‘Welcome to the jungle’ adalah kalimat sakti yang sering diucapkan seorang teman ketika kita mengakhiri masa lajang. Pernikahan merupakan separuh dien, keseluruhannya dicatat sebagai ibadah. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.Berat? Pasti. Setiap ibadah banyak cobaan. Sebentar lagi, aku harus melepaskan gadis kecil itu ke pelaminan, sementara aku sendiri nyaris tak pernah memberikan bekal pendidikan perkawinan padanya.Bagaimana akan mengajarinya sementara ilmu dan pengalamanku nyaris tak punya. Pernikahan yang hanya seumur jagung dan aku pun gagal menjadi suami yang baik.Umum dalam sebuah pernikahan, hal-hal kecil bisa menjadi pemantik pertengkaran besar. Handuk yang ditaruh sembarangan di atas tempat tidur misalnya, bisa menjadi penyebab perang Batarayudha. Ada Setan Dasim yang selalu menggoda dan berbisik, meniup-niup api perselisihan dan membenci pasangan. Prestasi terbaik mereka adalah jika mampu menceraikan sebuah pernikahan. Mungkin, nasehat penting itu perlu kusampaikan nan
Rasa yang selalu memaksaku untuk kembali, meski menyadari kenyataan yang pernah ada selalu menguak lara. Kata yang menyedotku ke masa lalu, memaksa hati bergemuruh penuh letupan nyeri.President Suite Room yang sama, view favorit bernuansa Gunung Salak menjulang di kejauhan, ditingkahi kabut putih, samar menaungi lembah-lembah. Aroma kebun teh yang merambat perlahan memasuki lorong-lorong kalbu, terbawa angin yang terhempas dinding bukit, membingkis dingin yang menggigit tulang. Kita berdiri mematung, menatap hijaunya dedaunan nun jauh dari balik jendela yang kain gordennya sengaja dibuka lebar, dengan kekasih hati dalam dekapan, rapat bertelanjang kaki. Menikmati harum sampo yang menguar dari legam rambutnya yang basah terurai. Ah, memori yang selalu seolah-olah nyata kurasa.Kuremas rambut sambil berdiri di tempat yang sama, di balik jendela kaca, mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal separuh. Selalu ada rasa sakit yang ingin selalu diulang tersebab rindu yang tak terper
Betapapun kerasnya kucoba terlelap, meletakkan sejenak keruwetan dan keras persaingan hidup pada malam yang selalu memeluk dalam diam, otak tetap tak henti berputar. Apa yang akan terjadi esok hari? Ke mana harus menyembunyikan bocah itu? Bagaimana cara melepaskannya dari lingkaran setan bisnis prostitusi dan merebut kembali sang ibu? Apa kata orang-orang? Apa komentar para kolega dan rekan bisnis? Pramono Wicaksono menerima gratifikasi dan menjadi pedhofilia! Sungguh memuakkan!Akan tetapi, apa peduliku? Tetangga bukan, saudara apalagi. Pulangkan saja, selesai urusan.Telinga masih menangkap suara gerakan yang menjauh dan pintu kamar mandi yang dibuka, sebagai penanda bahwa di kamar ini aku memang tak sendirian. Kutarik selimut menutupi muka, memejamkan mata rapat-rapat, menafikan bayangan yang menggoda kepala, dan berusaha tidak mendengar apapun.“Aaa!!”Jeritan Delia dari kamar mandi sontak membuat jantung melompat. Kenapa lagi bocah itu? Kuseret langkah tergesa mendekatinya.“De
Penghambaan terindah hanyalah untuk Sang pemilik jagad.Aku melengos, menatap dasar cangkir kopi yang sepenuhnya kosong, kemudian beranjak menjauh, membuka pintu menuju balkon, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Menikmati malam bergulir mengikuti keteraturan, meski telah jatuh pada gigil yang menusuk. Alam, selalu memiliki desain sempurna yang membuat manusia merasa kecil dan tak berdaya.Tidak ada satu pun kebetulan, bukan? Akan tetapi, aku masih meraba kelam tanpa setitik pun cahaya dengan kejadian saat ini. Semua orang harus bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, sebagaimana ia siap menerima resiko dari apa yang dialaminya.“Tuan?” Ia berjalan perlahan mengikutiku, masih dengan isak yang sama.“Aku tak mungkin membawamu, Delia.”“Saya mau jadi apa saja, Tuan. Pembantu Anda pun tak masalah, yang penting tidak menjadi seperti ibu.”“Aku sudah punya di rumah.”“Ng ... gratis, Tuan. Asal saya bisa makan dan ada tempat bernaung.”“Karena kalau kau ikut, aku yan
Orang bijak pernah berkata, ‘Terkadang tempat teraman justru berada di pusat badai’, dan itulah yang dilakukan bocah ini sekarang.“Masuk!” Tergesa aku turun dan membuka pintu mobil sambil memandang liar sekitar, berharap tak ada seorang pun menjadi saksi peristiwa ganjil yang terjadi. Katanya dipulangkan, nyatanya dibawa serta. Senyum dikulum tercetak jelas pada wajahnya yang ranum, ketika menyandarkan kepalanya di jok mobil.Sementara pendar-pendar rasa tersemai di rongga dada. ‘Pramono, dia masih bocah,’ sebuah suara bergema dalam batok kepala, menjagaku tetap waras.Rinai hujan mendaraskan lantunan zikir, memenuhi tingkap-tingkap langit hingga ke Sidratul Muntaha, ketika kendaraan melaju pelan membelah aspal jalanan. Mang Sugi melempar senyum penuh arti melalui kaca spion di atas dasboard, disusul dendang lawas tembang penyesalan yang mengalun dari speaker mobil. Sempurna!Kau datang padaku saatku lukaLuka dengan sejuta kecewaYang hempaskan tubuh remukkan dadaNamun lembut belai
Entah.Apakah aku yang gila karena kepayang sehingga otak tak mampu berpikir realisitis, atau karena empati masih bekerja pada porosnya?Kecantikan Delia yang di atas rata-rata, masih mengkal dan berperilaku manis sanggup meruntuhkan logika. Jangan sampai pada pada akhirnya aku menyesal karena kesadaran yang muncul terlambat.Bisa saja ia kiriman seseorang, pesaing bisnis atau manusia-manusia dajjal yang datang sengaja untuk menipu dan memeras. Kalau memang demikian, uangku sudah raib dua puluh lima juta.“Delia, alamatmu di mana?”“Kenapa, Tuan?” Sorot khawatir kembali dilukiskan kejoranya yang jelita.“Tenang. Aku harus tahu betul di mana tinggalmu, kan? Kita saling nggak kenal, tiba-tiba masuk ke dalam rumahku. Bisa saja suatu malam kamu masuk kamar dengan sebilah belati. Sangat mungkin itu terjadi.”“Iya, Tuan. Saya ngerti. Maaf.” Suaranya terdengar bergetar.“Maaf lagi.”Delia lalu menyebutkan sebuah alamat di Puncak yang kucatat dalam sebuah note. Besok aku harus segera ke sana
Percaya atau tidak, setiap manusia hanya mengikuti garis takdir yang telah ditentukan, tak peduli warna kulit, cantik, tampan, jelek, pintar atau pun tidak.Orang menyebut itu sebagai keberuntungan yang berpihak, atau sebaliknya. Semua hanya mengikuti perputaran roda kehidupan.“Kita makan dulu, Delia?” Kualihkan melankolia yang melingkupi suasana.“Sudah adzan, Tuan. Saya shalat dulu.“Nanti saja di rumah, Isya panjang waktunya,” perintahku.“Menunda kewajiban itu membuat tidak nyaman, Tuan. Menjadi beban pikiran, padahal cuma sepuluh menit. Nanti atau sekarang sama-sama dikerjakan. Mau shalat sekalian?”Seperti gelegar halilintar yang meremukkan isi dada, hangus dan berbau sangit. Kata-katanya sungguh mencabik-cabik harga diriku, meluluh lantakkan kehormatan kesatria penolong berbaju zirah, terkapar tak berdaya bukan karena tusukan pedang azimat, tapi hanya karena pertanyaan seorang bocah.Puluhan tahun aku menggugat tiang-tiang Arsy, menanyakan perihal keadilan Tuhan yang disuaraka
Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.“Pak! Anda pelanggan di sini?”“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.“Bapak ada keperluan apa?”“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kal