Share

Senja Kelabu

Alya berjalan dengan tergesa menyusuri koridor kantor Starbig meninggalkan ruangan Egie. Kejadian di dalam ruangan itu masih terekam jelas dalam otaknya. Bahkan kakinya terasa melayang tidak menapak lantai akibat rasa gugup yang tak kunjung sirna.

Ia buru-buru masuk mobil. Menundukkan kepala di kemudi menetralisir hatinya yang bertabuh bertalu-talu. Padahal Egie tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri begitu dekat dengannya, tapi tetap saja sangat menakutkan.

"Menikah? Bagaimana ini?" bisiknya dengan nada putus asa. Sejujurnya ia sudah ingin menyerah menghadapi pria kejam itu, sayangnya satu-satunya jalan hanya menikah.

Alya memutuskan bertemu dengan Fahira di salah satu rumah makan langganan mereka. Ia pun menceritakan kegelisahan hatinya menindaklanjuti penawaran CEO Starbig.

"Apa?! Menikah?! Yang benar saja si Egie itu!" Fahira membelalak tak percaya.

"Apa mungkin dia menjebakku?" 

"Jelas. Sepertinya dia selalu menggunakan cara ini setiap kali menaklukkan lawan bisnisnya. Dia bukan pria yang kesepian. Mungkinkah dia menderita suatu penyakit?" Fahira berasumsi.

"Entahlah. Yang jelas aku serasa mau gila." Alya menyesap habis jus alpukat di hadapannya.

Mereka terdiam bersama, tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Atau terima aja dia, Al. Ba...."

"Tidak!" Cepat-cepat Alya memotong ucapan sahabat karibnya itu dengan wajah masam.

"Dengar dulu." Fahira tersenyum lebar. "Kamu terima aja tawaran itu, terus pelan-pelan hancurin dia dari dalam. Kamu kumpul semua bukti-bukti kejahatan dia, terus... eksekusi."

Alya menggeleng. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh dengan pria itu. Baru saja ia menolak pernikahan dengan Aziz, lalu tiba-tiba dia menerima pernikahan dengan Egie? Itu tidak mungkin terjadi.

Akhirnya mereka pulang tanpa memperoleh solusi yang tepat.

Alya kembali ke rumah sakit. Tapi ia dikejutkan dengan kehadiran Hanami di sana. Wanita itu menunduk hormat begitu melihat kedatangan Alya.

Orang tua Alya serentak menatapnya penuh selidik. Dengan perlahan Alya menduduki sebuah kursi di samping ibunya.

"Kenapa untuk masalah sepenting ini tidak kasih tau ke kami?" cecar Abah Nayef. Umi Amelinda mengusap lengan suaminya agar tidak terbawa emosi.

"Aku sedang mencari jalan keluarnya, Bi." Alya menjawab dengan menunduk.

"Kalo bukan Hanami yang ngasih tau ke sini, kami yakin kamu nggak akan kasih tau ini," protes Abah lagi.

Alya menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia hanya tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.

"Nggak ada solusi lagi untuk masalah ini. Kamu harus segera menikah dengan Aziz agar secepatnya dapat bantuan dana, lalu kita bawa masalah ini ke ranah hukum." Abah Nayef berucap sangat tegas.

"Enggak, Bi. Aku nggak mau menghancurkan keluarga Aziz. Egie tidak akan semudah itu dikalahkan meski dengan bantuan keluarga Aziz." Alya menatap ayahnya dengan sendu.

"Aku...." Tenggorokan Alya tiba-tiba tercekat saat hendak melanjutkan ucapannya. "Aku... akan menerima tawaran Stabig," ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.

"Apa? Jangan asal bicara kamu!" bentak Abah penuh emosi. Baru kali ini Alya mendengar Abah membentaknya. Selama ini pria paruh baya itu selalu mengucapkan kalimat-kalimat lembut yang menentramkan. Ia tahu, ayahnya sudah sangat marah atas segala tindakan dan keputusannya.

Alya buru-buru menggenggam jemari sang ayah. "Bi, kalo aku menolak penawaran ini sudah pasti kita semua akan hancur. Begitu juga kalo aku justru memilih Aziz, kita dan keluarga Aziz akan hancur. Dengan aku menikahi CEO Starbig, maka hanya aku yang hancur, kalian semua aman. Aku sangat menyayangi Abi, Ummi, Aziz, dan perusahaan kita, aku nggak akan rela pria itu menghancurkan kalian semua." Suara Alya bergetar, bulir-bulir bening telah berjatuhan dari kedua matanya.

Semua terdiam mendengar pemikiran Alya yang brilian itu. Tapi sebagai orang tua, mereka tentu tidak ingin menghancurkan putri sendiri.

"Tidak, Alya. Abah tidak setuju." Pria itu melembutkan suaranya yang tadi sempat meninggi.

"Bi, aku janji akan jaga diri dan baik-baik saja di sana. Aku punya rencana untuk menghancurkan pria itu dari dalam." Alya meyakinkan, rupanya ide Fahira kini mendominasi otaknya.

"Kamu putri kami satu-satunya, Sayang. Jangan membahayakan dirimu." Amelinda sudah tidak kuasa menahan tangis, ia tergugu di sisi suaminya.

"Ummi, semua akan baik-baik saja. Ummi, Abah, jangan khawatirkan aku. Aku lulusan terbaik King Saud University dan Al Azhar University, tentu aku tidak akan bertindak gegabah untuk menyelesaikan masalah ini." Alya berusaha tersenyum disela linangan air matanya.

Akhirnya, dengan berat hati kedua orang tua Alya menyetujui rencana Alya. Amelinda memeluk Alya dengan erat, sangat takut kehilangan putri kesayangannya. Selama ini Alya selalu membanggakan dengan berbagai prestasi, rasanya tidak rela jika harus jatuh pada lelaki kejam seperti Egie.

"Tapi, bagaimana dengan Aziz, Bi?" Alya kembali menatap ayahnya yang juga masih meneteskan air mata.

"Biar nanti Abi yang bicara baik-baik dengan dia. Mudah-mudahan dia bisa mengerti." 

Mereka terdiam lagi dalam waktu yang cukup lama. Hanya isak tangis Amelinda masih terdengar memecah keheningan.

Alya melepaskan genggaman tangannya dari ayahnya, lalu menatap Hanami yang juga meneteskan air mata.

"Besok saat jam kerja kirimkan surat balasan pada Starbig. Bahwa aku menerima tawaran mereka," perintah Alya mengakhiri pembicaraan sore itu --sekaligus mengakhiri drama permainan Egie menggerus perusahannya.

***

Dua hari pasca mengirim balasan pada pihak Starbig, Alya terus berada di kantornya, hanya sesekali menjenguk ayahnya di rumah sakit. Ia lebih banyak diam. Menatap panorama kota Jakarta dengan tatapan kosong dari dinding kaca ruangannya.

Ia tahu, hidupnya akan segera berakhir. Ia bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa kehidupannya di dalam genggaman Egie. Hanya satu yang membuatnya semangat, keluarganya aman dari ancaman pria kejam itu.

Ia mengesah napas panjang. Seseorang mengetuk pintu, ia mempersilakan masuk. Lalu ia duduk di kursinya.

"Aziz?" Tanpa sadar nama itu meluncur dair mulutnya kala melihat sosok Aziz berjalan memasuki ruangan dengan wajah merah padam dan sorot mata tajam. Oh, tidak! Apakah Aziz murka? Bukannya dia sedang di Dubai? Kenapa tiba-tiba ada di sini?

"Jelaskan padaku kenapa kamu menerima pria itu dan menolak aku?!" Dengan nada tinggi Aziz mencecar Alya. Bahkan pemuda itu tidak duduk, melainkan berdiri di hadapan meja menatap tajam padanya.

Alya hanya menunduk. "Aku hanya ingin menyelamatkan semuanya."

"Menyelamatkan semuanya dan membunuh aku?!" gertaknya lagi. Alya menggigit bibir dalam-dalam, ia tidak menyangka Aziz akan semarah itu.

"Kamu terlalu merendahkan aku!" Masih meninggi nada suara Aziz. "Aku bisa melawan Starbig! Aku akan menghancurkannya hingga tak bersisa! Kamu liat saja, Alya!" Aziz berapi-api sambil memukul-mukul meja.

"Aziz, cukup! Jangan cari masalah baru, aku...." Belum selesai Alya berbicara terdengar tepuk tangan dari arah pintu yang terbuka. 

Di sana Egie dengan senyum lebar berjalan perlahan masuk ke dalam ruangan seperti gerakan slow motion.

"Bagus, bagus! Jadi Tuan Aziz Mansyour akan melawanku? Baiklah, itu tantangan menarik!" Egie diikuti Tommy semakin mendekati Aziz.

Bersambung...

Wina Faathimah

Terima kasih masih setia membaca Hati Untuk Presdir... Ikuti terus kelanjutannya ya... Jangan lupa tinggalkan review agar aku makin semangat update... Juga masukkan ke rak buku... Salam hangat dariku, Wina Faathimah

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status