Share

Menggugat Tiang Arsy

Percaya atau tidak, setiap manusia hanya mengikuti garis takdir yang telah ditentukan, tak peduli warna kulit, cantik, tampan, jelek, pintar atau pun tidak.

Orang menyebut itu sebagai keberuntungan yang berpihak, atau sebaliknya. Semua hanya mengikuti perputaran roda kehidupan.

“Kita makan dulu, Delia?” Kualihkan melankolia yang melingkupi suasana.

“Sudah adzan, Tuan. Saya shalat dulu.

“Nanti saja di rumah, Isya panjang waktunya,” perintahku.

“Menunda kewajiban itu membuat tidak nyaman, Tuan. Menjadi beban pikiran, padahal cuma sepuluh menit. Nanti atau sekarang sama-sama dikerjakan. Mau shalat sekalian?”

Seperti gelegar halilintar yang meremukkan isi dada, hangus dan berbau sangit. Kata-katanya sungguh mencabik-cabik harga diriku, meluluh lantakkan kehormatan kesatria penolong berbaju zirah, terkapar tak berdaya bukan karena tusukan pedang azimat, tapi hanya karena pertanyaan seorang bocah.

Puluhan tahun aku menggugat tiang-tiang Arsy, menanyakan perihal keadilan Tuhan yang disuarakan dengan lantang oleh ustadz-ustadz kondang.

Bapak berpulang ketika aku pun belum mampu mengeja nama, sehingga ibu harus menyulihi tanggungjawabnya mengais rejeki. Menggadaikan kemudaan demi menghidupiku, melupakan tawaran cinta yang datang bertubi-tubi untuk menggantikan kekasih yang pergi.

Ibu berkeliling berjualan jamu gendong, diwarnai isu-isu miring yang menyertai statusnya sebagai janda muda. Mereka tak pernah mau tahu, bagaimana setiap malam ibu meratap, menampung air mata pada tengadah tangannya, mengadu pada Rabbul Izzati, atas mulut-mulut pedas yang menuding tanpa kompromi.

Ibu juga yang mengajariku tentang tauhid, tentang alif bengkong sampai ya’, juga tentang kesabaran dan keikhlasan menerima takdir baik dan buruk, dan waktu itu aku percaya.

Ternyata, kecintaan ibu juga direnggut paksa, saat aku sedang menggarap skripsi semester akhir. Sebuah panggilan telepon mewartakan kondisi beliau yang kritis akibat tabrak lari, ketika menjalani rutinitasnya menjajakan jamu. Aku pulang lintang pukang dengan perasaan tercabik-cabik dan pikiran buruk yang bekejar-kejaran menghantui.

Aku meratap sambil menggenggam tangannya, berjongkok di samping tubuh perempuan segala cinta yang terbujur dalam diam itu, sementara darah terus mengalir dari telinganya. Gegar otak, begitu dokter IGD menjelaskan.

“Ibu … ini Pram, ibu kuat yaa! Jangan tinggalkan Pram sendirian, Pram butuh ibu, Pram sayang banget sama ibu,” ucapku nyaris tersendat di tenggorokan.

Ibu merespon, mengeratkan genggaman, dan berusaha tersenyum, masih dengan mata terpejam. Darah tiba-tiba mengalir makin deras dari kedua telinganya disertai tangan yang terkulai. Aku panik dan meraung memanggil dokter, lalu mendawamkan talqin di telinganya dengan perasaan hancur berkeping. Tak akan lekang dari ingatan senyum terakhir yang ia berikan dengan susah payah.

Guguran bunga kamboja adalah teman dalam diam yang menemaniku setiap sore di pusara ibu. Hingga suatu hari, seorang penjaga makam menasehatiku untuk bangkit, mewujudkan cita-cita di mana peluh ibu tercurah sebagai bayaran. “Jangan disia-siakan, Le,” ujarnya kala itu. 

Aku yang lulus dengan predikat summa cum laude tiga bulan kemudian, duduk sendirian sebagai yatim piatu di aula besar, di mana mahasiswa dan orang tua berkumpul menghadiri wisuda. Aku hanya mampu terisak ketika lagu Gaudeamus Igiturdinyanyikan sekelompok vokal grup dengan perasaan tersayat. Berusaha tersenyum saat naik ke podium, untuk menerima bingkisan sebagai mahasiswa dengan nilai terbaik, tanpa pelukan dan ucapan selamat dari handai taulan, “Ibu, Pram lulus,” ucapku getir.

Predikat sebagai lulusan terbaik bukanlah jaminan untuk segera mendapatkan kerja dengan gaji layak. Setiap mengetuk pintu kantor, pewawancara selalu bertanya, “Sudah pernah kerja di mana?” Bagaimana aku akan mendapat pengalaman jika kalian tidak memberiku kesempatan?

Tak sekali aku harus menahan lambung yang perih karena tak mampu membeli barang sebungkus nasi. Tetap terseok meniti jalan dan tak putus harap mengetuk dan mengetuk kembali setiap pintu kantor yang tersisa. Hingga Dewi Fortuna akhirnya menyapa. Sebuah perusahaan kontraktor menerimaku sebagai karyawan rendahan. Tak apa, asal bisa membayar sewa kamar dan makan seadanya.

Aku bekerja tak kenal siang malam, meraih setiap kesempatan yang diberikan hingga karir naik perlahan.

Hingga suatu ketika, dengan keberanian yang tersisa aku putuskan untuk melamar gadis pujaan, anak ibu kantin langganan, agar aku tak kesepian dan berjuang sendirian. Gayung bersambut, pesta pernikahan pun dihelat sangat sederhana.

Menyandang gelar karyawan teladan kala itu, perusahaan memberi hadiah pernikahan berupa voucher menginap di President Suite Room hotel berbintang lima di Puncak, satu-satunya momen terbaik yang bisa kuberikan pada Gayatri selama menjadi istriku. Selebihnya, ia menerima dengan senyum penuh cinta semua kesederhanaan yang kusuguhkan. Betapapun, bersamanya aku kembali merasakan berartinya hidup, apalagi tiga bulan kemudian benih cinta mulai tersemai dalam garbanya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suluh hidupku itu kembali direnggut dengan cara menyakitkan, sekaligus buah cinta yang belum sempat kudekap. Langit serasa runtuh dan aku tenggelam dalam gulita yang pekat.

Bekerja dan bekerja adalah pelarian dari kekecewaan atas hidup yang kujalani, menyemai harap pada pangkat dan harta, seyogyanya bisa sedikit menghibur, dan memantik semangat hidup, meski senyatanya yang kutemui tetaplah kehampaan.

Aku mulai meninggalkan ritual penghambaan yang cuma omong-kosong. Di mana keadilan-Nya, kalau sejak belajar berjalan tertatih aku hanya disuguhi kepahitan demi kepahitan? Sementara aku sudah diajari untuk ruku’ dan sujud bahkan sejak belum baligh.

Mulai saat itu aku sering pergi ke Puncak, menginap di kamar hotel yang sama ketika rindu meraja. Menganyam kenangan seorang diri, bercinta bersama sepi, ditemani desau angin dingin, yang dikirim puncak Gunung Salak yang berdiri angkuh dan setia, seperti ingatanku pada manisnya cinta Gayatri yang tak surut.

Berapa pun banyaknya kaum hawa menggoda, aku tak pernah goyah, karena aku yakin itu bukan cinta, melainkan hanya hawa nafsu melihat pangkat dan gelimang harta. Sementara hatiku kadung terkubur bersama pusara kekasih tercinta. Hingga kemarin, seseorang mengirimiku gadis kecil itu, di kamar hotel yang sama, dan aku mulai goyah.

“Saya sudah selesai, Tuan,” ucapnya halus meski tak urung membuatku kaget dari lamunan panjang. Wajah terbasuh wudhu itu makin terlihat segar.

Kami lalu makan dalam diam. Atas usulnya juga ia membawa pulang makanan yang tak habis, meminta pelayan untuk membungkus, betapapun aku melarang.

“Buat apa, Delia? Di rumah banyak makanan.” Ia hanya tersenyum dan tak menjawab.

Di pinggir trotoar, sejenak ia minta berhenti, memberikan sekotak makanan itu kepada ibu tua penjual keripik pisang, yang duduk termenung sambil memandang dagangannya yang masih penuh. Senyum semringah menghiasi wajahnya, mengucap terima kasih berkali-kali diiringi doa yang panjang ketika menerima pemberian itu.

“Kami tahu persis bagaimana rasanya lapar, Tuan. Mungkin lidahnya belum pernah merasakan makanan enak seperti tadi. Tak baik membuang makanan, mubadzir.”

Aku terharu melihat laku yang ia suguhkan. Kamu tak tahu, aku juga pernah merasakan hidup berteman lapar, Delia. Dulu, dulu sekali.

“Orang hanya bisa menghujat, mencibir dan berkata jijik tanpa tahu seperti apa beratnya kehidupan yang kami jalani, Tuan. Mereka menuding tanpa berniat menolong sedikit pun. Ibu kadang pulang dengan bilur di sekujur tubuhnya akibat disiksa pelanggan dan tak ada yang bisa saya lakukan selain menangis.”

Perjalanan pulang dihiasi kesunyian yang menggigit dan hatiku gerimis. Kehidupan kadang memang sekejam itu.

***

Keesokan hari selepas pulang kantor, kuajak Mang Sugi ke Puncak, ke alamat yang Delia tunjukkan kemarin.

Perjalanan beberapa jam terasa begitu lama, ketika rasa penasaran meminta haknya untuk mendapat jawaban. Akhir pekan seperti ini, naik ke Puncak ibarat memarkirkan mobil di tengah jalan, padat dan merayap.

Berbekal petunjuk GPS dan bertanya pada kiri kanan, melalui jalan sempit dan agak terisolir dari rumah penduduk, kami menemukan alamat yang dimaksud.

Ada mobil kepolisian sedang terparkir di halaman rumah lokalisasi itu dengan lampu sirene berputar-putar menyala di atas kap, juga beberapa kendaraan pribadi.

Aku turun dengan perasaan ingin tahu yang kuat. Ada apa gerangan?

“Selamat malam, Pak. Sedang ada apa, ya?” sapaku sesopan mungkin.

“Selamat malam. Sedang dilakukan penggerebekan tempat-tempat prostitusi liar, Pak. Anda pelanggan di sini?”

Tenggorokanku tercekat dan udara terasa menjadi sangat dingin.

Beberapa petugas berseragam sibuk hilir mudik sambil menggiring beberapa orang yang diborgol dan dinaikkan ke mobil bak terbuka, mereka adalah perempuan-perempuan berbedak tebal dan berpakaian minim kain juga beberapa laki-laki muda maupun setengah baya. Sebagian tertunduk, sebagian meronta, berteriak, menjerit, dan menangis memohon dibebaskan.

Satu sisi hatiku bersyukur, manusia-manusia tak bermoral ini diciduk untuk dilakukan pembinaan, meski di sisi lain aku khawatir dengan keadaanku sendiri. Bagaimana caraku menjelaskan kepada polisi situasi yang kuhadapi dan cara mendapatkan kebenaran informasi tentang Mami Irene? Disamping itu, jawaban atas asal usul Delia yang sebenarnya belum dapat kuungkap.

Lalu, apa jadinya jika polisi justru menangkapku dengan tuduhan sebagai pelanggan, pengguna human trafficking seorang gadis yang masih berstatus anak-anak? Tamat sudah riwayatku.

Apapun kejadian yang bakal kuhadapi ke depan, jika memang ini benar, Delia dipastikan terbebas dari perbudakan dan perdagangan perempuan. Lantas bagaimana nasib ibunya, dan ... kalau ini bukan alamat yang benar, ke mana aku harus menuntut jawab? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku.

**

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indahh
Saya suka cerita ini , novel2 seperti ini yang saya cari2 terus untuk di baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status