"Bapak mau kerja ke kota Mak, kalian berdua di rumah tidak apa 'kan kalau aku tinggal?" tanya Kang Tarjo saat selesai makan malam.
"Mau kemana Pak?" tanya Yu Mini balik."Mau ke kota, diajak kerja, sama Kang Badi, biar buat nambah-nambah uang jajannya Reni, Mak.""Nggak apa Pak, nanti juga kalau ada orang hajatan, Emak kan kerja. Bisa juga buat nambah-nambah tabungan kita. Amin." Reni hanya tersenyum sambil berbisik kata Amin, mendengar semua ucapan kedua orang tuanya.Kang Tarjo memang bekerja serabutan, siapapun yang mengajak pasti mau bekerja, asal halal. Dari kerja di sawah orang satu ke orang yang lain, ikut menebang tebu dan juga memperbaiki jalan. Upahnya selalu dikumpulkan oleh Yu Mini demi memenuhi kebutuhan mereka dan biaya sekolah sang anak.Dari merantau ke ibu kota, hingga ke pulau seberang pun dilakukan asal semua masih bisa dilakukan dengan tenaganya, Kang Tarjo tidak pernah menolak. Biar hidupnya jauh lebih baik, begitu alasannya."Hati-hati ya Pak, jaga diri dengan baik sebab jauh dari keluarga," pesan sang istri sambil mengelus pelan lengan Kang Tarjo."Nanti, kalau banyak duit, beli televisi ya, Pak?" pinta sang putri sambil mendekap bapaknya."Amin." Serempak mereka bersuara laksana koor dalam paduan suara.❤️❤️❤️❤️❤️"Percuma saja kerja sampai jauh, pasti ujung-ujungnya tetap saja, MISKIN." Yu Sarni menekan suaranya saat bicara dengan Yu Surti ketika sedang mengambil air di sumur belakang rumahnya, lebih tepatnya rumah bapaknya, Pak Sugi.Yu Mini yang sedang menunggu antrian untuk mengambil air seketika hendak pergi, tetapi suara Yu Sarni semakin meninggi. Seolah mengejek atau ingin menyakinkan bahwa suaranya sangat merdu untuk didengar."Orang miskin tidak akan pernah bisa menjadi kaya, sampai kapanpun," ucapnya, lebih tepatnya berteriak.Yu Mini enggan menanggapi semua perkataan adik iparnya itu, mengalah jauh lebih baik daripada ikut-ikutan bersuara yang tidak akan pernah ada ujungnya.Yu Sarni, sebenarnya sudah memiliki anak dan suami. Suami Yu Sarni memilih mengalah dan pergi jauh meninggalkan dia dan sang putri yang berusia kurang lebih 3 tahun, karena tidak sanggup untuk hidup bersama seorang wanita yang selalu saja tidak pernah menghargai jerih payah suaminya.Sedang Yu Surti, memiliki dua orang anak lelaki, yang pertama hampir seumuran dengan Rina, anak Kang Tarjo. Suaminya kerja di pulau seberang, kadang setahun sekali pulang demi menengok keluarga kecil mereka.Belum mempunyai rumah, sebab uangnya belum cukup. Begitu untaian kalimat yang sekaligus saja keluar dari bibir Yu Surti. Akan tetapi, sang suami Kang Paimin selalu bekerja keras agar segera mempunyai rumah sendiri."Kalau mau mandi, itu masih ada air Ren, nggak usah ambil air lagi. Nanti sore saja, cepat mandi, nanti terlambat sekolah!" titahnya pada sang putri.Reni hanya mengangguk, menjawab perintah ibunya. Meski Reni masih bisa mendengar apa yang dikatakan oleh buleknya, akan tetapi dia enggan untuk bertanya lebih jauh.Usia Reni memang belum terlalu dewasa, namun, dituntut untuk menjadi dewasa karena mengalami sikap yang kurang adil dari kakek serta neneknya dari pihak bapak, yaitu Pak Sugi dan Mak Siti.Reni yang saat ini menjadi remaja, seringkali saat kecil melihat anak-anaknya Yu Surti makan dengan sayur dari warung yang terasa nikmat menurut anak di usia seperti itu."Mak, kok sayurku warnanya hijau sedangkan sayur milik Purwo dan Tyo warnanya kuning?" Begitulah jika Reni melihat makanan mereka berbeda.Pak Sugi sering ke warung untuk membelikan sayur buat cucunya kecuali Reni, dengan lahap mereka makan dan saling melihat makanan satu sama lain.Itu salah satunya alasan yang membuat Yu Mini, ingin segera memiliki rumah sendiri dan tidak lagi satu atap dengan mertua dan ipar-iparnya.Ingin hidup mandiri agar pula tidak ada kesalahpahaman antara keluarga.Untung saja keberuntungan ada dipihak mereka, sehingga bisa segera mempunyai istana yang terbuat dari bambu dan berlantai tanah, namun bahagia tiada terkira.❤️❤️❤️❤️❤️Dua Minggu sudah Kang Tarjo merantau di ibu kota, uang gajian dikirim dengan dibawa oleh tetangganya yang pulang."Buat beli televisi, begitu pesan dari Kang Tarjo, Yu," kata Lek Arman saat bertandang ke rumah Kang Tarjo."Alhamdulillah, tapi listriknya masih nyambung. Takutnya nanti dimatikan, jangan beli televisi dulu ya, Nduk!" Dengan raut wajah yang sedikit masam, Yu Mini bicara kepada sang putri saat Lek Arman pulang."Lho, kenapa kalau masih nyambung, Yu?" tanya Lek Arman dengan menautkan kedua alisnya."Tidak ada, takutnya nanti tiba-tiba mati karena nggak kuat dayanya Lek," jawab Yu Mini berbohong."Lha terus, Mak?""Kita beliin kambing saja, bagaimana? Nanti kalau sudah banyak, baru kita jual, terus kita pasang listrik dan … bisa beli apa saja, ya …" Tawa sumringah menghiasi bibir Reni, lalu mengangguk tanda setuju.Lek Arman yang mendengar mereka bicara hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Setelah berbasa-basi, Lek Arman mengundurkan diri pamit pulang.Sepulangnya Lek Arman, Yu Mini menghitung kiriman uang yang baru saja diterimanya. Tidak banyak, namun cukup bila dibelikan seekor kambing."Terus kambingnya nanti di taruh mana, Mak?" tanya Reni dengan sedikit berteriak karena berada di dapur."Dekat dapur situ saja!" jawab Yu Mini dengan sedikit teriak juga.Uang yang diterima langsung disimpan di kamar, syukur Alhamdulillah tidak henti-hentinya diucapkan oleh Yu Mini. Bahagia Yu Mini mempunyai rezeki yang datang dari dan suami.Ehem.Sontak Yu Mini mendongak setelah ada suara deheman dari pintu utama, Yu Surti datang dengan mata tajam menelisik dengan wajah seakan ingin memakan mangsanya."Listrik dibayar, jangan pura-pura lupa. Kalau sudah tanggalnya kok seperti seorang yang hilang ingatan, bayar!" Dengan tangan terulur Yu Surti bicara seolah dia adalah Ratu yang sedang memarahi pelayanannya."Kemarin 'kan baru dibayar, Dik," kata Yu Mini dengan lembut dan menyimpan uangnya di saku daster yang dipakai."Mana? Jangan kamu berbohong sama aku ya, kamu tahu 'kan apa akibatnya kalau sampai bohong?" hardiknya masih dengan mata tajam.Terpaksa Yu Mini memberikan lagi uang dua puluh ribu kepada adik iparnya itu. Setelah menerima uang di tangannya lalu berlalu pulang menuju rumah Pak Sugi."Astaghfirullah," lirih Yu Mini dengan menyeka air matanya yang mulai mengalir ke pipi.❤️❤️❤️Bersambung ...Kang Paimin pulang dengan perasaan yang sangat bahagia, menemui Yu Surti istrinya. Kedua anak Kang Paimin terlihat biasa-biasa saja melihat bapaknya pulang dari rantau meski lama tidak bertemu.Sebab dari kecil hingga beranjak remaja, kedua anaknya di rawat oleh Pak Sugi dan Mak Siti. Bahkan, kadang jika sang bapaknya pulang justru perselisihanlah yang menyambutnya. Kang Paimin jika marah akan memukuli anaknya tanpa ampun, hingga terkadang mengundang perdebatan antara dirinya dengan sang mertua Pak Sugi."Besok kita buat rumah, di desaku. Warisan sudah dibagi, aku mendapatkan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan dua petak sawah. Lebih dari cukup, daripada tanah warisan dari orang tuamu, jauh lebih lebar milikku." Kang Paimin bicara dengan menggebu, mengungkapkan semua hasil musyawarah dari saudara-saudaranya. "Yakin Kang?" tanya Yu Surti kurang percaya terhadap suaminya sendiri.Dengan menggeser posisi duduknya, Yu Surti bertanya sekali lagi atas kabar baik yang dibawa suaminya i
Semua barang milik Yu Surti dimuat dalam sebuah truk besar, dari kasur dan perkakas dapur yang menjadi andalannya pun di angkut satu persatu oleh para warga yang membantu. Tak lupa juga rumah yang menjadi bagiannya yang diminta saat pertama ingin memisahkan diri dari orang tua mereka dibawa serta. Pak Sugi dan Mak Siti tidak ikut serta, mereka hanya mendoakan dari jauh, sebab terlalu ringkih raganya untuk di bawa pergi jauh.Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, semua warga yang ikut membantu membawa satu persatu barang-barang itu turun dari truk."Hati-hati nanti pecah, itu barang mahal!" ucap Yu Surti pada salah satu pemuda yang membawa barang pecah belah."Iya, Yu," balasnya."Kerja kok sambil bercanda, nanti kalau ada apa-apa memang mau tanggung jawab?" ocehnya yang membuat para pemuda saling melirik satu dan yang lainnya.Setelah semua diturunkan, sejenak mereka beristirahat dengan dijamu minuman dan gorengan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan."Kalau di
Brugh. "Apa ini?" tanya Yu Mini saat melihat tiang penyangga jemuran ambruk.Semua pakaian yang belum kering telah bercampur dengan tanah, semakin kotor saat ada ayam melintas dan menginjaknya tanpa permisi. Yu Mini hanya diam mematung tanpa beranjak keluar mengambil jemurannya yang sudah berubah warna. Coklat."Kamu, kalau mau bikin jemuran, jangan di sini! Ini tanah masih milikku, ingat!" seru Yu Sarni dengan lantangnya.Air mata Yu Mini semakin deras dan tidak dapat dibendung lagi. Banjir bak air bah yang tanggulnya telah jebol. "Kenapa malah nangis? Kamu tuli? Seharusnya kamu tahu, kamu di sini itu cuma numpang, iyakan? Numpang sama suami kamu, tahu diri dong. Jangan main pakai hak milik orang lain, mau serakah? Oh, tidak bisa. Selama masih ada saya, kamu tidak akan bisa semena-mena di sini. Paham?" kata Yu Sarni dengan menginjak-injak pakaian yang telah jatuh ke tanah itu, seringainya melebihi hantu kuntilanak.Yu Mini hanya terdiam melihat perilaku sang ipar dengan menyeka air
"Mak, aku akan pergi merantau. Emak di rumah sama Lilik, ya, tolong jaga dia! Nanti kalau ada uang aku akan pulang sebentar untuk melihat putriku itu!" Yu Sarni mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibu, Mak Siti.Memang tidak bisa di pungkiri, kehidupan ekonomi Yu Sarni kurang beruntung. Jika hanya di rumah dan mengandalkan panen dari sawah, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan yang dia mau.Apalagi Lusi sudah sekolah, mau tidak mau Yu Sarni harus berjuang keras untuk menghidupi putri kecilnya itu. Sebab, bapaknya tidak ada kabar mau menafkahi putrinya itu."Iya, Emak akan jaga anak kamu kok," jawab Mak Siti lembut. Mak Siti sudah terbiasa mengasuh cucu-cucunya dari kecil. Anak-anak Yu Surti dari dulu memanglah yang mengasuh adalah Mak Siti. Jadi, tidaklah kaget jika Mak Siti dan Pak Sugi selalu saja diberi beban oleh kedua putrinya itu.Mereka sangat menyayangi cucu-cucunya, namun kasih sayang seorang Kakek dan Nenek itu berbeda jika dengan cucu dari anak-anak lelaki mereka. Entahl
"Apa yang terjadi saat Emak di sawah kemarin, Ren?" tanya Yu Mini kepada putrinya saat selesai belajar.Reni yang kaget dengan pertanyaan sang Emak, hanya terdiam sambil mengemasi buku-buku sekolahnya ke dalam tas. Mata mereka bertemu dan ada gurat kepasrahan di dalamnya."Kenapa diam? Emak sedang berbicara dengan kamu. Ada apa dengan Lek Surti? Kamu buat kesalahan padanya?" ulangnya dengan menatap putrinya yang kelihatan gelisah itu.Reni hendak berbohong kalau tidak terjadi apa-apa, namun hati kecilnya sulit sekali untuk tidak bicara jujur kepada sang Emak. Ingin jujur atas kelakuan Bu Leknya, namun takut kalau terjadi permusuhan antar saudara."Ren ….""Berjanji, ya, Mak … Emak jangan bertengkar dengan Lek Surti kalau Reni bicara jujur! Janji, ya, Mak!" Reni bersimpuh di kaki Emaknya dengan berlinang air mata.Takut kalau Emaknya gaduh dengan iparnya yang sangat kejam itu, takut karena tidak akan ada yang membela. Sebab, Bapaknya sedang bekerja jauh di rantau orang.Mak Siti? Pak S
"Heh, bocah dekil! Apa yang kamu lakukan terhadap Purwo, hah!" pekik Yu Surti dengan menggedor pintu seperti orang yang hendak merampok rumah.Keras. Tanpa salam, Yu Surti masih berteriak kencang dengan suara yang menggema. Seolah dialah orang yang paling keras bicaranya.Yu Mini yang baru selesai mengadu terhadap sang penciptaNya, kaget bukan kepalang mendengar gedoran pintu yang hendak lepas dari penyangganya."Assalamualaikum, Dek …" suara Yu Mini terputus karena Yu Surti masih mencerocos saja tanpa henti.Meski Yu Mini mengucapkan salam, namun dia enggan menjawabnya. Matanya malah tambah membesar saat melihat Reni yang sedang duduk santai sambil membaca buku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.Sesekali Reni mengunyah keripik singkong buatan Emaknya dengan suara yang dibuat-buat. Yang membuat hati Yu Surti semakin dongkol dan ingin ikut mengunyah Reni utuh."Heh, Reni, kamu budek, ya? Dari tadi aku gedor pintu kamu, kenapa tidak di buka? Aku juga memanggilmu, tapi kenapa kamu tid
"Mana rumahnya? Yang inikah? Tapi … sepertinya bukan orang sini, soalnya saat aku main ke rumahnya Reni, aku tidak pernah melihatnya," suara segerombolan orang saat tengah malam mengagetkan Kang Tarjo dan berusaha mengintip lewat celah dinding bambunya.Sekitar enam orang dengan mengendarai sepeda motor, para pemuda itu menunjuk rumah Pak Sugi sambil setengah berbisik.Memang malam ini ada hiburan musik di desa sebelah, menjadi kebiasaan pemuda-pemuda itu jika ada salah paham pasti akan terjadi tawuran yang akan mengakibatkan kerugian.Yu Mini yang hendak sholat malam berhenti sejenak saat melihat suaminya sedang mengintip ke luar. Penasaran."Ada apa, Pak?" berbisik, Yu Mini bertanya kepada Kang Tarjo.Kang Tarjo tidak menjawab, hanya menempelkan jemari telunjuknya ke depan bibir. Isyarat agar Yu Mini diam."Kurang ajar sekali dia, omongannya terlalu tinggi. Untung saja tadi dia kabur, kalau tidak … habislah," kata salah satu pemuda yang berdiri mondar-mandir di depan rumah Pak Sugi.
Suasana tentram dirasakan keluarga Kang Tarjo, karena para biang rusuh telah pergi dari kediaman Pak Sugi. Purwo serta Tyo pun turut pergi dari sana, sehingga tidak ada niat lagi untuk membalas perbuatan Purwo waktu itu oleh Reni.Reni memang berniat ingin membalas perbuatan Purwo, namun, urung karena dengan sendirinya mereka semua pulang ke rumah barunya yang telah berdiri dengan megah."Tarjo, tolong kamu bantu-bantu di sawah, sebentar lagi panen. Nanti kalau sudah selesai, ambil saja satu karung padi untukmu!" pinta Pak Sugi saat malam tiba. Pak Sugi memang sering berkunjung ke rumah Kang Tarjo saat malam, hanya sekedar bersenda gurau dan bersantai saja dengan anaknya yang kebetulan berada dekat dengan rumahnya.Atau memang hanya ingin meminta kopi hangat, karena jika di rumahnya sendiri. Yu Sarni tidak pernah membuatkannya."Iya, Pak. Memangnya sawah mana yang mau dipanen lebih dulu?" tanya Kang Tarjo dengan menyesap kopi buatan istrinya.Yu Mini pun menyediakan kopi buat mertuan