Share

Negosiasi

Alya menangis terisak-isak di depan ruang ICU, menyesali perbuatannya yang menyebabkan sang ayah yang baru satu bulan keluar dari rumah sakit, kini harus kembali masuk untuk di rawat lagi. 

Ummi Amelinda --ibunya-- menyentuh pundaknya yang bergetar hebat akibat isak tangis, mengusap pelan agar sang putri tenang dan bersabar.

"Duduk dulu, Al. Sabar, Abah pasti baik-baik saja. Kita berdoa semoga kesehatan Abah secepatnya pulih," hibur ibunya.

"Mi, ini salah Alya. Harusnya Alya diskusikan dulu sama Abi tentang keputusan pengembalian produk itu. Sekarang Abi jadi sakit lagi." Alya masih terus terisak, sang ibu menyusut air matanya dengan jemari lembutnya.

"Alya nggak salah. Ini semua sudah ditakdirkan sama yang di atas. Kita harus menerimanya dengan ikhlas." Ummi Amelinda menenangkan. 

Mereka beriringan berjalan menuju ke kursi tunggu tidak jauh dari ruang ICU.

Sementara menenangkan, Hanami datang dengan sedikit tergesa. Langkahnya terhenti ketika dilihatnya Alya tengah menangis dan ibunya mengusap punggungnya. Tapi, kehadirannya tetap tak lepas dari pandangan Ummi Amelinda. Wanita itu pun memberi isyarat agar ia mendekat.

"Ada apa, Han?" 

Menyadari kehadiran orang lain di dekat mereka, Alya segera mendongak. Ia sedikit terkejut melihat Hanami sudah berdiri di hadapannya dengan wajah tegang.

"Starbig mengirimkan balasan, mereka...." Hanami menggantung ucapannya, menatap Alya menunggu persetujuan melanjutkan laporannya.

"Biar aku baca sendiri," tukas Alya cepat. Ia segera menghapus air matanya dan menyambar tab yang disodorkan Hanami.

Dada Alya bergejolak membaca e-mail Starbig. Sebuah jawaban yang jelas-jelas menyatakan perang pada perusahannya. Ia tidak pernah menyangka, ada seseorang yang tidak menjunjung nilai toleransi di dunia yang penuh kedamaian. Ia menarik napas berat.

"Ada apa, Al?" Amelinda menangkap aura tidak menyenangkan dari kedua wanita di dekatnya itu.

Alya tersenyum tenang, berusaha menyembunyikan kenyataan pahit yang mendera perusahaan. "Nggak apa-apa, Mi. Ummi tenang saja."

"Apa Starbig nggak mempermasalahkan keputusan kamu, Al?" Sang ibu masih khawatir.

"Enggak kok, Mi. Oya, aku ada yang harus diselesaikan di kantor. Ummi tolong jaga Abi, kabari aku kalo ada sesuatu yang penting, Mi." Alya memeluk ibunya sebelum beranjak.

"Iya, hati-hati, Nak." 

Alya dan Hanami berjalan keluar dari rumah sakit, lalu masuk ke mobil. 

"Karena aku sudah memutuskan, aku juga yang akan menanggung resiko." Alya mengembalikan tab pada Hanami setelah mereka berada di dalam mobil.

"Jadi kita langsung ke kantor, Ummi?" tanya Hanami.

"Iya." 

Mobil melaju perlahan menyusuri jalanan kota yang padat merayap. Waktu menunjukkan pukul 17.50, tidak lama lagi waktu maghrib tiba, berarti ia akan shalat Maghrib di kantor.

"Kamu sudah mencari tau secara lengkap mengenai Starbig dan CEO-nya?"

"Iya, sudah, Ummi. Semua sudah saya kumpulkan lengkap. Kalau Ummi mau baca sekarang...."

"Tidak perlu, nanti di kantor saja," potong Alya cepat.

Setibanya di kantor, mereka langsung melaksanakan shalat berjamaah. Lalu menuju ke ruang kerja Presdir.

"Jelaskan detailnya," pinta Alya.

"Mereka meminta kita minta maaf dan menerima kembali semua produk yang sudah mereka kirim. Terus, mereka juga mensyaratkan, permintaan maafnya harus dengan...." Hanami ragu untuk melanjutkan.

"Harus dengan?" ulang Alya penasaran.

"Mereka mensyaratkan permintaan maafnya harus dengan... berlutut di depan CEO Starbig." Hanami memelankan suaranya, tidak tega mengucapkan kalimat tidak terhormat itu di hadapan keluarga Al Manari yang sangat dihormati.

"Berlutut?" Alya mengernyit heran. Baru kali ini ia mendengar ada permohonan maaf seperti itu di zaman merdeka seperti sekarang ini. 

"Perlu Ummi ketahui, CEO Starbig, Egie Andirasmaja terkenal sangat kejam dan dingin. Dia tidak mengenal belas kasihan. Sudah banyak perusahaan jatuh karena berurusan dengan mereka." 

"Pantasan Abah langsung kambuh jantungnya begitu tau aku kembalikan produk-produk mereka, ternyata seperti itu." Alya mengangguk mengerti.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi kita harus mencoba dulu, gunakan jalur diplomasi agar kita bisa berkomunikasi dengan mereka. Kita punya bukti kuat untuk membela diri kalau mereka menolak dan menekan. Oya, cari negosiator dan pengacara hebat yang bisa menangani kasus ini," imbuhnya.

"Baik, Ummi."

***

Egie tertawa terbahak-bahak setelah membaca balasan e-mail dari Almanar Group. Saking kerasnya tertawa, air mata mengalir di sudut matanya dan memegangi perutnya karena geli.

"Mereka mau bernegosiasi denganku?" Ia tertawa lagi. "Perusahaan kecil itu mau mengundi nasib denganku?" 

Tommy dengan setia mendengarkan semua ucapan pedas bosnya tanpa menyela. 

"Kalau masih ada kursi kosong, terima saja. Aku mau liat, sampai di mana nyali perempuan itu berhadapan denganku." 

Egie menyandarkan kepalanya ke kursi sambil tersenyum senang, sepertinya ia akan memiliki permainan baru. Tidak lama kemudian, ia bangkit menuju ke wine cooler. Mulai memilih minuman kesukaannya itu, lalu berniat mengambil salah satu wine ketika tangan Tommy lebih dulu menutup kembali pintunya.

"Maaf, Tuan. Anda sudah minum lebih dari lima botol hari ini. Ingat kesehatan Anda, Tuan." 

Egie menatap tajam wajah Tommy, lalu mendengus kesal. Tapi ia menurut, tidak lagi mengambil botol miras itu, berpindah mengamati pemandangan kota dari dinding kaca.

Dan keesokan harinya, sesuai dengan kesepakatan, mereka bertemu di meeting room Starbig. Egie duduk dengan pongah memandang rendah Alya dan para rekannya. Ia sama sekali tidak tersenyum atau beramah-tamah. Hanya sekali memandang ke arah Alya ketika pertama kali gadis itu memasuki ruang meeting.

'Ternyata Presdir kecil itu lebih cantik aslinya dari yang di foto. Hmmm, kita liat saja, apa dia tetap bertahan. Tapi, tunggu... wajahnya seperti mirip seseorang, siapa kira-kira?' Egie menggumam dalam hati sambil memegangi dagunya. Lalu membuang pandangan ke arah lain.

Acara meeting berlangsung dengan kaku, sebab Egie sama sekali tidak memberikan pendapat. Padahal Alya sendiri yang menjelaskan latar belakang kenapa dia sampai menolak produk Starbig.

"Kami bukan menolak dalam artian menghina pihak Starbig, bukan, sama sekali bukan. Tapi kami hanya tidak bisa menerima karena produk Anda tidak sesuai dengan standar operasional perusahaan kami. Karena kalau kami terima, tapi kami tidak menjualnya, bukannya justru mubazir?" Alya mengemukakan pendapatnya lagi.

"Aku tidak peduli! Sistem yang kami terapkan adalah, begitu terjadi kerja sama, tidak ada istilah pengembalian produk. Apalagi sampai berani menggurui aku, mengatakan produkku mengandung bahan berbahaya!!" Egie akhirnya menyela. Ia menatap tajam Alya, pandangan mata mereka bertemu dalam waktu beberapa detik. Ia kembali merasa mengenal wajah itu.

"Baiklah, karena Anda bersikeras, kami juga tidak bisa membiarkan Anda terus-menerus melakukan penindasan seperti ini. Kami punya bukti kuat," tegas Alya. Ia lalu berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Hanami dan beberapa orang lainnya segera mengikuti.

"Berani sekali dia meninggalkan ruangan rapat sebelum aku keluar!" teriak Egie sepeninggal orang-orang Almanar Group. "Dia pikir dia siapa berani bersikap begitu?!" 

"Tuan, sudah larut, Anda sebaiknya beristirahat." Tommy mengingatkan. Ia juga sebenarnya sudah lelah, ingin segera membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Tapi tuannya tidak bergeming dari tempat duduknya. Bahkan mereka masih berada di dalam meeting room tadi.

"Tarik sebagian besar investor dan supplier mereka! Biarkan mereka merasakan sulitnya mencari supplier dan investor baru dengan kondisi ekonomi yang pincang!" seru Egie lagi.

===================================

Halo, salam hangat dariku...

Terima kasih sudah mampir...

Jangan lupa subscribe dan berikan komentar/review ya... biar aku makin semangat update.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status