Share

Telekung Lusuh

Penghambaan terindah hanyalah untuk Sang pemilik jagad.

Aku melengos, menatap dasar cangkir kopi yang sepenuhnya kosong, kemudian beranjak menjauh, membuka pintu menuju balkon, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Menikmati malam bergulir mengikuti keteraturan, meski telah jatuh pada gigil yang menusuk. Alam, selalu memiliki desain sempurna yang membuat manusia merasa kecil dan tak berdaya.

Tidak ada satu pun kebetulan, bukan? Akan tetapi, aku masih meraba kelam tanpa setitik pun cahaya dengan kejadian saat ini. Semua orang harus bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, sebagaimana ia siap menerima resiko dari apa yang dialaminya.

“Tuan?” Ia berjalan perlahan mengikutiku, masih dengan isak yang sama.

“Aku tak mungkin membawamu, Delia.”

“Saya mau jadi apa saja, Tuan. Pembantu Anda pun tak masalah, yang penting tidak menjadi seperti ibu.”

“Aku sudah punya di rumah.”

“Ng ... gratis, Tuan. Asal saya bisa makan dan ada tempat bernaung.”

“Karena kalau kau ikut, aku yang harus membayarmu, Delia. Berapa tarifmu semalam?”

“Saya tidak tahu, Tuan. Harga istimewa untuk yang pertama, setelahnya entah. Mami yang memberi harga. Tergantung kesepakatan, berapa hari atau one night stand.”

“Kau dapat bagian?”

“Dua puluh persen setelah selesai.”

“See? Aku mungkin bisa membayarmu, meski harga khususmu udah dibayar manusia-manusia serakah di kamar sebelah, tapi konyol kalau keringatku diperas untuk diberikan pada orang-orang tak bermoral seperti mamimu itu. Aku ... tak ingin terlibat, Delia. Tidurlah dan besok pagi pulang.”

Isak Delia semakin menjadi, seiring lolosnya air mata yang mungkin sedari tadi ia tahan. Langkahnya surut perlahan dan masuk ke peraduan. Dadaku berdentam-dentam diterkam perasaan bersalah, meski ego berkeras membela diri. Bukan urusanku jika masalah meruncing dan mencakar bocah kecil itu, bukan?

Jelaga malam berganti semburat jingga yang merangkak perlahan di ufuk timur, ketika lengking panggilan azan memenuhi cakrawala dari pengeras masjid-masjid di kejauhan. Aku masih termangu di balkon dengan pikiran semrawut, ketika suara-suara panggilan itu menyelusup hangat ke dalam dada. Asing tapi menenangkan, mungkin sudah ratusan purnama aku abaikan.

Dari dalam kamar lamat terdengar langkah kaki Delia, ketika beberapa jeda tangis gadis kecil itu mampat ditelan dini hari yang dingin, disusul gemericik air kran yang kali ini sukses ia alirkan. Aku berbalik, memindai geraknya pada temaram lampu kamar terbaik hotel bintang lima, yang sering menemaniku melerai jenuh pada rutinitas yang membosankan. Kenyataannya adalah, kenyamanan tak bisa dibeli dengan kemewahan berapa pun harganya. Mungkin, tidurku akan lebih nyenyak di ranjang reot yang berderit asal Gayatri ada dalam dekapan. Ah, belasan tahun sudah dan rindu itu masih setia.

Kuamati dalam diam, kecintaan pada Rabb-nya tak surut seujung kuku pun, meski ia seperti ditinggalkan berjuang sendiri oleh Sang Pemilik Kehidupan. Delia bersujud dalam balutan telekungnya yang lusuh, tersungkur dengan sedu-sedan yang panjang, memilih menjauhkan lambung dari kasur deluxeyang baru setengah malam dinikmati, bangkit, ruku’ dan memintal harap, sementara banyak orang memilih menarik selimut dan bergelung dalam mimpi. Aku larut memperhatikan ritual yang ia lakukan, menghangatkan tubir hati yang selama ini mengeras karena pengingkaran terhadap takdir yang digariskan.

Merasa diawasi, Delia menyudahi penghambaannya dan menatapku, masih dengan kaca-kaca pada kejoranya yang menyiratkan pedih.

“Pagi ini aku masih ada meeting di lantai dasar sampai siang. Mandi lalu sarapan di ruang makan, bajumu mungkin sudah kering.”

Kuletakkan beberapa lembar uang di meja samping tempat tidur, “Ini buat ongkos pulang.”

Delia tak menjawab, tertunduk dan masuk kembali ke kamar mandi.

***

“Sudah siap, Delia?”

Ia masih diam, hanya berdiri mematung di sisi pintu keluar. Kuhela lengan telanjangnya yang teraba dingin dan mengayunkan kakinya panjang-panjang mensejajari langkahku.

Lift terbuka setelah menempelkan kartu yang kupegang, sebagai akses private yang hanya naik dan turun di lantai berapa tamu menginap. Kebisuan melingkup hingga pintu terbuka.

“Ke sana, Delia.” Aku menunjukkan arah restoran ketika ia kebingungan ke mana harus melangkah.

“Tuan setelah ini ke mana?”

“Pulang, kalau semua urusan ini selesai.”

“Kapan?”

“Mungkin siang. Setelah kupatahkan rahang orang yang tega memesan dan mengirimmu ke kamarku. Kenapa?”

“Nggak apa-apa, Tuan.” Ia menjawab dengan sorot terkejut.

Bagai blitz paparazi yang menyilaukan ketika belasan pasang mata yang sebagian adalah peserta tender menatap penuh tanya ke arahku, sementara Delia kikuk tak tahu harus berbuat apa.

“Mau makan apa?”

Ia menatapku dengan sorot mata bingung.

“Banyak sekali, Tuan. Mana yang boleh diambil?”

Delia berjinjit dan berbisik di telingaku. Pandangannya lantas menyapu menu yang terhampar, mulai dari masakan Western, Nusantara hingga Japanesse Dessert yang terhidang di meja.

“Ambil yang kamu mau, sesukanya. Ayo, ikut.”

Dia mengekor bak anak kucing yang menurut pada induknya, berjalan menunduk dan tersipu. Mengikuti semua gerakku, mengambil menu yang sama persis.

Ia makan dalam diam sementara gurat-gurat kesedihan masih tergambar jelas di pipinya.

“Setelah ini, pulanglah. Aku ada meeting jam sembilan. Banyak ojek pangkalan di depan, keluar gerbang lalu belok ke kiri.”

***

Meeting Room sudah nyaris penuh oleh para vendor ketika aku masuk, membawa letupan bara dalam dada, cemeti-cemeti api melecut panas menyesakkan. Dalam nyalang mata, kucoba menilai satu-persatu presentasi yang mereka sajikan untuk melakukan penawaran terbaik. Fokusku memperhatikan gerak-gerik kejanggalan tiap kata dan laku. Siapa kiranya yang kuasa merendahkanku seperti itu? Karena memilih hidup sendiri dan dianggap kesepian sehingga butuh belaian?! Gelegak darah makin mendidih di puncak kepala.

Matahari sudah sepenggalah, ketika vendor terakhir mempresentasikan penawaran. Saatnya cofee break dan berdiskusi dengan tim menentukan siapa pemenang tender kali ini.

Satu jam merangkak dari jam sebelas sampai akhirnya keputusan diambil.

“Saudara-saudara sekalian. Keputusan ini murni diambil tim dari penilaian dokumen dan penawaran terbaik yang anda lakukan. Tidak ada hubungan dengan usaha gratifikasi yang dikirim ke kamar saya tadi malam. Seorang perempuan muda, anak-anak tepatnya, diantar oleh petugas hotel yang saya kenal. Saya tidak akan menuduh siapa, apakah memang dari perusahaan yang semalam disebutkan atau dari kompetitor yang ingin menjatuhkan pesaing mereka. Apapun namanya, ini adalah kejahatan seksual dan KKN, yang bisa dikenakan pasal berlapis jika dilaporkan dan diproses karena korban masih berstatus anak-anak.”

Aku menjeda. Menarik napas dalam-dalam untuk menetralisir amarah, sementara ruangan sontak bergemuruh bak sarang lebah yang disatroni beruang madu. Mereka saling tatap satu sama lain dan menerka-nerka.

“Kita berkumpul di sini untuk pembangunan, membuat perubahan. Naif sekali kalau justru kita menghancurkan masa depan penghuninya, meski hanya satu orang. Tak terpikirkah dampaknya pada orang-orang di sekitarnya? Anak itu sudah saya pulangkan, tanpa saya sentuh sedikit pun. Kalau sampai saya tahu siapa dalang dibalik insiden memalukan ini, saya tak segan mematahkan rahang pelakunya.”

Terlihat kepanikan dan tatapan saling curiga di antara para peserta.

“Keputusan hasil lelang akan kami beritahukan melalui email dua hari dari sekarang, terima kasih.”

***

Aku menelepon Mang Sugi untuk membawa mobil ke lobi. Ingin segera pulang dan mengistirahatkan badan dan pikiran, ditemani wedang jahe dan pijitan Mak Yayah, istri Mang Sugi yang sudah seperti emak sendiri.

Baru beranjak beberapa meter dari halaman hotel, di ujung gerbang, pemandangan tak asing tampak di depan mata. Delia?

“Tuan?”

“Ngapain kamu masih di sini?”

“Saya mau ikut Tuan saja.”

Ada perasaan khawatir dan lega yang muncul bersamaan. Gadis ini tangguh, bersemangat dan tak mudah menyerah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status