Share

Pria Pengayom

Alya kembali ke rumah sakit setelah selesai meeting dengan Starbig. Bayang-bayang sosok Egie yang bersikap sangat dingin dan egois, tidak menerima penjelasannya, dan ancaman kerasnya terus berkelindan di dalam benaknya. Ia yang baru saja menjabat sebagai pimpinan perusahaan sudah harus berurusan dengan perusahaan raksasa seperti Starbig.

"Melamun?" 

Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mendongak dan mendapati sebaris wajah tampan dengan senyum paling menawan ditambah tatapan mata teduh menenangkan. Ia membalas dengan senyuman.

"Aziz, baru datang?" Bukannya menjawab, ia justru balik bertanya.

"Tuh kan, pasti kamu ngelamun makanya nggak liat aku datang. Sudah dari tadi, tapi ketemu Ummi Amel dulu di dalam sekalian liat kondisi Abah." Aziz duduk tiga kursi dari tempat duduk Alya. Ia adalah calon tunangan Alya, seorang pria yang sangat sopan, religius, dan mengetahui batasan-batasan dengan lawan jenis. 

"Sudah makan?" tanya Aziz lagi. Alya menggeleng. Ia memang belum makan, rasa laparnya sudah hilang bersama bayang-bayang wajah menyeramkan Egie.

"Sudah jam 10 malam kamu belum dinner? Mau makan di kafe rumah sakit? Atau mau aku belikan makanan?" Aziz menawarkan diri.

"Syukron. Lakny lastu jai'an ba'd (tapi aku belum lapar)," tolak Alya.

"Tunggu di sini, biar aku belikan. Kamu harus makan, jangan sampe sakit, kasian Abah dan Umma kalo kamu juga ikut sakit." Aziz sangat mengetahui sifat Alya yang sangat keras, jika sudah memiliki satu fokus, ia bisa melupakan segala hal yang lainnya, termasuk makan. Ia yang sudah sejak remaja memang digadang-gadang akan bertunangan dengan Alya, sudah sering mengalami hal seperti ini, memaksa gadis itu makan.

"Nggak usah, biar aku ke kafe saja," Alya akhirnya mengalah. Ia berjalan mendahului Aziz, pemuda itu mengikutinya di belakang.

Setelah menemukan tempat yang pas dan memesan makanan, mereka kembali larut dalam obrolan.

"Aku sudah dengar masalah yang kamu hadapi. Aku akan membantumu, kita lewati ini sama-sama," ujar Aziz. Ia sangat mencintai Alya tentu akan membantunya keluar dari masalah pelik di awal-awal masa kepemimpinannya.

"Makasih, Ziz. Tapi sebaiknya kamu nggak usah ikut campur. Aku tidak mau membuat perusahaanmu bermasalah juga. Aku yakin, masalah ini akan cepat selesai." 

Tidak lama kemudian, makanan terhidang di meja. Alya mulai menikmati makan malamnya, sementara Aziz menyesap moccachino. Alya lebih banyak diam, tidak seperti biasanya yang banyak bicara jika sedang bersama Aziz, atau berdebat tentang sebuah karya ilmiah. Suasana menjadi terasa kaku.

 "Kalo kamu butuh bantuan, langsung beritahu aku, dengan senang hati aku pasti membantu," ucap Aziz lagi.

 "Pasti," jawab Alya sambil tersenyum.

 "Dua bulan lagi aku mau ke Kairo, terus lanjut ke Dubai. Ada urusan bisnis sekaligus mau ketemu sama guruku. Mau talaqqi (memperdengarkan) hafalanku juga sekalian. Aku pengennya... kita resmi bertunangan sebelum aku pergi. Atau menikah sekalian, jadi bisa bareng ke sana." Aziz menunduk karena malu mengatakan hal itu.

 Wajah Alya seketika merona merah, ia juga menunduk. Jantungnya berdegup kencang seperti sedang berlomba di sebuah arena. Ia mempercepat makan, tidak ingin berlama-lama berduaan dengan Aziz yang justru akan dimanfaatkan oleh setan, sebab jujur saja, sangat nyaman berada di dekat Aziz. 

 Pria itu ibarat sebuh pohon rindang di tengah terik matahari, mengayomi siapa saja yang berteduh di bawahnya. Meskipun dia calon pewaris bisnis pertambangan batu bara terbesar di tanah air, tapi dia lebih memilih membangun bisnisnya sendiri, membuka pabrik pengolahan kelapa sawit. Dia juga sudah memiliki perkebunan kelapa sawit di lebih dari 5 provinsi.

 "Kamu butuh seseorang yang menjagamu, Al. Aku akan bicarakan segera dengan Umma, apalagi kondisi Abah yang sering sakit, akan lebih baik kalau kita segera menghalalkan hubungan kita," ujar Aziz lagi, ia khawatir Alya akan menolak.

 "Iya, nanti aku bicarakan sama Umma dan Abah kalau sudah siuman."

 ***

  Egie masih duduk di hadapan para manajer dalam internal meeting bulanan. Ia tersenyum puas mendengar laporan tiap bagian perusahaannya, semua sesuai dengan ekspektasinya. Terlebih ia akan menjalin kerjasama dengan Doodle, sebuah perusahaan global yang berkhusus pada jasa dan produk Internet. Dengan kerja sama itu, Starbig akan berkesempatan menjadi nomor satu di situs-situs pencarian populer.

 "Siapkan penawaran terbaik, kita pasti punya banyak pesaing. Jangan sampai ada kesalahan apalagi kegagalan," ujarnya tegas.

 "Dan... mulai bersiap untuk menaikkan level perusahaan menjadi multinasional. Dengan begitu kita bisa lebih mudah berkembang di tiap negara. Dengan menjadi perusahaan multinasional, kita bisa fokus memproduksi sesuai dengan trend pasar masing-masing negara, seperti Umeshu di Jepang, dan lainnya," imbuhnya dengan wajah berapi-api.

 "Siap, Tuan!" seru para hadirin serentak.

 Setelah selesai meeting, Egie kembali ke ruangannya. Tommy mengikuti di belakangnya sambil menenteng berkas-berkas hasil meeting.

 Setelah sampai di ruangan, ia duduk di kursi kerjanya, menyalakan laptop, dan mulai sibuk bekerja. Ia seorang workaholic, bisa melupakan segala hal jika sudah tenggelam dengan pekerjaannya. Tommy lah orang yang memperhatikan hal-hal pribadinya seperti makanan, pakaian, olahraga, holiday, dan lain sebagainya. Tommy sudah seperti ibu yang mengurusi segala keperluan sehari-harinya.

 "Siapkan minuman!" perintahnya. Tommy segera berdiri, mengambilkan segelas fruit drink. Tanpa beralih dari layar laptop, Egie menyambar gelas yang disodorkan Tommy, meneguknya hingga tandas. Ia mengernyit begitu merasakan minuman itu berbeda dari biasanya.

 "Kamu mengambilkan aku minuman apa, Tommy? Kamu sudah berani melawanku?" Suara Egie penuh penekanan.

 "B-bukan begitu, Tuan. Saya hanya ingat pesan dokter, Anda harus mengurangi minuman beralkohol." 

 "Persetan dengan dokter!!! Cepat siapkan wine-ku!" teriak Egie. "Atau apa saja, asal bukan minuman hambar seperti tadi!"

 Tommy menarik napas berat, masih belum beranjak dari posisinya semula dengan gelas masih di dalam genggaman.

 "Kamu masih mematung di situ, Tommy?! Jangan khawatirkan aku, umurku masih panjang, aku punya banyak uang untuk berobat kalau aku sakit," ujarnya menatap tajam Tommy.

 "Tuan, apa Anda merindukan Yeanna sehingga ingin menyusulnya?" Terpaksa Tommy menggunakan kalimat itu untuk membuat tuannya menurut. Ia sangat hafal jika Egie sangat takut mati, tetapi juga sangat keras kepala tidak mematuhi peringatan dokter. 

 Diusianya yang masih muda itu dia harus menderita beberapa gangguan hati dan pencernaan karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol. Ia bahkan sudah dalam taraf kecanduan, oleh kerena itu dokter sudah menyarankan untuk menghentikan meminum minuman memabukkan, atau paling tidak mengurangi.

 Dan benar saja, Egie segera terdiam. Lalu kembali sibuk dengan laptopnya, tidak membahas wine sialan itu lagi. Entah sudah seberapa sering Tommy menerima kemarahan Egie hanya karena masalah barang itu.

 "Bagaimana dengan perusahaan kecil itu? Sudah kamu lakukan yang aku perintahkan?" Egie mengubah topik pembicaraan.

 "Sudah, Tuan. Mereka akan segera kehilangan 50 persen investor dan 25 persen supplier. Dan perlu Anda ketahui bahwa Nona Alya adalah calon tunangan Tuan Aziz Mansyour, calon pewaris perusahaan besar Hasby Resources, tapi dia mendirikan perusahaan sendiri Aman Agraris." Tommy menjelaskan dengan detail.

 "Good! It's verry good! Kita liat, apa mereka masih bisa terus bertunangan?" Egie menyeringai lebar, lalu tertawa lepas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status