"Mana rumahnya? Yang inikah? Tapi … sepertinya bukan orang sini, soalnya saat aku main ke rumahnya Reni, aku tidak pernah melihatnya," suara segerombolan orang saat tengah malam mengagetkan Kang Tarjo dan berusaha mengintip lewat celah dinding bambunya.Sekitar enam orang dengan mengendarai sepeda motor, para pemuda itu menunjuk rumah Pak Sugi sambil setengah berbisik.Memang malam ini ada hiburan musik di desa sebelah, menjadi kebiasaan pemuda-pemuda itu jika ada salah paham pasti akan terjadi tawuran yang akan mengakibatkan kerugian.Yu Mini yang hendak sholat malam berhenti sejenak saat melihat suaminya sedang mengintip ke luar. Penasaran."Ada apa, Pak?" berbisik, Yu Mini bertanya kepada Kang Tarjo.Kang Tarjo tidak menjawab, hanya menempelkan jemari telunjuknya ke depan bibir. Isyarat agar Yu Mini diam."Kurang ajar sekali dia, omongannya terlalu tinggi. Untung saja tadi dia kabur, kalau tidak … habislah," kata salah satu pemuda yang berdiri mondar-mandir di depan rumah Pak Sugi.
Suasana tentram dirasakan keluarga Kang Tarjo, karena para biang rusuh telah pergi dari kediaman Pak Sugi. Purwo serta Tyo pun turut pergi dari sana, sehingga tidak ada niat lagi untuk membalas perbuatan Purwo waktu itu oleh Reni.Reni memang berniat ingin membalas perbuatan Purwo, namun, urung karena dengan sendirinya mereka semua pulang ke rumah barunya yang telah berdiri dengan megah."Tarjo, tolong kamu bantu-bantu di sawah, sebentar lagi panen. Nanti kalau sudah selesai, ambil saja satu karung padi untukmu!" pinta Pak Sugi saat malam tiba. Pak Sugi memang sering berkunjung ke rumah Kang Tarjo saat malam, hanya sekedar bersenda gurau dan bersantai saja dengan anaknya yang kebetulan berada dekat dengan rumahnya.Atau memang hanya ingin meminta kopi hangat, karena jika di rumahnya sendiri. Yu Sarni tidak pernah membuatkannya."Iya, Pak. Memangnya sawah mana yang mau dipanen lebih dulu?" tanya Kang Tarjo dengan menyesap kopi buatan istrinya.Yu Mini pun menyediakan kopi buat mertuan
"Mbah Siti, ini mata saya, Mbah!" Yu Mini terperanjat saat melihat mertua perempuannya menyodorkan satu ekor ikan bandeng tepat di depan matanya. Di dorongnya ikan itu terus, hingga Yu Mini bangkit dari posisi jongkoknya yang sedang memilih sayuran.Mak Siti pagi ini belanja karena ada orang sedang menanam padi di sawahnya. Jadi untuk membuat sarapan terpaksa dia belanja sendiri, karena Yu Sarni dan Yu Surti pun ikut menanam padi.Seperti tidak sepenuhnya melihat sempurna, Mak Siti tanpa sengaja memberikan seekor ikan itu tepat menyentuh mata kanan Yu Mini.Semua orang yang melihat kebingungan, entah kenapa Mak Siti seperti itu. Apa mungkin matanya yang sebelah kanan kambuh? Sebab, matanya Mak Siti memang divonis buta sebelah oleh dokter.Tiba-tiba Mak Siti luruh ke tanah, yang langsung ditangkap oleh Mbah Kini beserta Yu Mini dengan sigapnya."Kepalaku pusing, Mini. Tolong aku!" lirih Mak Siti membuat semua yang berada di sampingnya khawatir.Tubuh ringkih itu di bopong Yu Mini dan b
"Mini, Mini … cepat kamu bersihkan rumah Bapak!" perintah Kang Tarjo saat melihat istrinya hendak mengambilnya air di sumur.Tergesa Kang Tarjo berbicara dengan istrinya, raut wajahnya berubah, seakan ada sesuatu yang dipendam."Ada apa, Kang?" tanya Yu Mini saat melihat manik sang suami menitikkan air mata. "Emak telah berpulang," Tangisnya sudah tidak terbendung.Air mata yang ditahan akhirnya jebol juga, jantung Yu Mini berdebar, tangannya bergetar dan tubuhnya nyaris ambruk. "Barusan Paimin dari sana, dan mengabarkan kalau Emak sudah tidak dapat tertolong, sekarang dalam perjalanan, ayo bersihkan rumahnya!" ajak Kang Tarjo dengan menggandeng tangan istrinya.Pak Sugi yang hendak ke rumah Kang Tarjo berhenti saat melihat pasangan suami istri itu hendak keluar bergandeng. "Mau kemana?" Pertanyaan Pak Sugi membuat Kang Tarjo berjingkat kaget. Debaran jantungnya serasa berirama tanpa jeda, raut wajahnya pasi. Berfikir tentang kalimat apa yang akan dikatakan kepada bapaknya."Pak …
"Ayo, Tii, bawa ini semua!" perintah Kang Paimin kepada istrinya."Bentar, Kang … ini, Wo, ambil! Jangan lupa pegang yang kuat, nanti kalau jatuh, 'kan sayang. Barang mahal ini, produk luar negeri kok," ucap Yu Surti pada Purwo anak sulungnya yang sudah duduk manis di atas kendaraan roda dua yang akan membawa barang-barang mini sound milik Lek Pri.Tujuh hari setelah kepergian Mak Siti untuk selamanya, semua anak menantu serta cucu Pak Sugi kembali ke rumah masing-masing. Namun, Yu Surti dan suami serta anak-anaknya malah membawa barang-barang elektronik milik Lek Pri yang dibelinya saat masih bekerja di luar negeri.Dengan cekatan satu keluarga itu memboyong semua barang-barang yang tersimpan rapi di kamar belakang. Semangat mereka melebihi para pekerja yang mendapatkan upah. Membara.Kang Tarjo, Yu Mini serta anaknya Reni, hanya melihat dari rumah mereka dengan tersenyum heran oleh tingkah dan kelakuan keluarga Kang Paimin dan Yu Surti."Lihat, adikmu itu, Pak! Keterlaluan sekali, b
"Kamu itu, dasar anak tidak tahu diri! Pulang kok Emak sudah tinggal tulang belulangnya saja, kamu itu! Hih!" pekik Yu Surti saat melihat Lek Pri pulang dari rantau.Ingin saja rasanya menjitak kepala sang adik bungsu, gemas dengan sikapnya. Seperti tidak menghormati orang tua saja, meski sudah berpulang. Padahal dia adalah anak yang paling di sayangi oleh kedua orang tuanya itu."Aku nggak ada duit, Yu, keadaan ekonomiku sedang tidak stabil." Wajah lesu Lek Pri tertunduk."Alasan," bentak Yu Surti dengan mencubit punggung Lek Pri.Lek Pri yang sedang menunduk seketika menengadah melihat sang kakak yang tidak mau tahu alasan yang telah diucapkannya. Hatinya merasa disentil dengan ucapan Yu Surti barusan."Kamu 'kan kerja, masak nggak ada duit. Memangnya kemana semua uang yang kamu dapatkan selama ini? Buat foya-foya? Lupa orang tua?" tanya Yu Surti dengan menatap tajam ke netra sang adik."Biasa, Ti, dia memang selalu seperti itu. Beruntung dulu bisa menabung meski hanya sedikit, jadi
"Kang, Reni biarkan ikut sama Mas Wardi saja! Sekolah SMA di sana, sayangkan kalau harus putus sekolah. Usianya juga masih belia, biarlah mencari pengalaman yang banyak," Lek Pri mengutarakan isi hatinya kepada sang Kakak saat melihat Reni bermain bersama teman sebayanya. "Tapi, Dek …" "Jangan khawatir, tidak akan menjadi masalah kok. Lagian, uang yang sudah di pinjam sama Mas Wardi tidak akan mungkin dikembalikan. Jadi … lebih baik uangnya untuk menyekolahkan Reni, daripada saudara dari pihak Mbak Susi yang di sekolahkan semua," jelas Lek Pri yang masih membuat bingung Kang Tarjo.Kang Tarjo menautkan kedua alisnya mencoba mencerna apa yang dibicarakan sama Lek Pri barusan. Namun, tak kunjung juga paham akan semua ucapan sang adik. "Begini, Kang, selama ini untuk biaya pendidikan Mas Wardi adalah dengan bantuanku. Sudah habis banyak uang yang dipinjam dari aku untuknya. Jika aku hendak mengambil hakku itu, menagihnya, Mas Wardi selalu saja ada alasan untuk ini dan itu juga lainnya
"Ini keponakannya ya, Bu Wardi?" tanya seorang ibu yang terlihat menyapa Lek Susi di teras rumah."Bukan, bukan keponakan saya, tapi keponakannya suami saya," jawabnya dengan senyum manis lalu saling berbisik.Reni yang mendengar hanya menganggukkan kepala, ingin ikut menyapa namun, sungkan. Sehingga dia melanjutkan kembali aktifitasnya menyapu halaman mungil di depan asrama.Lek Susi dan tetangganya itu berbicara dengan menggunakan bahasa adat mereka yang tidak dimengerti oleh Reni. Namun, dilihat dari caranya berbicara, Lek Susi seperti membicarakannya. Reni lalu masuk kamar dan menangis memanggil Lek Pri dalam isakannya. "Dia itu pemalas, Bu. Tidak pernah membantu saya mencuci serta memasak di dapur. Kerjaannya hanya tiduran di kamar, bangun lalu makan," ujarnya dengan suara setengah berbisik."Masak 'sih Jeng, kalau di lihat dari orangnya seperti nggak begitu-begitu amat. Lihat itu, mau menyapu juga, 'kan? Malah, kadang saya juga melihat dia sedang mengepel lantai lho," balas tet