Share

Gadis Kecil Di Kamar Hotel
Gadis Kecil Di Kamar Hotel
Penulis: Airin Ahmad

Aku Rindu

Rasa yang selalu memaksaku untuk kembali, meski menyadari kenyataan yang pernah ada selalu menguak lara. Kata yang menyedotku ke masa lalu, memaksa hati bergemuruh penuh letupan nyeri.

President Suite Room yang sama, view favorit bernuansa Gunung Salak menjulang di kejauhan, ditingkahi kabut putih, samar menaungi lembah-lembah. Aroma kebun teh yang merambat perlahan memasuki lorong-lorong kalbu, terbawa angin yang terhempas dinding bukit, membingkis dingin yang menggigit tulang. 

Kita berdiri mematung, menatap hijaunya dedaunan nun jauh dari balik jendela yang kain gordennya sengaja dibuka lebar, dengan kekasih hati dalam dekapan, rapat bertelanjang kaki. Menikmati harum sampo yang menguar dari legam rambutnya yang basah terurai. Ah, memori yang selalu seolah-olah nyata kurasa.

Kuremas rambut sambil berdiri di tempat yang sama, di balik jendela kaca, mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang tinggal separuh. Selalu ada rasa sakit yang ingin selalu diulang tersebab rindu yang tak terperi. Lelaki mencintai dengan sepenuh hati, menyerahkan sepenuh jiwa raga, sehingga kehilangan menjadi sangat menyakitkan.

Ketukan di pintu menyadarkan lamunanku atas gelegak cinta yang tak kunjung padam, tak tahu ke mana harus bermuara, tak jua menemukan cara agar padam dari rindu dendam.

“Siapa? Kenapa?” Kubuka sedikit pintu kamar memastikan siapa yang datang.

“Anto, Pak!”

“Kenapa kamu, To?”

“Ada titipan dari bawah, Pak?”

Seorang gadis belia didorong paksa untuk maju ke depan. Tatapan ketakutan jelas terpancar dari wajahnya.

“Maksudnya apa ini?”

“Kurang tahu, Pak. Cuma disuruh nganter doang saya, mah.” Mukanya cengar cengir penuh arti.

“Siapa? Kenapa?” Kubuka lebar jalan masuk, terdorong rasa penasaran.

“Pesannya tadi cuma ... dari Adikarya, buat teman Bapak malam ini.” Anto mendorong kembali gadis belia itu masuk ke kamar, meski kakinya seperti dilem pada karpet merah yang diinjak sepatu yang terlihat murah itu. Ia ... enggan bergerak.

Tatapku menyapu seluruh tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Cantik! Roman pias yang terpancar tak memudarkan pahatan wajahnya yang nyaris sempurna, meski kelihatan umur yang masih sangat muda. Dadaku bergemuruh, air liur tersendat di tenggorokan, darah mendidih tanpa komando. Sial!

“Keluar kamu!” perintahku pada Anto.

Gadis itu terlihat bimbang, antara ingin ikut keluar atau bertahan di dalam kamar bersama seorang lelaki asing.

“Pak, anu ....” Anto blingsatan memasang tampang penjilat yang sungguh memuakkan.

Kurogoh saku celana, berharap terselip beberapa lembar rupiah agar manusia begundal itu segera enyah dari hadapan.

“Ini?!” Tawa Anto melebar saat menerima lembaran rupiah yang kusodorkan, tubuhnya membungkuk sekilas dan menghilang di balik pintu.

“Duduk!” perintahku pada gadis muda yang terlihat ketakutan itu.

“Tapi ... Tuan?”

“Baru pertama kali?”

Dia mengangguk, air mata membasahi pipinya yang ranum.

“Saya mohon jangan, Tuan.”

“Kalau tidak mau, kenapa sampai ke sini?”

“Ibu saya, Tuan.”

Tangisnya pecah dengan bahu yang terguncang hebat. Kubiarkan dia melerai beban, menunggunya selesai dengan ratapan kepedihan yang menyayat. Aku memilih duduk di sofa pojok dan menjaga jarak. Hanya mengangsurkan beberapa lembar tisu dan segelas air putih. 

Meski, betapa hati ingin memeluk, menyalurkan kekuatan, membentengi jiwanya yang terguncang. Kalau masih hidup, barangkali dia seumur Aurora anakku. Cukup lama kumenunggu sampai akhirnya tangis pilu itu mereda.

“Ibu saya ditahan sama Mami sebagai jaminan. Kalau saya tidak lakukan, saya nggak akan ketemu ibu lagi.”

“Maksudnya?” Otakku berputar tak paham.

Dari penuturannya, Delia nama gadis itu, genap lima belas tahun pada dua bulan yang lalu. Sang ibu adalah anak buah Mami. Sesaat setelah melahirkan Delia, ibunya memutuskan datang ke komplek durjana itu demi sekotak susu bayi dan sesuap nasi. Alasan klise! Keputusasaan orang-orang bersumbu pendek, mengambil jalan pintas demi alasan perut, demi alasan tak ada pilihan  lain, demi alasan susah mencari pekerjaan halal. Sekali lagi, semua hanya alasan! Ck!

“Ayahmu?”

“Kata ibu, ayah sudah kembali ke Timur Tengah sejak saya masih bayi merah.”

Pantas saja, darah yang diwariskan dalam tubuhnya membentuk wajahnya yang proporsional khas negeri gurun pasir.

“Bercerai?” tanyaku.

Ia menggelang.

“Nikah kontrak, Tuan. Saya tidak tahu bercerai atau berpisah seperti apa.”

Sekali lagi, kutelan air liur untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Kutatap wajahnya yang dikepung hujan kesedihan. Gadis itu menyerah pada garis nasib yang tak sedikit pun mampu ia lawan, terpaksa mengalah dan menjalani garis kehidupan--meski dengan nestapa tak berkesudahan--demi keselamatan sang ibu.

“Kemarilah.” Kutepuk sofa di sebelahku yang teraba dingin. Dia menggeleng dengan tatapan ketakutan yang sama.

“Jangan, Tuan.”

Aku tersenyum masam.

“Kau takut, Delia? Apa ada tampang penjahat di wajahku? Penampilanku?” Kusipitkan kelopak mata sambil menatapnya.

“Penampilan sering menipu, Tuan. Banyak orang bertampang klimis atau berbaju sopan tapi kelakuan tak ada bedanya dengan setan.”

Kali ini aku terdiam. Ia benar. Gadis ini cerdas meski menyimpan kepedihan. Tatapan matanya jeli, menyiratkan isi kepala yang patut diperhitungkan.

“Percayalah padaku.”

Delia mendekat perlahan. Kepalanya tertunduk dalam dengan jemari yang saling bertaut di depan tubuh. Ia bertumbuh dengan cepat melampaui umurnya, hingga bentuk tubuhnya telah terlihat proporsional dan sangat menggoda. Manusia-manusia licik PT. Adikarya itu memanfaatkan keadaan. 

Demi memenangkan tender bernilai fantastis untuk pengadaan bahan bangunan proyek di perusahaanku, semua cara dilakukan. Gratifikasi tubuh manusia, anak-anak pula. Darahku kembali menggelegak, antara menahan emosi karena merasa direndahkan, juga hormon yang mulai bekerja. Shit!

“Sudah makan?” Ia menggeleng.

“Makanlah, setelah itu pulang, aku panggilkan taksi.”

Matanya membulat tak percaya.

“Tapi, Tuan?”

“Sudah dibayar, kan? Urusan kita selesai. Lagian, aku nggak doyan anak-anak.”

Kali ini isaknya kembali terdengar.

“Apanya yang salah? Bukankah kau pun tak ingin melakukannya?”

“Kalau bukan Tuan, saya tetap akan rusak sama yang lain. Tinggal menunggu waktu. Tolong saya, Tuan. Tolong saya ….” Ditangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, air mata menganak sungai pada kejoranya yang jelita.

Sekali lagi dia benar. Begitu banyak predator di luar sana berwujud manusia yang siap membayar berapa pun harga yang ditawarkan. Namun, apa yang harus kuperbuat pada anak kecil ini, sementara mengendalikan diri pada pesonanya pun sulit kulakukan?

Adalah sebuah kewajaran adanya trik, intrik, dan suap-menyuap dalam bisnis, dari yang kecil hingga berskala besar. Ketika uang sudah menjadi tuhan, tak ada lagi halal dan haram. Meski, setiap perut cukup dikenyangkan dengan sepiring dua piring nasi.

“Tuan?”

“Mau makan apa? Aku pesankan pada resepsionis,” ujarku mengalihkan kesedihannya.

“Apa saja, Tuan.”

“Aku lelah. Setelah makan nanti tidurlah, yang lain kita pikirkan besok.”

Kutekan nomor layanan kamar meminta seporsi menu. Lalu mengambil bantal dan satu selimut, menatanya di sofa panjang depan TV.

“Tuan, Anda?”

“Kenapa? Aku tidur di sana dan memakanmu?”

Daguku menunjuk ranjang yang masih rapi di belakangnya berdiri.

“Eh ... tidak, Tuan.” Ia gelagapan seiring pintu yang diketuk perlahan dari luar.

“Room service!”

***

Delia makan sambil ekor matanya sesekali melirik ke arahku, sementara aku sibuk menata pikiran dan meredam gejolak dalam diri. Bagiku malam ini benar-benar akan terasa panjang.

“Tuan?”

“Hmm?”

“Anda tidak makan?”

“Kau mau kita sepiring berdua?” Aku menangkat kepala dan memandangnya, menikmati pipi yang bersemu merah itu.

“Ngg ... bukan begitu. Maksud saya, kenapa cuma pesan satu porsi?”

“Makanlah. Aku masih kenyang. Jangan lupa cuci muka. Bedakmu terlalu tebal!”

“Baik, Tuan.”

Aku kenyang, Delia. Kenyang lahir batin.

Ketika sedang merindukan mendiang istri dan anak, aku check in dan memintal rindu di kamar penuh kenangan ini. Kebiasaan yang sudah kulakoni belasan tahun lamanya. Hingga kini uban mulai tumbuh satu-satu.

Tadi pagi aku sengaja mengundang para vendor untuk melakukan sesi lelang di tempat ini. Ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Namun, justru seorang gadis bau kencur yang didatangkan padaku. Atau, kuhajar sekalian saja ia sebagai pelampiasan rasa?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status