Kang Tarjo pulang dengan napas memburu, amarahnya masih saja tersisa di dada. Apalagi saat di rumah melihat ayamnya mati semua, dengan menggerutu Kang Tarjo memungut semua hewan ternaknya satu persatu untuk di kubur.“Bagaimana bisa mati dalam bersamaan, apa yang terjadi?” gumam Kang Tarjo dengan tangan cekatan.“Ya Allah, Kang, apa yang terjadi? Kenapa ini?” tanya Yu Mini kaget.Saking terkejutnya Yu Mini terdiam di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Ada rasa sakit dan ingin menangis kala melihat semua hewan ternaknya tidak bernyawa. Lalu Yu Mini pun ikut membantu sang suami memunguti hewannya tersebut. Air mata wanita itu pun menetes tanpa henti, ayam adalah salah satu tabungan yang dijaga.“Kang!” Suara Yu Mini terdengar parau. Dia menyapu air yang mengalir deras di pipi tersebut dengan cepat. Hatinya masih sakit melihat kejadian yang terjadi di depan mata itu.“Bukan rezeki kita, nanti kalau ada uang bisa membeli lagi,” hibur Kang Tarjo bijak meski dalam hati sudah teramat pilu.
Namun, Kang Tarjo masih enggan untuk bergerak. Napasnya memburu dengan dada yang mengikuti irama jantung. Amarahnya semakin memuncak dan setelah mereka saling beradu pandang, Kang Tarjo mencoba untuk maju selangkah.“Kang, istighfar! Jangan sampai kamu kalah dengan setan yang membisikkan kalimat jahat, ingat jika nggak ada manfaatnya terpancing emosi. Kamu akan menyesal!” bujuk Yu Mini masih setengah berbisik.Dengan hati yang was-was wanita itu berusaha membujuk sang suami supaya tidak tersulut emosi yang tersimpan dalam hati. Dia berharap api itu segera padam dan bisa mendinginkan pikiran yang kacau bersama angin yang datang. Jantung pun mulai tak menentu dengan aliran darah yang mulai cepat hingga membuat tubuhnya terasa dingin.“Kang!” panggil Yu Mini dengan bibir bergetar.“Kamu pikir dengan sikap yang sok hebatmu itu bisa membuat aku takut? Nggak sama sekali!” gertak Tyo dengan pandangan nyalang.“Makan dengan hasil warisan saja mau belagu, ingat jika kamu itu laki-laki kosong,
“Tanah yang kamu buat rumah itu adalah hakku dan seharusnya kamu mengembalikan semuanya apa yang kamu punya pada kami! Dasar nggak punya muka, milik orang kok di klaim!” seru Tyo tanpa embel-embel hormat, malu dan juga sungkan.Kang Tarjo yang sedang minum kopi, tersedak. Semua apa yang sudah di dalam mulut seketika keluar dan membasahi meja. Mata itupun membelalak lebar bahkan nyaris keluar dari lubangnya. Terkejut bukan main mendengar suara yang sudah membuat mendidih darah tersebut.Laki-laki itu lantas berdiri dengan tatapan tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Cuaca pun seolah tahu sehingga angin yang tadinya berhembus sepoi-sepoi menyejukkan jiwa kini berubah menjadi panas seperti musim kemarau.“Dasar setan! Kamu itu terlahir dari seorang ibu atau batu?” murka Kang Tarjo lantang.Yu Mini yang sejak tadi sibuk di dapur seketika berlari menuju ke teras, pemandangan yang membuat jantung wanita itu berdetak kencang dari biasanya. Ia pun panik, keringat dingin membasahi pun
"Sudahlah Pak, suruh saja Kang Tarjo buat rumah di bagian yang jauh sana! Tanah milik Bapak yang berada di belakang rumahnya Lek Pahing, ngapain juga di dekat sini. Bikin rusuh, orangnya saja pemalas, miskin gitu," bujuk Yu Surti. Pak Sugi yang sedari tadi berpikir akan memberikan bagian tanah kepada anak lelakinya itu, terdiam sesaat karena bujuk rayu dari anak perempuannya yang selalu saja bicara dan tidak mau diam. Mak Siti istri Pak Sugi hanya menghela nafas berat mendengar celoteh putrinya dengan sesekali melirik ke arah suaminya.Pak Sugi menikahi Mak Sitii dan mempunyai delapan anak, Kang Tarjo adalah anak nomer tiga dan masih mempunyai adik lelaki satu yang telah sukses menurut orang desa karena menjadi aparat negara. Anak lelaki bungsu mereka yang selalu dibanggakan bekerja sebagai mandor bangunan di kota besar. Kang Tarjo masih mempunyai tiga orang Kakak, yang sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri. Tidak seperti anak-anak perempuan Pak Sugi lainnya, meski Yu Sumi j
Rumah Kang Tarjo sudah berdiri megah di samping rumah bapaknya, Pak Sugi. Meski tidaklah bertembok bata, tapi keluarga kecil itu amatlah bahagia dan tak hentinya mengucap syukur pada sang pencipta.Meski listrik masih numpang sama Pak Sugi, setiap menjelang magrib baru dinyalakan dan sesudah subuh langsung dicabut atau dimatikan oleh Yu Sarni. Tak menyurutkan niat Reni, anak semata wayangnya Kang Tarjo untuk selalu belajar."Bayar listrik mahal, harus berhemat, nanti kalau nyala semua bisa bahaya." Begitu ucapan Yu Sarni saat ditegur Yu Mini suatu hari.Pulang dengan berlinang air mata, Yu Mini berdoa dalam hati. Semoga kelak bisa menyambung listrik sendiri agar bebas menyalakan lampu dan mendengarkan radio setiap saat.Iya, tanpa televisi, Yu Mini dan keluarga menikmati hiburan sehari-harinya meski tanpa benda elektronik itu. Sebab, zaman itu televisi sangatlah mahal dan sedikit langka."Nggak apa, kamu masih bisa nonton di tempat tetangga kok, Ren," begitu ucapan Kang Tarjo kepada p
"Bapak mau kerja ke kota Mak, kalian berdua di rumah tidak apa 'kan kalau aku tinggal?" tanya Kang Tarjo saat selesai makan malam."Mau kemana Pak?" tanya Yu Mini balik. "Mau ke kota, diajak kerja, sama Kang Badi, biar buat nambah-nambah uang jajannya Reni, Mak." "Nggak apa Pak, nanti juga kalau ada orang hajatan, Emak kan kerja. Bisa juga buat nambah-nambah tabungan kita. Amin." Reni hanya tersenyum sambil berbisik kata Amin, mendengar semua ucapan kedua orang tuanya.Kang Tarjo memang bekerja serabutan, siapapun yang mengajak pasti mau bekerja, asal halal. Dari kerja di sawah orang satu ke orang yang lain, ikut menebang tebu dan juga memperbaiki jalan. Upahnya selalu dikumpulkan oleh Yu Mini demi memenuhi kebutuhan mereka dan biaya sekolah sang anak.Dari merantau ke ibu kota, hingga ke pulau seberang pun dilakukan asal semua masih bisa dilakukan dengan tenaganya, Kang Tarjo tidak pernah menolak. Biar hidupnya jauh lebih baik, begitu alasannya."Hati-hati ya Pak, jaga diri dengan
Kang Paimin pulang dengan perasaan yang sangat bahagia, menemui Yu Surti istrinya. Kedua anak Kang Paimin terlihat biasa-biasa saja melihat bapaknya pulang dari rantau meski lama tidak bertemu.Sebab dari kecil hingga beranjak remaja, kedua anaknya di rawat oleh Pak Sugi dan Mak Siti. Bahkan, kadang jika sang bapaknya pulang justru perselisihanlah yang menyambutnya. Kang Paimin jika marah akan memukuli anaknya tanpa ampun, hingga terkadang mengundang perdebatan antara dirinya dengan sang mertua Pak Sugi."Besok kita buat rumah, di desaku. Warisan sudah dibagi, aku mendapatkan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan dua petak sawah. Lebih dari cukup, daripada tanah warisan dari orang tuamu, jauh lebih lebar milikku." Kang Paimin bicara dengan menggebu, mengungkapkan semua hasil musyawarah dari saudara-saudaranya. "Yakin Kang?" tanya Yu Surti kurang percaya terhadap suaminya sendiri.Dengan menggeser posisi duduknya, Yu Surti bertanya sekali lagi atas kabar baik yang dibawa suaminya i
Semua barang milik Yu Surti dimuat dalam sebuah truk besar, dari kasur dan perkakas dapur yang menjadi andalannya pun di angkut satu persatu oleh para warga yang membantu. Tak lupa juga rumah yang menjadi bagiannya yang diminta saat pertama ingin memisahkan diri dari orang tua mereka dibawa serta. Pak Sugi dan Mak Siti tidak ikut serta, mereka hanya mendoakan dari jauh, sebab terlalu ringkih raganya untuk di bawa pergi jauh.Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, semua warga yang ikut membantu membawa satu persatu barang-barang itu turun dari truk."Hati-hati nanti pecah, itu barang mahal!" ucap Yu Surti pada salah satu pemuda yang membawa barang pecah belah."Iya, Yu," balasnya."Kerja kok sambil bercanda, nanti kalau ada apa-apa memang mau tanggung jawab?" ocehnya yang membuat para pemuda saling melirik satu dan yang lainnya.Setelah semua diturunkan, sejenak mereka beristirahat dengan dijamu minuman dan gorengan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan."Kalau di