Rumah Kang Tarjo sudah berdiri megah di samping rumah bapaknya, Pak Sugi. Meski tidaklah bertembok bata, tapi keluarga kecil itu amatlah bahagia dan tak hentinya mengucap syukur pada sang pencipta.
Meski listrik masih numpang sama Pak Sugi, setiap menjelang magrib baru dinyalakan dan sesudah subuh langsung dicabut atau dimatikan oleh Yu Sarni. Tak menyurutkan niat Reni, anak semata wayangnya Kang Tarjo untuk selalu belajar."Bayar listrik mahal, harus berhemat, nanti kalau nyala semua bisa bahaya." Begitu ucapan Yu Sarni saat ditegur Yu Mini suatu hari.Pulang dengan berlinang air mata, Yu Mini berdoa dalam hati. Semoga kelak bisa menyambung listrik sendiri agar bebas menyalakan lampu dan mendengarkan radio setiap saat.Iya, tanpa televisi, Yu Mini dan keluarga menikmati hiburan sehari-harinya meski tanpa benda elektronik itu. Sebab, zaman itu televisi sangatlah mahal dan sedikit langka."Nggak apa, kamu masih bisa nonton di tempat tetangga kok, Ren," begitu ucapan Kang Tarjo kepada putrinya."Lampunya kok belum dinyalakan, Yu, padahal sudah mau Magrib lho ini?" tanya Lek Pri, adik bungsu Kang Tarjo saat bertandang ke rumahnya."Iya, memang belum dinyalakan kok, Dek," jawabnya dengan kikuk.Lek Pri pun berjalan mendekati saklar dan menekannya beberapa kali agar lampunya menyala, tapi naas, usahanya gagal dan membuat keningnya berkerut pertanda heran."He, ya, jelas belum nyala. Kan, belum di colokkan itu kabelnya yang mengarah ke sini," jelas Kang Tarjo dengan nada sedikit kecewa.Lek Pri tanpa berbicara lalu bergegas menuju rumahnya dan menelisik kabel yang mengarah ke rumah Kakaknya itu. Dengan dada yang naik turun pertanda menahan amarah, Lek Pri pun bertanya kepada Kakak perempuannya Yu Sarni."Perbuatan siapa ini?" tanyanya."Oh itu, Kang Tarjo yang minta sendiri kok, supaya pakai colokkan saja, biar gampang katanya.""Sudah, mulai besok saya akan ganti ini. Jangan sekali-kali diputuskan listriknya atau dicabut, kalau ada yang berani melanggarnya, maka akan berhadapan denganku," kata Lek Pri lantang dengan sorot mata tajamnya.Memang tidak bisa di pungkiri, semua takut dan tidak bisa berkutik saat berhadapan dengan Lek Pri. Meskipun dia anak bungsu, tetapi sangat ditakuti oleh kedua kakak perempuannya itu."Kenapa kamu bela dia, Pri? Nanti gede kepalanya." Berbisik Lek Sarni mengutarakan isi hatinya saat kemarahan adiknya keluar tak terbendung."Dia Kakak kita, kita harus menghormatinya. Kenapa kamu jahat seperti itu, Yu?""Jahat, kamu bilang? Heh, Pri, dengar, ya, dia itu pemalas, miskin pula. Coba kalau dia kaya, pasti 'kan sudah bisa nyambung listrik sendiri kepada petugas PLN?" jawab Yu Sarni sengit.Tak di pedulikan segala ocehan Kakak perempuannya itu, Lek Pri gegas berdiri dan melangkah menuju kamar tidur untuk meluruskan punggungnya.❤️❤️❤️❤️❤️"Mak, bagaimana kalau kita nabung dulu, supaya bisa punya listrik sendiri." Kang Tarjo bicara sama istrinya saat sedang membelah bambu yang akan dijadikan sebagai dinding rumahnya."Iya, Insyaallah Pak," kata Yu Mini menanggapi ucapan suaminya.Berdua mereka bekerja sama membuat dinding yang dari bambu sendiri, dibelah menjadi dua lalu di belah lagi menjadi bagian-bagian yang sama. Bekerja serabutan yang ditekuni Kang Tarjo membuatnya bisa leluasa jika tidak ada pekerjaan maka akan bersantai dan menyibukkan diri untuk membuat dinding bambu.Tanah yang tersisa masih kosong di belakang rumah mereka, sehingga dijadikan sebagai tempat jemuran dan kamar mandi. Untuk urusan buang air besar, masih berada di area terbuka. Di bawah pohon bambu yang lumayan jaraknya dari rumah mereka."Wah, senang, ya sekarang sudah punya rumah sendiri," sapa Mbah Sono tetangga depan rumahnya."Iya Mbah, Alhamdulillah." Serempak mereka menjawabnya.Mbah Sono memang sangat baik kepada Kang Tarjo dan Yu Mini, bahkan sawahnya disuruh untuk digarap oleh mereka selama beberapa tahun ke depan. Supaya bisa makan beras anyar, begitu alasan yang dikatakan oleh Mbah Sono.Setiap harinya banyak sekali yang datang ke rumah baru Kang Tarjo, hanya untuk singgah atau sekedar duduk dan menyapa saja. Banyak pemuda yang datang membantu menganyam bambu saat para pemuda sedang menunggu antrian mengambil air di samping rumah Pak Sugi.Tanah Pak Sugi memang di buat sumur bor, airnya melimpah ruah. Sehingga banyak sekali orang-orang datang untuk mengambil air untuk berbagai macam kebutuhan, dari memasak, mandi dan memberi minum kepada hewan ternak milik warga."Senang, ya, Kang, punya rumah baru?" tanya salah satu dari mereka."Senang dong, jangan lupa mampir kalau kalian lewat, ya," jawab Kang Tarjo seraya menepuk bahu salah satu pemuda itu."Pasti dong, Kang," jawabnya seraya tertawa.Semua sikap orang lain yang ditujukan pada Kang Tarjo membuat Yu Sarni dan Yu Surti semakin panas hatinya dan selalu saja mencari masalah meski Kakaknya itu tidak pernah menanggapinya.❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️"Bapak mau kerja ke kota Mak, kalian berdua di rumah tidak apa 'kan kalau aku tinggal?" tanya Kang Tarjo saat selesai makan malam."Mau kemana Pak?" tanya Yu Mini balik. "Mau ke kota, diajak kerja, sama Kang Badi, biar buat nambah-nambah uang jajannya Reni, Mak." "Nggak apa Pak, nanti juga kalau ada orang hajatan, Emak kan kerja. Bisa juga buat nambah-nambah tabungan kita. Amin." Reni hanya tersenyum sambil berbisik kata Amin, mendengar semua ucapan kedua orang tuanya.Kang Tarjo memang bekerja serabutan, siapapun yang mengajak pasti mau bekerja, asal halal. Dari kerja di sawah orang satu ke orang yang lain, ikut menebang tebu dan juga memperbaiki jalan. Upahnya selalu dikumpulkan oleh Yu Mini demi memenuhi kebutuhan mereka dan biaya sekolah sang anak.Dari merantau ke ibu kota, hingga ke pulau seberang pun dilakukan asal semua masih bisa dilakukan dengan tenaganya, Kang Tarjo tidak pernah menolak. Biar hidupnya jauh lebih baik, begitu alasannya."Hati-hati ya Pak, jaga diri dengan
Kang Paimin pulang dengan perasaan yang sangat bahagia, menemui Yu Surti istrinya. Kedua anak Kang Paimin terlihat biasa-biasa saja melihat bapaknya pulang dari rantau meski lama tidak bertemu.Sebab dari kecil hingga beranjak remaja, kedua anaknya di rawat oleh Pak Sugi dan Mak Siti. Bahkan, kadang jika sang bapaknya pulang justru perselisihanlah yang menyambutnya. Kang Paimin jika marah akan memukuli anaknya tanpa ampun, hingga terkadang mengundang perdebatan antara dirinya dengan sang mertua Pak Sugi."Besok kita buat rumah, di desaku. Warisan sudah dibagi, aku mendapatkan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan dua petak sawah. Lebih dari cukup, daripada tanah warisan dari orang tuamu, jauh lebih lebar milikku." Kang Paimin bicara dengan menggebu, mengungkapkan semua hasil musyawarah dari saudara-saudaranya. "Yakin Kang?" tanya Yu Surti kurang percaya terhadap suaminya sendiri.Dengan menggeser posisi duduknya, Yu Surti bertanya sekali lagi atas kabar baik yang dibawa suaminya i
Semua barang milik Yu Surti dimuat dalam sebuah truk besar, dari kasur dan perkakas dapur yang menjadi andalannya pun di angkut satu persatu oleh para warga yang membantu. Tak lupa juga rumah yang menjadi bagiannya yang diminta saat pertama ingin memisahkan diri dari orang tua mereka dibawa serta. Pak Sugi dan Mak Siti tidak ikut serta, mereka hanya mendoakan dari jauh, sebab terlalu ringkih raganya untuk di bawa pergi jauh.Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, semua warga yang ikut membantu membawa satu persatu barang-barang itu turun dari truk."Hati-hati nanti pecah, itu barang mahal!" ucap Yu Surti pada salah satu pemuda yang membawa barang pecah belah."Iya, Yu," balasnya."Kerja kok sambil bercanda, nanti kalau ada apa-apa memang mau tanggung jawab?" ocehnya yang membuat para pemuda saling melirik satu dan yang lainnya.Setelah semua diturunkan, sejenak mereka beristirahat dengan dijamu minuman dan gorengan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan."Kalau di
Brugh. "Apa ini?" tanya Yu Mini saat melihat tiang penyangga jemuran ambruk.Semua pakaian yang belum kering telah bercampur dengan tanah, semakin kotor saat ada ayam melintas dan menginjaknya tanpa permisi. Yu Mini hanya diam mematung tanpa beranjak keluar mengambil jemurannya yang sudah berubah warna. Coklat."Kamu, kalau mau bikin jemuran, jangan di sini! Ini tanah masih milikku, ingat!" seru Yu Sarni dengan lantangnya.Air mata Yu Mini semakin deras dan tidak dapat dibendung lagi. Banjir bak air bah yang tanggulnya telah jebol. "Kenapa malah nangis? Kamu tuli? Seharusnya kamu tahu, kamu di sini itu cuma numpang, iyakan? Numpang sama suami kamu, tahu diri dong. Jangan main pakai hak milik orang lain, mau serakah? Oh, tidak bisa. Selama masih ada saya, kamu tidak akan bisa semena-mena di sini. Paham?" kata Yu Sarni dengan menginjak-injak pakaian yang telah jatuh ke tanah itu, seringainya melebihi hantu kuntilanak.Yu Mini hanya terdiam melihat perilaku sang ipar dengan menyeka air
"Mak, aku akan pergi merantau. Emak di rumah sama Lilik, ya, tolong jaga dia! Nanti kalau ada uang aku akan pulang sebentar untuk melihat putriku itu!" Yu Sarni mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibu, Mak Siti.Memang tidak bisa di pungkiri, kehidupan ekonomi Yu Sarni kurang beruntung. Jika hanya di rumah dan mengandalkan panen dari sawah, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan yang dia mau.Apalagi Lusi sudah sekolah, mau tidak mau Yu Sarni harus berjuang keras untuk menghidupi putri kecilnya itu. Sebab, bapaknya tidak ada kabar mau menafkahi putrinya itu."Iya, Emak akan jaga anak kamu kok," jawab Mak Siti lembut. Mak Siti sudah terbiasa mengasuh cucu-cucunya dari kecil. Anak-anak Yu Surti dari dulu memanglah yang mengasuh adalah Mak Siti. Jadi, tidaklah kaget jika Mak Siti dan Pak Sugi selalu saja diberi beban oleh kedua putrinya itu.Mereka sangat menyayangi cucu-cucunya, namun kasih sayang seorang Kakek dan Nenek itu berbeda jika dengan cucu dari anak-anak lelaki mereka. Entahl
"Apa yang terjadi saat Emak di sawah kemarin, Ren?" tanya Yu Mini kepada putrinya saat selesai belajar.Reni yang kaget dengan pertanyaan sang Emak, hanya terdiam sambil mengemasi buku-buku sekolahnya ke dalam tas. Mata mereka bertemu dan ada gurat kepasrahan di dalamnya."Kenapa diam? Emak sedang berbicara dengan kamu. Ada apa dengan Lek Surti? Kamu buat kesalahan padanya?" ulangnya dengan menatap putrinya yang kelihatan gelisah itu.Reni hendak berbohong kalau tidak terjadi apa-apa, namun hati kecilnya sulit sekali untuk tidak bicara jujur kepada sang Emak. Ingin jujur atas kelakuan Bu Leknya, namun takut kalau terjadi permusuhan antar saudara."Ren ….""Berjanji, ya, Mak … Emak jangan bertengkar dengan Lek Surti kalau Reni bicara jujur! Janji, ya, Mak!" Reni bersimpuh di kaki Emaknya dengan berlinang air mata.Takut kalau Emaknya gaduh dengan iparnya yang sangat kejam itu, takut karena tidak akan ada yang membela. Sebab, Bapaknya sedang bekerja jauh di rantau orang.Mak Siti? Pak S
"Heh, bocah dekil! Apa yang kamu lakukan terhadap Purwo, hah!" pekik Yu Surti dengan menggedor pintu seperti orang yang hendak merampok rumah.Keras. Tanpa salam, Yu Surti masih berteriak kencang dengan suara yang menggema. Seolah dialah orang yang paling keras bicaranya.Yu Mini yang baru selesai mengadu terhadap sang penciptaNya, kaget bukan kepalang mendengar gedoran pintu yang hendak lepas dari penyangganya."Assalamualaikum, Dek …" suara Yu Mini terputus karena Yu Surti masih mencerocos saja tanpa henti.Meski Yu Mini mengucapkan salam, namun dia enggan menjawabnya. Matanya malah tambah membesar saat melihat Reni yang sedang duduk santai sambil membaca buku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.Sesekali Reni mengunyah keripik singkong buatan Emaknya dengan suara yang dibuat-buat. Yang membuat hati Yu Surti semakin dongkol dan ingin ikut mengunyah Reni utuh."Heh, Reni, kamu budek, ya? Dari tadi aku gedor pintu kamu, kenapa tidak di buka? Aku juga memanggilmu, tapi kenapa kamu tid
"Mana rumahnya? Yang inikah? Tapi … sepertinya bukan orang sini, soalnya saat aku main ke rumahnya Reni, aku tidak pernah melihatnya," suara segerombolan orang saat tengah malam mengagetkan Kang Tarjo dan berusaha mengintip lewat celah dinding bambunya.Sekitar enam orang dengan mengendarai sepeda motor, para pemuda itu menunjuk rumah Pak Sugi sambil setengah berbisik.Memang malam ini ada hiburan musik di desa sebelah, menjadi kebiasaan pemuda-pemuda itu jika ada salah paham pasti akan terjadi tawuran yang akan mengakibatkan kerugian.Yu Mini yang hendak sholat malam berhenti sejenak saat melihat suaminya sedang mengintip ke luar. Penasaran."Ada apa, Pak?" berbisik, Yu Mini bertanya kepada Kang Tarjo.Kang Tarjo tidak menjawab, hanya menempelkan jemari telunjuknya ke depan bibir. Isyarat agar Yu Mini diam."Kurang ajar sekali dia, omongannya terlalu tinggi. Untung saja tadi dia kabur, kalau tidak … habislah," kata salah satu pemuda yang berdiri mondar-mandir di depan rumah Pak Sugi.