panggil Alya. Tidak lama kemudian, Miau berlari dan mendekati mereka berdua. Kucing berbulu lebat itu menatap Fahira dan Alya bergantian, mungkin sedang berusaha mengenali Alya.

Alya segera berjongkok di hadapan Miau. "Kamu pasti lupa sama Ummi, kan? Sini biar Ummi gendong, masa kamu lupa sih." Alya segera mengangkat tubuh Miau, tapi kucing itu mengeraskan tubuhnya tidak menerima perlakuan Alya.

"Miauu!" seru kucing itu.

"Dia masih belum terbiasa sama orang baru, kamu kelamaan nggak ke sini jadi Miau lupa," ujar Fahira menengahi.

Alya memberengut, lalu memukul halus hidung Miau. "Kamu tega!" 

Fahira tertawa, lalu mengajak Alya ke taman belakang, tempat mereka dulu sering nongkrong. 

Alya memperhatikan keadaan sekitar, belum banyak berubah. Kolam ikan, air mancur, kursi malas, ayunan pohon, sepeda, semuanya masih sama letaknya dengan dua tahun lalu sewaktu Fahira hendak berangkat melanjutkan studi.

"Emang ada apaan? Kayaknya penting banget." Fahira memulai pembicaraan.

Sebelum Alya membuka suara, ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari Hanami.

"Ummi, sepuluh investor menarik saham lagi dan lima supplier memutus kerja sama. Satu supplier sudah mengirimkan pemberitahuan jatuh tempo pembayaran barang." 

Alya menghela napas, lalu membalasnya. "Baik, aku mengerti. Lakukan yang terbaik menurutmu."

"Al?" Fahira menepuk bahu Alya yang masih termenung menatap layar ponselnya yang telah mati.

"Fa, sebenarnya aku lagi ada masalah dengan sebuah perusahaan besar. Kamu tau Starbig, kan?" 

"Nggak terlalu tau, sih, cuma yang aku tau perusahaan besar aja. Emang kenapa sampe bermasalah sama mereka?" Fahira yang tidak tertarik dengan dunia bisnis wajar jika tidak tau, dia lebih tertarik menjadi seorang duta besar atau sejenisnya.

"Waktu itu, aku menerima suplai produk dari mereka. Aku heran aja kenapa perusahaan seperti itu bisa masuk sebagai supplier perusahaanku. Kamu tau sendiri kami selektif dalam menerima produk. Dan benar saja, setelah aku uji, produk-produk mereka mengandung bahan-bahan berbahaya dan sebagiannya dicampur dengan minuman keras...." Alya terus menjelaskan dengan detail seluruh kronologi yang menjadi sumber masalah.

"Abah langsung sakit begitu tau ini. Dan sekarang... sebagian besar investor dan supplier sudah menarik diri, tinggal beberapa yang tersisa. Mereka benar-benar penghisap darah, Fa. Kejam!" Wajah Alya seketika murung, di hadapan sahabat karibnya itu, ia tidak perlu terlihat tegar dan kuat.

"I see. Terus, apa yang bisa aku bantu?" Fahira menggenggam tangan sahabatnya, turut merasakan kesulitan yang tengah menerpanya.

"Aku butuh bantuanmu buat cari investor baru, paling tidak... yang bisa membantu keuangan perusahaanku. Jujur, sekarang keuangan kami hampir minus. Papa kamu pasti punya banyak relasi yang bisa membantu, Fa," ucap Alya penuh harap. 

Ponsel Alya kembali berdering, kali ini telepon dari ibunya. Ia segera mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Mi," ucapnya dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Ia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.

"Wa'alaikumsalam, Al, bisa ke rumah sakit sekarang, Nak? Ada hal penting yang harus kita bicarakan." Suara sang ibu terdengar serius.

"Baik, Mi. Alya ke rumah sakit sekarang." Telepon pun diakhiri. Ia mulai gelisah, khawatir terjadi sesuatu dengan ayahnya. 

"Ada apa?" Fahira juga menjadi khawatir melihat wajah Alya yang berubah menegang.

"Aku harus ke rumah sakit sekarang. Sepertinya ada hal penting yang mau dibicarakan." 

"Biar aku ikut, aku juga mau jenguk Abah," ucap Fahira. Alya mengangguk setuju.

Mereka pun meninggalkan rumah Fahira. Memasuki mobil Alya dan meluncur menuju ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menemui Bu Amelinda yang sedang bercakap-cakap dengan Abah. Bahkan pria paruh baya itu terlihat segar dan semakin membaik. Alya bernapas lega, kekhawatirannya tidak terjadi. Tapi, apa yang akan orang tuanya bicarakan?

"Assalamu'alaikum, Ummi, Abah," salam Fahira seraya menyalami Bu Amelinda dan menangkupkan kedua tangan kepada Abah. Mereka tersenyum menatap Fahira.

"Kamu sudah pulang dari Virginia?" tanya Bu Amelinda seraya mengelus lengan Fahira.

"Iya, Ummi, baru beberapa hari yang lalu."

Lalu mereka pun terlibat percakapan ringan seputar kepergian dan kepulangan Fahira dari Virginia mengambil gelar magister-nya. 

"Al, Abah dan Umma sudah membicarakan tentang masalah perusahaan kita." Pembicaraan berubah menjadi serius dengan ucapan Bu Amelinda itu. Alya mendengarkan dengan seksama.

"Kalau kita terus bertahan, lama-lama perusahaan kita akan gulung tikar. Dan sekarang tinggal beberapa orang yang masih bertahan menjadi penyokong kita." Abah mengambil alih pembicaraan.

"Jadi, Abah sudah bicara sama Aziz, kalian segera menikah untuk mendapatkan bantuan dana dari orang tua Aziz. Dengan adanya Aziz dan orang tuanya, kita bisa mengembalikan stabilitas perusahaan. Kita tidak bisa membiarkan keterpurukan ini semakin lama," lanjut Abah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status