Share

Saya Kangen Sekolah

Entah.

Apakah aku yang gila karena kepayang sehingga otak tak mampu berpikir realisitis, atau karena empati masih bekerja pada porosnya?

Kecantikan Delia yang di atas rata-rata, masih mengkal dan berperilaku manis sanggup meruntuhkan logika. Jangan sampai pada pada akhirnya aku menyesal karena kesadaran yang muncul terlambat.

Bisa saja ia kiriman seseorang, pesaing bisnis atau manusia-manusia dajjal yang datang sengaja untuk menipu dan memeras. Kalau memang demikian, uangku sudah raib dua puluh lima juta.

“Delia, alamatmu di mana?”

“Kenapa, Tuan?” Sorot khawatir kembali dilukiskan kejoranya yang jelita.

“Tenang. Aku harus tahu betul di mana tinggalmu, kan? Kita saling nggak kenal, tiba-tiba masuk ke dalam rumahku. Bisa saja suatu malam kamu masuk kamar dengan sebilah belati. Sangat mungkin itu terjadi.”

“Iya, Tuan. Saya ngerti. Maaf.” Suaranya terdengar bergetar.

“Maaf lagi.”

Delia lalu menyebutkan sebuah alamat di Puncak yang kucatat dalam sebuah note. Besok aku harus segera ke sana mengecek kebenaran informasinya.

“Istirahatlah, kamarmu biar disiapkan Mak Yayah.”

Rumah ini bagai berselimut kabut, sepi tak berpenghuni. Sudah berapa kali aku merombak dan mendekor ulang agar terasa nyaman, tetap saja tak mampu mencipta gairah dan kehidupan. Seperti guci berdebu di sudut ruang dan tak pernah dibersihkan pemiliknya semenjak dibeli, sepi dan sendiri.

Aku beranjak naik ke lantai dua dan bersua dengan kamar yang tak kalah lengang, lalu mengunci pintu sebagai langkah antisipasi, hal yang sebelumnya nyaris tak pernah kulakukan.

***

Waktu beranjak malam, ketika aku menutup laptop setelah mengecek file-file yang dikirim karyawan beberapa hari lalu. Berkutat dengan pekerjaan adalah terapi penyembuh akan sakitnya kehilangan, hingga aku terlena dan lupa, kalender telah berganti rupa dan warna belasan kali.

Aku turun setelah membasuh letih pada air kehidupan, yang dialirkan dari pipa-pipa paralon yang malang melintang di dalam perut bumi, hingga sampai pada bejana-bejana dan penampungan. Ketika tiba-tiba, lamat kudengar lantunan kidung-kidung penghambaan yang tak lekang digerus zaman. Delia mengaji! Dengan irama murotal yang lumayan tartil. Suaranya jelas dan mampu menyelusup, melewati dinding-dinding beton penyekat, di mana aku bersandar disisi sebaliknya, menikmati dengan perasaan berbuncah-buncah.

Gadis seperti apa yang tumbuh dan dibesarkan di rumah bordil dan memiliki adab yang memesona? Ibu macam apa yang mampu mendidiknya di tengah gempuran lingkungan yang tidak kondusif? Rumah ini seperti menemukan nyawanya dan kembali hangat.

Andai saja ….

Aku seperti mereguk dua cawan kepayang sekaligus, mabuk pada tataran yang tak dapat dikompromi. Berdiri tercenung menunggunya selesai mendaras kitab, tanpa berani sedikit pun mengusik, dan pengandaian-pengandaian memenuhi benak.

“Tuan?”

Aku terlonjak manakala gadis kecil yang sedang kulamunkan itu telah berdiri di sisi, ingin rasanya mengumpat, tapi mulut serasa terkunci.

“Delia?” Aku terbahak sesaat, pualam itu telah bersalin baju dengan daster rumah yang sedikit kebesaran, dan lusuh. Baru kusadari satu hal, dia memang tak membawa apa pun selain badan.

“Tuan ngapain berdiri di sini? Ada yang lucu?” tanyanya dengan wajah polos tanpa dosa.

“Ng … anu, tadi mau ajak kamu makan tapi masih ngaji. Pakai baju siapa kamu?”

“Pinjam Mak Yayah, baju saya baru dicuci, Tuan”

“Kita keluar!”

“Kemana, Tuan?”

“Ikut saja.”

Kusambar kunci mobil di gantungan dan berteriak, “Mang, keluar dulu!” Delia kembali mengekor dan berdiri ragu-ragu di depan pintu mobil.

“Kamu nggak apa-apa pakai baju seperti itu?” Ia nyengir kemudian menggeleng.

“Tapi, Tuan?”“Naik, di depan!”

“Kamu pikir aku sopirmu?”

“Eh, iya. Maaf.”

Lagi-lagi maaf. Entah berapa kodi ia memiliki stok kata maaf. Delia naik dan duduk dengan canggung, sementara aku mengamati dengan kekaguman yang tersimpan rapat-rapat.

“Pakai seat belt-nya”

“Apa?” Wajahnya menyiratkan kebingungan.

“Belum pernah naik mobil?” Aku meraih sabuk pengaman yang bertengger di sisi sebelah kirinya dan memasang melingari tubuh Delia. Harum sabun menguar, terendus penciuman yang membuat dadaku kembali berdentam oleh perasaan yang sulit dilukiskan.

“Pernah, Tuan, angkot.”

“Bukan itu maksudku, Delia.” Ia mengerjap jenaka dan aku gemas dibuatnya.

***

Jalanan mulai lengang ketika kendaraan melaju membelah malam. Lampu-lampu jingga trotoar menambah gempita suasana. Kebahagiaan yang belasan tahun ini seakan meninggalkanku, tapi saat ini, seorang bidadari seperti sedang menunggu di gerbang keindahan dengan senyum paling menawan.

Mobil berbelok memasuki pusat perbelanjaan yang ramai pengunjung, pada akhir pekan di awal bulan. Manusia adalah makhluk yang haus membeli, meski pada barang-barang yang kadang tak ia perlukan, menghabiskan pundi-pundi dan bekerja keras lagi dan lagi. Lupa masa, lupa asal, dan lupa tujuan untuk apa ia diciptakan. Aku ada diantara mereka itu.

Mencari celah parkir pada musim seperti ini ibarat mencari jarum dia atas tumpukan jerami. Aku berhenti di depan pelayanan velvet parking di depan pintu masuk dan menyerahkan kunci kepada petugas penjaga. Tak apa membayar sedikit lebih agar segera bisa membawa Delia masuk.

“Turun!”

Aku memutari badan mobil dan mendapatinya berdiri menunggu. “Ayo, masuk!”

Delia berlari-lari kecil mengikuti langkahku dengan wajah mengernyit.

“Kamu kenapa?”

“Kaki saya lecet, Tuan.”

Aku berjongkok, menarik lepas sepatu jinjit yang ia kenakan, melihat lecet, dan lepuhan pada tumitnya. Ia tampak sungkan dan menarik mundur kakinya lekas-lekas. Perempuan suka sekali menyakiti diri untuk bisa dikatakan cantik.

“Kau tak perlu mengenakan sesuatu yang hanya akan menyakiti tubuhmu, Delia.”

“Mami yang suruh, Tuan.” Wajahnya tertunduk bertekuk-tekuk.

“Tunggu di sini, kucarikan sesuatu dan jangan coba ke mana-mana. Berapa nomer kakimu?” Kuhela tangannya menuju kursi tunggu.

“Tiga puluh tujuh, Tuan.”

Aku bergegas menuju apotik, mencarikan plester dan juga sandal jepit di stand yang berjarak tiga ruang di sebelahnya. Ia masih duduk tepekur di tempat ketika kuhampiri dan berjongkok di depan gadis kecil itu.

“Mana kakimu?” Ia kaget dan mengerjap.

“Biar saya pasang sendiri, Tuan.”

“Tak apa, lebih mudah kalau aku yang pasangkan.”

Ragu ia angsurkan kaki, sementara hatiku bergetar-getar memegang kaki berbungkus kulit pualam milik gadis yang masih bocah itu. Berkali-kali pula aku mengumpat dalam hati.

“Ayo!” Kugamit lengannya menuju store yang menjual pakaian. “Pilih yang kamu suka!” perintahku setelah sampai. Delia tertegun mengamati harga yang dibandrol pada setiap helainya. Dia berjinjit dan berbisik di telingaku, “Mahal-mahal semua, Tuan.”

“Ambil saja, Delia. Harga sewamu lebih mahal dari baju-baju ini.”

“Mbak! Bantu dia pilih baju buat di rumah dan untuk keluar, selusin,” pintaku pada pelayan toko, sementara aku duduk menunggu sambil membuka-buka ponsel, barangkali ada informasi penting.

Berkali-kali kulihat ia hilir mudik masuk ruang ganti diikuti pelayan. Kamu memang pantas menjadi tuan puteri seperti itu, Delia.

“Tuan, sudah.”

Ia berdiri di sampingku dengan menenteng kantong belanja plastik yang besar.

“Ayo, ke kasir.” ujarku.

“Baju panjang semua, Delia? Kamu mau pake jilbab?”

“Nggak boleh, Tuan?”

“Boleh, boleh banget.”

Ada kelegaan yang tiba-tiba menyelusup ke rongga dada ketika ia mengatakan itu. Aku memang seperti tak rela jika berpasang-pasang mata ikut menikmati kecantikannya. Hey, Pramono! Memangnya ia siapamu?

“Cuma enam stel?”

“Itu sudah lebih dari cukup, Tuan.”

“Perempuan biasanya punya koleksi baju bertumpuk-tumpuk.”

“Dan hisabnya akan lebih lama.”

Kupalingkan pandangan ke arahnya dengan penasaran yang meraja. Apa isi otak bocah kecil ini hingga bisa berbicara seperti itu?

“Dari mana kamu tahu?”

“Membaca, Tuan. Ibu guru bilang buku adalah jendela dunia.”

“Kamu sekolah?”

“Pernah. Lulus SMP tahun lalu. Tapi mami bilang cukup, pekerjaan seperti kami tak perlu sekolah tinggi-tinggi.” Hatiku mencelos mendengar penuturannya.

“Butuh apa lagi? Ganti bajumu dulu sana!”

“Enam sudah lebih dari cukup, Tuan. Nanti ganti di rumah saja, cantik bagi perempuan-perempuan seperti kami adalah musibah. Mungkin, nasib saya akan berbeda jika memiliki wajah biasa-biasa saja.”

Aku seperti tertampar mendengar ucapannya. Ketika manusia berlomba-lomba tampil perlente, cantik, keren, kaya atau apalah dengan berbagai cara demi sebuah pujian, bocah bau kencur ini justru menganggap anugerah yang diberikan kepadanya seperti sebuah kutukan.

Ia mengiringiku keluar sambil menenteng belanjaan. Kakinya surut ketika melewati stand buku. Lukisan sendu tergambar jelas pada wajahnya yang ranum, sementara satu tangannya meraba kaca yang menutupi etalase dan melangkah pelan-pelan.

“Kamu pengen beli buku?”

“Saya kangen sekolah, Tuan.” Kaca-kaca kembali menggenangi kejora yang jelita itu, sementara hatiku perih melihatnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status