Share

Mas Ganteng

Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.

Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.

“Pak! Anda pelanggan di sini?”

“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.

“Bapak ada keperluan apa?”

“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”

“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.

Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.

Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kalah telak oleh seorang bocah ingusan, pantang bagiku untuk tidak menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

“Selamat malam, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa laki-laki yang dipanggil komandan sama teman satunya itu ramah sambil mengulurkan tangan.

Berbungkus rasa khawatir, kuceritakan seluruh kronologi kejadian tanpa terkecuali, sementara bapak berseragam menyimak, menulis sesuatu pada catatan, dan sesekali bertanya.

“Sekarang anaknya di mana?” Ia menginterogasi lagi.

“Ada di rumah sama pembantu saya, Pak. By the way, benar ini lokalisasi Mami Irene? Delia bilang ibunya disekap agar Delia mau dijual,” tanyaku penuh rasa penasaran.

“Siapa nama ibunya?”

Sial! Bodohnya, aku lupa menanyakan siapa nama ibunya.

“Waduh, saya lupa menanyakannya, Pak. Kejadiannya baru dua hari ini, dan saya belum sempat ngobrol banyak. Saya ke sini buat memastikan, jangan sampai nanti kenapa-kenapa.”

“Sementara, Anda meninggalkannya di rumah hanya berdua dengan pembantu?”

Ya, ampun. Kenapa aku jadi sebodoh ini? Pikiranku lalu bercabang ke mana-mana. Rasa khawatir akan keselamatan Mak Yayah menghantam kesadaranku. Apa kabar rumah?

“Gimana ini, Mang?!”

Seketika aku panik. Mang Sugi tersenyum tenang seperti biasanya.

“Nanti biar saya yang telepon, kita berdoa yang terbaik, semoga Allah jaga. Berhusnuzon sama Allah, karena Ia sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Bapak selesaikan dulu yang di sini,” ucapnya menenangkan.

Lalu, untuk pertama kali setelah belasan tahun aku berdoa dan berharap. Ada trauma yang membekas, takut kehilangan orang-orang dekatku lagi. Ya, Allah, lindungi Mak Yayah. Tiba-tiba hatiku diselimuti ketakutan yang sangat.

“Kita ke sana!” Pak polisi itu mengajakku mendekati orang-orang di bak mobil yang sebagian masih diserang panik. Bau alkohol menguar dari segala penjuru.

“Siapa yang bernama Mami Irene?”

Seorang perempuan tambun berbaju sama seksinya buka suara.

“Aku, Pak Pol,” jawabnya masih dengan kegenitan yang sama seperti saat kutelepon.

“Kenal yang namanya Delia?” tanya sang komandan.

Sesaat kekagetan mewarnai wajah menor itu. Ia terdiam dengan wajah pucat pasi di bawah sorot lampu mobil.

“Jawab! Atau?” Pak polisi itu mengangkat tangannya, menggertak Mami Irene dengan tangan terkepal di udara.

“Eh, copot-copot! Jangan galak-galak napa, sih, Pak Pol?” Suaranya masih mendayu.

“Delia ada sama saya.” sahutku.

“Nah, tuh, sama Mas Ganteng Delianya. Mas yang kemarin telepon minta nambah hari karena ketagihan, kan? Eh, copoot!” Ia memekik dan menutup mulutnya lekas-lekas, sadar telah keceplosan.

‘Mana ibunya?” Pak Polisi memberondong dengan pertanyaan lanjut.

“Aiii! Mamamiaa! Si Tika mana? Kartika mana?!” ia berteriak panik dengan wajah makin pias, matanya berpendar-pendar menatap anak buahnya yang duduk berhimpit-himpit di kursi yang sempit.

Mereka lalu kasak-kusuk saling bertanya. Seorang perempuan lantas angkat bicara dengan intonasi takut, “Kartika sedang sakit, Pak. Lalu dikurung Mami di kamar paling ujung. Tadi pas Bapak datang, saya dobrak pintunya dan Kartika kabur.”

“Aiiii! Mampus aku!” Kaki Mucikari itu menghentak-hentak lantai mobil sehingga tubuh tambunnya berguncang-guncang, sementara matanya melotot pada anak buah berbaju kuning yang tadi buka suara.

“Turun kamu!” teriak Pak Polisi pada gundik itu dengan wajah geram.

Takut-takut ia meloncat turun dan hampir terjerembab karena sepatu berhak tinggi yang dikenakan. Alas kaki itu hampir tak mampu menahan beban tubuhnya.

Pak petugas lantas bertanya tentang banyak hal, juga tentang Delia dan ibunya. Kecentilan perempuan itu seperti embun pagi yang terkena sinar mentari, menguap tak berbekas. Ia menjawab pertanyaan dengan suara terbata dan bergetar-getar. Aku berdiri menyimak, berharap mendapatkan titik terang atas semua masalah ini. Sementara petugas lain menyisir setiap sudut rumah untuk menemukan jejak Kartika.

Hasilnya nihil. Ibunya Delia raib bagai sembunyikan makhuk gaib.

“Tunjukkan kamar Kartika,” bentak petugas lagi.

Mami Irene berjalan terseok-seok disiksa sepatu yang sepertinya sudah patah akibat meloncat tadi, diikuti Pak Polisi dan aku. Kami memasuki rumah besar yang bersekat-sekat. Terdapat mini bar dan ruang karaoke di bagian depan, dengan lampu disko yang masih menyala berpendar-pendar, warna-warni menghiasi setiap sudut ruang. Bagian dalam ada kamar berderet-deret, barangkali kamar para kupu-kupu malam atau mungkin ruang pelayanan untuk transaksi para hidung belang. Perutku tiba-tiba mual.

Mami Irene berhenti di kamar paling ujung dan berkata, “Ini kamarnya, Pak.” tunjuknya sambil menunduk.

Pak Komandan Polisi menerobos masuk, menghidupkan lampu dan memindai ruangan memprihatinkan itu. Aroma parfum murah segera menusuk penghidu.

Sebuah kamar sederhana berlantai ubin putih dan dinding bercat kuning gading yang mengelupas di beberapa bagian. Ada dipan sederhana, dua pasang bantal guling, sebuah lemari plastik dua pintu, dan mukena usang tergantung di balik pintu. Beberapa alat rias berantakan di depan meja kaca, dan berpasang-pasang sepatu berserak di sudut. Para petugas itu lantas menggeledah, menemukan tumpukan buku-buku pelajaran dan sebuah map plastik di atas lemari, sebuah al quran usang dan beberapa kitab. Aku mencuri lihat tulisan rapi yang dibubuhkan di dalam buku tulis khas anak sekolah, kukira itu milik Delia.

Ironi. Banyak rumah megah dengan penghuni terhormat atau merasa terhormat yang lupa diri, kitab suci hanya sebagai koleksi, berdebu karena lupa disentuh, sarung dan mukena yang tetap tersusun rapi di lemari. Sementara di kamar menyedihkan ini, Tuhan diagungkan dengan begitu bersahaja. Betapapun bangsat di mata manusia, bukankah semua tergantung akhirnya?

Perlahan map dibuka, ada beberapa lembar surat penting, kartu keluarga atas nama Kartika Cahyani dan dua orang anggota keluarga, raport sekolah, ijazah dan akte kelahiran. Sebuah pas foto ditempel di bagian depan ijazah. Meski masih anak-anak, aku tak asing dengan wajah terbingkai di dalam kertas ukuran tiga kali empat itu. Semua atas satu nama ‘Adelia Alfarouq.’

Sebuah nama yang indah, seindah pemiliknya. Ketegangan dan kecemasan yang tadi menderaku seakan terangkat begitu saja, digantikan perasaan hangat. Ah, tiba-tiba aku merindukan bocah itu.

Aku undur diri setelah mendapatkan jawaban. “Saya tunggu di luar, Pak,” ucapku memberi tahu petugas.

“Siap. Jangan ke mana-mana!” perintahnya tegas.

Aku melangkah keluar sambil meyulut sebatang rokok. Menghampiri Mang Sugi yang berdiri dalam gigil di depan mobil.

“Ada kabar apa dari rumah, Mang?” Kulihat mata tua itu berusaha tenang, meski tak mampu menyembunyikan sorot kecemasan.

“Saya telepon beberapa kali tidak ada nada sambung, Pak.”

“Coba lagi,” perintahku.

Mang Sugi kembali menelepon meski tidak ada respon dari seberang.

“Coba telepon rumah,” perintahku lagi.

“Sudah, Pak. Tidak diangkat.”

Hatiku kembali mencelos. Kelegaan dan kebahagiaan yang baru saja membuncah, tiba-tiba lari terbirit-birit menerima kenyataan yang baru saja kuketahui.

Aku berdiri, duduk, dan berjalan-jalan di sekitar mobil dengan perasaan tak keruan, menunggu petugas selesai dengan pekerjaannya. Waktu bagai undur-undur yang berjalan surut ke belakang.

***

Hari menjelang pagi ketika konvoi kendaraan meninggalkan lokasi. Suara sirine mengaung-ngaung membelah dini hari yang dingin, membangunkan orang-orang dari lelap tidur. Sebagian ada yang masih duduk-duduk dipinggir jalan, memakai sarung, dan senter di tangan, sambil menyanding tulisan sederhana di atas karton, menjajakan jasa penginapan villa. Demi selembar dua lembar rupiah, orang rela begadang dan melakukan apa saja untuk bertahan hidup.

Pasar tradisional mulai menggeliat, mengabaikan kabut yang masih pekat menghalagi pandangan, dan titik-titik embun yang luruh di atas daun-daun. Aneka sayuran segar dijajakan penuh pengharapan, membawa laba demi asap dapur tetap mengepul. Orang-orang di pasar itu serentak menatap iring-iringan dengan pandangan penuh tanya.

Atas perintah pak polisi pula, aku harus tetap ikut ke kantor. Betapapun aku ingin menjelaskan kepada para aparat itu, perkara telepon rumah yang tidak diangkat, tapi aku bungkam. Andai terjadi apa-apa, aku pasti akan menerima akibat dari kelalaianku. Kenapa semua menjadi serumit ini?

Mang Sugi mengendalikan laju kendaraan dengan hati-hati mengikuti rangkaian. “Nyalakan Fog Lamp, Mang,” perintahku mengingatkan, supaya kendaraan lain bisa menjaga jarak karena pandangan yang dibatasi kabut.

Sementara pikiranku tertuju pada nasib Mak Yayah yang tak ada kabar. Bagaimana nasib perempuan paruh baya yang sudah mendedikasikan hidupnya belasan tahun kepadaku bersama sang suami? Apa yang dilakukan Delia pada perempuan yang kuhormati dan sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri itu? Semua pertanyaan bergaung memenuhi rongga kepala, sementara hatiku dirajam perasaan takut.

Kucoba menelepon sekali lagi, kali ini suara operator menjawab, bahwa nomor yang kutuju sedang tidak aktif. Ya Allah, kusebut lagi Ia dalam pengharapan yang besar, disertai rasa malu karena selama ini meninggalkan-Nya.

Riak-riak masalah yang tadi kuanggap remeh, kini menggulungku serupa ombak, mengempaskan serupa badai di tengah laut.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status