Rasa yang selalu memaksaku untuk kembali, meski menyadari kenyataan yang pernah ada selalu menguak lara. Kata yang menyedotku ke masa lalu, memaksa hati bergemuruh penuh letupan nyeri.
President Suite Room yang sama, view favorit bernuansa Gunung Salak menjulang di kejauhan, ditingkahi kabut putih, samar menaungi lembah-lembah. Aroma kebun teh yang merambat perlahan memasuki lorong-lorong kalbu, terbawa angin yang terhempas dinding bukit, membingkis dingin yang menggigit tulang. Kita berdiri mematung, menatap hijaunya dedaunan nun jauh dari balik jendela yang kain gordennya sengaja dibuka lebar, dengan kekasih hati dalam dekapan, rapat bertelanjang kaki. Menikmati harum sampo yang menguar dari legam rambutnya yang basah terurai. Ah, memori yang selalu seolah-olah nyata kurasa.Kuremas rambut sambil berdiri di tempat yang sama, di balik jendela kaca, mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal separuh. Selalu ada rasa sakit yang ingin selalu diulang tersebab rindu yang tak terperi. Lelaki mencintai dengan sepenuh hati, menyerahkan sepenuh jiwa raga, sehingga kehilangan menjadi sangat menyakitkan.Ketukan di pintu menyadarkan lamunanku atas gelegak cinta yang tak kunjung padam, tak tahu ke mana harus bermuara, tak jua menemukan cara agar padam dari rindu dendam.“Siapa? Kenapa?” Kubuka sedikit pintu kamar memastikan siapa yang datang.“Anto, Pak!”“Kenapa kamu, To?”“Ada titipan dari bawah, Pak?”Seorang gadis belia didorong paksa untuk maju ke depan. Tatapan ketakutan jelas terpancar dari wajahnya.“Maksudnya apa ini?”“Kurang tahu, Pak. Cuma disuruh nganter doang saya, mah.” Mukanya cengar cengir penuh arti.“Siapa? Kenapa?” Kubuka lebar jalan masuk, terdorong rasa penasaran.“Pesannya tadi cuma ... dari Adikarya, buat teman Bapak malam ini.” Anto mendorong kembali gadis belia itu masuk ke kamar, meski kakinya seperti dilem pada karpet merah yang diinjak sepatu yang terlihat murah itu. Ia ... enggan bergerak.Tatapku menyapu seluruh tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Cantik! Roman pias yang terpancar tak memudarkan pahatan wajahnya yang nyaris sempurna, meski kelihatan umur yang masih sangat muda. Dadaku bergemuruh, air liur tersendat di tenggorokan, darah mendidih tanpa komando. Sial!“Keluar kamu!” perintahku pada Anto.Gadis itu terlihat bimbang, antara ingin ikut keluar atau bertahan di dalam kamar bersama seorang lelaki asing.“Pak, anu ....” Anto blingsatan memasang tampang penjilat yang sungguh memuakkan.Kurogoh saku celana, berharap terselip beberapa lembar rupiah agar manusia begundal itu segera enyah dari hadapan.“Ini?!” Tawa Anto melebar saat menerima lembaran rupiah yang kusodorkan, tubuhnya membungkuk sekilas dan menghilang di balik pintu.“Duduk!” perintahku pada gadis muda yang terlihat ketakutan itu.“Tapi ... Tuan?”“Baru pertama kali?”Dia mengangguk, air mata membasahi pipinya yang ranum.“Saya mohon jangan, Tuan.”“Kalau tidak mau, kenapa sampai ke sini?”“Ibu saya, Tuan.”Tangisnya pecah dengan bahu yang terguncang hebat. Kubiarkan dia melerai beban, menunggunya selesai dengan ratapan kepedihan yang menyayat. Aku memilih duduk di sofa pojok dan menjaga jarak. Hanya mengangsurkan beberapa lembar tisu dan segelas air putih. Meski, betapa hati ingin memeluk, menyalurkan kekuatan, membentengi jiwanya yang terguncang. Kalau masih hidup, barangkali dia seumur Aurora anakku. Cukup lama kumenunggu sampai akhirnya tangis pilu itu mereda.“Ibu saya ditahan sama Mami sebagai jaminan. Kalau saya tidak lakukan, saya nggak akan ketemu ibu lagi.”“Maksudnya?” Otakku berputar tak paham.Dari penuturannya, Delia nama gadis itu, genap lima belas tahun pada dua bulan yang lalu. Sang ibu adalah anak buah Mami. Sesaat setelah melahirkan Delia, ibunya memutuskan datang ke komplek durjana itu demi sekotak susu bayi dan sesuap nasi. Alasan klise! Keputusasaan orang-orang bersumbu pendek, mengambil jalan pintas demi alasan perut, demi alasan tak ada pilihan lain, demi alasan susah mencari pekerjaan halal. Sekali lagi, semua hanya alasan! Ck!“Ayahmu?”“Kata ibu, ayah sudah kembali ke Timur Tengah sejak saya masih bayi merah.”Pantas saja, darah yang diwariskan dalam tubuhnya membentuk wajahnya yang proporsional khas negeri gurun pasir.“Bercerai?” tanyaku.Ia menggelang.“Nikah kontrak, Tuan. Saya tidak tahu bercerai atau berpisah seperti apa.”Sekali lagi, kutelan air liur untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Kutatap wajahnya yang dikepung hujan kesedihan. Gadis itu menyerah pada garis nasib yang tak sedikit pun mampu ia lawan, terpaksa mengalah dan menjalani garis kehidupan--meski dengan nestapa tak berkesudahan--demi keselamatan sang ibu.“Kemarilah.” Kutepuk sofa di sebelahku yang teraba dingin. Dia menggeleng dengan tatapan ketakutan yang sama.“Jangan, Tuan.”Aku tersenyum masam.“Kau takut, Delia? Apa ada tampang penjahat di wajahku? Penampilanku?” Kusipitkan kelopak mata sambil menatapnya.“Penampilan sering menipu, Tuan. Banyak orang bertampang klimis atau berbaju sopan tapi kelakuan tak ada bedanya dengan setan.”Kali ini aku terdiam. Ia benar. Gadis ini cerdas meski menyimpan kepedihan. Tatapan matanya jeli, menyiratkan isi kepala yang patut diperhitungkan.“Percayalah padaku.”Delia mendekat perlahan. Kepalanya tertunduk dalam dengan jemari yang saling bertaut di depan tubuh. Ia bertumbuh dengan cepat melampaui umurnya, hingga bentuk tubuhnya telah terlihat proporsional dan sangat menggoda. Manusia-manusia licik PT. Adikarya itu memanfaatkan keadaan. Demi memenangkan tender bernilai fantastis untuk pengadaan bahan bangunan proyek di perusahaanku, semua cara dilakukan. Gratifikasi tubuh manusia, anak-anak pula. Darahku kembali menggelegak, antara menahan emosi karena merasa direndahkan, juga hormon yang mulai bekerja. Shit!“Sudah makan?” Ia menggeleng.“Makanlah, setelah itu pulang, aku panggilkan taksi.”Matanya membulat tak percaya.“Tapi, Tuan?”“Sudah dibayar, kan? Urusan kita selesai. Lagian, aku nggak doyan anak-anak.”Kali ini isaknya kembali terdengar.“Apanya yang salah? Bukankah kau pun tak ingin melakukannya?”“Kalau bukan Tuan, saya tetap akan rusak sama yang lain. Tinggal menunggu waktu. Tolong saya, Tuan. Tolong saya ….” Ditangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, air mata menganak sungai pada kejoranya yang jelita.Sekali lagi dia benar. Begitu banyak predator di luar sana berwujud manusia yang siap membayar berapa pun harga yang ditawarkan. Namun, apa yang harus kuperbuat pada anak kecil ini, sementara mengendalikan diri pada pesonanya pun sulit kulakukan?Adalah sebuah kewajaran adanya trik, intrik, dan suap-menyuap dalam bisnis, dari yang kecil hingga berskala besar. Ketika uang sudah menjadi tuhan, tak ada lagi halal dan haram. Meski, setiap perut cukup dikenyangkan dengan sepiring dua piring nasi.“Tuan?”“Mau makan apa? Aku pesankan pada resepsionis,” ujarku mengalihkan kesedihannya.“Apa saja, Tuan.”“Aku lelah. Setelah makan nanti tidurlah, yang lain kita pikirkan besok.”Kutekan nomor layanan kamar meminta seporsi menu. Lalu mengambil bantal dan satu selimut, menatanya di sofa panjang depan TV.“Tuan, Anda?”“Kenapa? Aku tidur di sana dan memakanmu?”Daguku menunjuk ranjang yang masih rapi di belakangnya berdiri.“Eh ... tidak, Tuan.” Ia gelagapan seiring pintu yang diketuk perlahan dari luar.“Room service!”***Delia makan sambil ekor matanya sesekali melirik ke arahku, sementara aku sibuk menata pikiran dan meredam gejolak dalam diri. Bagiku malam ini benar-benar akan terasa panjang.“Tuan?”“Hmm?”“Anda tidak makan?”“Kau mau kita sepiring berdua?” Aku menangkat kepala dan memandangnya, menikmati pipi yang bersemu merah itu.“Ngg ... bukan begitu. Maksud saya, kenapa cuma pesan satu porsi?”“Makanlah. Aku masih kenyang. Jangan lupa cuci muka. Bedakmu terlalu tebal!”“Baik, Tuan.”Aku kenyang, Delia. Kenyang lahir batin.Ketika sedang merindukan mendiang istri dan anak, aku check in dan memintal rindu di kamar penuh kenangan ini. Kebiasaan yang sudah kulakoni belasan tahun lamanya. Hingga kini uban mulai tumbuh satu-satu.Tadi pagi aku sengaja mengundang para vendor untuk melakukan sesi lelang di tempat ini. Ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.Namun, justru seorang gadis bau kencur yang didatangkan padaku. Atau, kuhajar sekalian saja ia sebagai pelampiasan rasa?***Betapapun kerasnya kucoba terlelap, meletakkan sejenak keruwetan dan keras persaingan hidup pada malam yang selalu memeluk dalam diam, otak tetap tak henti berputar. Apa yang akan terjadi esok hari? Ke mana harus menyembunyikan bocah itu? Bagaimana cara melepaskannya dari lingkaran setan bisnis prostitusi dan merebut kembali sang ibu? Apa kata orang-orang? Apa komentar para kolega dan rekan bisnis? Pramono Wicaksono menerima gratifikasi dan menjadi pedhofilia! Sungguh memuakkan!Akan tetapi, apa peduliku? Tetangga bukan, saudara apalagi. Pulangkan saja, selesai urusan.Telinga masih menangkap suara gerakan yang menjauh dan pintu kamar mandi yang dibuka, sebagai penanda bahwa di kamar ini aku memang tak sendirian. Kutarik selimut menutupi muka, memejamkan mata rapat-rapat, menafikan bayangan yang menggoda kepala, dan berusaha tidak mendengar apapun.“Aaa!!”Jeritan Delia dari kamar mandi sontak membuat jantung melompat. Kenapa lagi bocah itu? Kuseret langkah tergesa mendekatinya.“De
Penghambaan terindah hanyalah untuk Sang pemilik jagad.Aku melengos, menatap dasar cangkir kopi yang sepenuhnya kosong, kemudian beranjak menjauh, membuka pintu menuju balkon, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Menikmati malam bergulir mengikuti keteraturan, meski telah jatuh pada gigil yang menusuk. Alam, selalu memiliki desain sempurna yang membuat manusia merasa kecil dan tak berdaya.Tidak ada satu pun kebetulan, bukan? Akan tetapi, aku masih meraba kelam tanpa setitik pun cahaya dengan kejadian saat ini. Semua orang harus bertanggung jawab atas keputusannya sendiri, sebagaimana ia siap menerima resiko dari apa yang dialaminya.“Tuan?” Ia berjalan perlahan mengikutiku, masih dengan isak yang sama.“Aku tak mungkin membawamu, Delia.”“Saya mau jadi apa saja, Tuan. Pembantu Anda pun tak masalah, yang penting tidak menjadi seperti ibu.”“Aku sudah punya di rumah.”“Ng ... gratis, Tuan. Asal saya bisa makan dan ada tempat bernaung.”“Karena kalau kau ikut, aku yan
Orang bijak pernah berkata, ‘Terkadang tempat teraman justru berada di pusat badai’, dan itulah yang dilakukan bocah ini sekarang.“Masuk!” Tergesa aku turun dan membuka pintu mobil sambil memandang liar sekitar, berharap tak ada seorang pun menjadi saksi peristiwa ganjil yang terjadi. Katanya dipulangkan, nyatanya dibawa serta. Senyum dikulum tercetak jelas pada wajahnya yang ranum, ketika menyandarkan kepalanya di jok mobil.Sementara pendar-pendar rasa tersemai di rongga dada. ‘Pramono, dia masih bocah,’ sebuah suara bergema dalam batok kepala, menjagaku tetap waras.Rinai hujan mendaraskan lantunan zikir, memenuhi tingkap-tingkap langit hingga ke Sidratul Muntaha, ketika kendaraan melaju pelan membelah aspal jalanan. Mang Sugi melempar senyum penuh arti melalui kaca spion di atas dasboard, disusul dendang lawas tembang penyesalan yang mengalun dari speaker mobil. Sempurna!Kau datang padaku saatku lukaLuka dengan sejuta kecewaYang hempaskan tubuh remukkan dadaNamun lembut belai
Entah.Apakah aku yang gila karena kepayang sehingga otak tak mampu berpikir realisitis, atau karena empati masih bekerja pada porosnya?Kecantikan Delia yang di atas rata-rata, masih mengkal dan berperilaku manis sanggup meruntuhkan logika. Jangan sampai pada pada akhirnya aku menyesal karena kesadaran yang muncul terlambat.Bisa saja ia kiriman seseorang, pesaing bisnis atau manusia-manusia dajjal yang datang sengaja untuk menipu dan memeras. Kalau memang demikian, uangku sudah raib dua puluh lima juta.“Delia, alamatmu di mana?”“Kenapa, Tuan?” Sorot khawatir kembali dilukiskan kejoranya yang jelita.“Tenang. Aku harus tahu betul di mana tinggalmu, kan? Kita saling nggak kenal, tiba-tiba masuk ke dalam rumahku. Bisa saja suatu malam kamu masuk kamar dengan sebilah belati. Sangat mungkin itu terjadi.”“Iya, Tuan. Saya ngerti. Maaf.” Suaranya terdengar bergetar.“Maaf lagi.”Delia lalu menyebutkan sebuah alamat di Puncak yang kucatat dalam sebuah note. Besok aku harus segera ke sana
Percaya atau tidak, setiap manusia hanya mengikuti garis takdir yang telah ditentukan, tak peduli warna kulit, cantik, tampan, jelek, pintar atau pun tidak.Orang menyebut itu sebagai keberuntungan yang berpihak, atau sebaliknya. Semua hanya mengikuti perputaran roda kehidupan.“Kita makan dulu, Delia?” Kualihkan melankolia yang melingkupi suasana.“Sudah adzan, Tuan. Saya shalat dulu.“Nanti saja di rumah, Isya panjang waktunya,” perintahku.“Menunda kewajiban itu membuat tidak nyaman, Tuan. Menjadi beban pikiran, padahal cuma sepuluh menit. Nanti atau sekarang sama-sama dikerjakan. Mau shalat sekalian?”Seperti gelegar halilintar yang meremukkan isi dada, hangus dan berbau sangit. Kata-katanya sungguh mencabik-cabik harga diriku, meluluh lantakkan kehormatan kesatria penolong berbaju zirah, terkapar tak berdaya bukan karena tusukan pedang azimat, tapi hanya karena pertanyaan seorang bocah.Puluhan tahun aku menggugat tiang-tiang Arsy, menanyakan perihal keadilan Tuhan yang disuaraka
Kenyataan sering tak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat matang.Aku tergeragap ketika bapak berseragam itu mengulangi pertanyaanya dengan tatapan tajam penuh selidik.“Pak! Anda pelanggan di sini?”“Ng … bukan, Pak, eh, anu ….” Aku berdehem sebentar, menetralisir serbuan perasaan deg-degan dan kata-kata yang tersendat di tenggorokan. “Maksud saya … saya bisa jelaskan semuanya. Bisa saya bertemu pimpinan operasi ini?” ucapku grogi dengan bahasa yang belepotan.“Bapak ada keperluan apa?”“Tolong! Ada hal penting yang harus saya sampaikan.”“Tunggu di sini!” perintahnya kemudian.Bapak petugas itu menjauh, lantas berbincang dengan sesama laki-laki berseragam yang sedang sibuk dengan Handy Talky di tangan. Keduanya lalu menatap lurus ke arahku. Hatiku menciut. Entah kenapa aku jadi setakut ini.Ketika pada akhirnya keduanya melangkah mendekat, ingin rasanya aku mengambil langkah seribu. Tapi kabur tanpa tanggung jawab bukan keputusan bijak. Meski kesatria berbaju zirah ini sudah kal
Apakah ini teguran? Atau azab atas sikapku selama ini? Segala rasa dan kecemasan bercampur aduk, berputar-putar membingungkan.Aku jadi teringat nasihat ibu, takaran ujian manusia sesuai dengan tingkat keimanan seseorang. Sebagai bentuk kecintaan Tuhan agar ia berjalan di atas muka bumi tanpa dosa, karena ujian dan kesakitan adalah untuk menghapus tiap kesalahan. Sementara, dicoba seperti ini saja, aku berontak dan menjauh, melupakan fitrah bahwa manusia diciptakan untuk menyembah Tuhannya.Ia justru menganugerahiku kemudahan. Ujian selanjutnyakah ini, atau istidraj? Kesenangan dan nikmat yang diberikan sebagai azab yang membuatku semakin lalai dan mati dalam kesia-siaan.Hatiku gerimis, serasa diremas, pedih dan menyesakkan. Jebol sudah tanggul keangkuahku selama ini, seiring air mata yang luruh membasahi pipi.“Bapak kenapa?” Mang Sugi bertanya sambal melirik kaca spion di atas dashboard. “Nggak usah cemas, Pak. Insyaallah nggak terjadi apa-apa,” sambungnya menenangkanku.Shit! Kena
Tuhan mengaruniakan air mata itu untuk melerai beban dan kesedihan yang bertumpuk menyesakkan.Menangislah, Delia. Kaummu dianugerahi persediaan air mata lebih, karena kodrat kalian yang harus melakukan banyak hal mempergunakan rasa, meski tak sekali, laki-laki juga butuh menangis. Alam raya diciptakan dengan keseimbangan yang dinamis, ada pelampiasan yang bisa dilakukan atas setiap hal yang berlaku.Aku hanya duduk dan menunggu, hingga kesedihannya benar-benar reda.“Mau jadi apa kalau nggak nerusin sekolah, Delia?” ujarku akhirnya.“Buat apa lagi saya sekolah, Tuan?” Ia tertunduk, memainkan jarinya di pangkuan sambil sesekali masih menyusut air mata dengan ujung jilbab.“Untuk dirimu sendiri, orang-orang di sekitarmu dan biar nggak bernasib seperti ibumu, maaf. Kamu masih punya harapan bertemu, ‘kan? Aku juga pernah hancur ketika ibu meninggal saat aku sedang menempuh pendidikan, sementara bapak sudah mendahului sejak aku masih bayi. Aku tahu rasanya, Delia.”Kepalanya terangkat da