"Kang, Reni biarkan ikut sama Mas Wardi saja! Sekolah SMA di sana, sayangkan kalau harus putus sekolah. Usianya juga masih belia, biarlah mencari pengalaman yang banyak," Lek Pri mengutarakan isi hatinya kepada sang Kakak saat melihat Reni bermain bersama teman sebayanya. "Tapi, Dek …" "Jangan khawatir, tidak akan menjadi masalah kok. Lagian, uang yang sudah di pinjam sama Mas Wardi tidak akan mungkin dikembalikan. Jadi … lebih baik uangnya untuk menyekolahkan Reni, daripada saudara dari pihak Mbak Susi yang di sekolahkan semua," jelas Lek Pri yang masih membuat bingung Kang Tarjo.Kang Tarjo menautkan kedua alisnya mencoba mencerna apa yang dibicarakan sama Lek Pri barusan. Namun, tak kunjung juga paham akan semua ucapan sang adik. "Begini, Kang, selama ini untuk biaya pendidikan Mas Wardi adalah dengan bantuanku. Sudah habis banyak uang yang dipinjam dari aku untuknya. Jika aku hendak mengambil hakku itu, menagihnya, Mas Wardi selalu saja ada alasan untuk ini dan itu juga lainnya
"Ini keponakannya ya, Bu Wardi?" tanya seorang ibu yang terlihat menyapa Lek Susi di teras rumah."Bukan, bukan keponakan saya, tapi keponakannya suami saya," jawabnya dengan senyum manis lalu saling berbisik.Reni yang mendengar hanya menganggukkan kepala, ingin ikut menyapa namun, sungkan. Sehingga dia melanjutkan kembali aktifitasnya menyapu halaman mungil di depan asrama.Lek Susi dan tetangganya itu berbicara dengan menggunakan bahasa adat mereka yang tidak dimengerti oleh Reni. Namun, dilihat dari caranya berbicara, Lek Susi seperti membicarakannya. Reni lalu masuk kamar dan menangis memanggil Lek Pri dalam isakannya. "Dia itu pemalas, Bu. Tidak pernah membantu saya mencuci serta memasak di dapur. Kerjaannya hanya tiduran di kamar, bangun lalu makan," ujarnya dengan suara setengah berbisik."Masak 'sih Jeng, kalau di lihat dari orangnya seperti nggak begitu-begitu amat. Lihat itu, mau menyapu juga, 'kan? Malah, kadang saya juga melihat dia sedang mengepel lantai lho," balas tet
"Kemasi semua pakaianmu, Ren! Kita akan pulang besok sore setelah aku pulang kerja," ucap Kang Wardi saat melihat Reni mencuci piring yang bertumpuk-tumpuk di wastafel."Aku pulang, Lek?" tanya Reni mengulangi apa yang didengarnya. Takut jika pendengarannya ada yang tidak beres.Kang wardi hanya mengangguk lalu meneguk air putih di gelas yang telah di ambilnya. Rasa haus menghampiri Kang Wardi saat pulang dari kantor. Sedang istrinya masih diam membisu melihat sang suami pulang dari kerja. Sejak perseteruan malam itu, kini Lek Susi dengan Kang Wardi masih enggan saling sapa. "Iya, bukankah itu yang kamu mau?" ucapnya memastikan."Iya, Lek, tapi … bagaimana dengan Lek Pri? Apa aku tidak di jemput olehnya?" "Dia sedang sibuk, aku yang akan mengantarkan kamu sampai rumah," jawab Kang wardi dengan menepuk pelan pundak keponakannya yang tersenyum penuh kebahagiaan itu. Reni dengan cekatan mencuci piring serta alat-alat makan, ingin rasanya segera pulang ke rumah. Kebahagiaan yang ada d
"Apakah Purwo di sini, Pak?" tanya Kang Paimin saat baru turun dari kendaraan roda duanya dengan mata menelisik ke segala penjuru.Amarahnya memburu, dadanya kembang kempis menahan rasa yang seakan ingin meledak begitu saja tanpa melihat tempat dan situasinya. Pak Sugi hanya mengangguk menjawab pertanyaan menantu lelakinya itu. Dia paham akan apa yang terjadi, pasti ada sebuah masalah besar yang akan menghampiri. Sebab, sikapnya tidak seperti biasanya. Matanya yang merah serta nafas yang tidak beraturan menandakan sedang tidak baik-baik saja."Anak kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja, hah?!" pekik Kang Paimin saat mendapati Purwo yang hendak keluar rumah. Purwo yang melihat Bapaknya langsung berbalik arah namun, dengan cepat kilat tangan Kang Paimin memegangi pundak Purwo kencang. Sehingga anak sulungnya itu tidak dapat bergerak sama sekali. Kalah tenaga."Tenang, Min, tenang … ada apa ini? Datang-datang kok langsung marah dan main tangan sama anak kamu, Purwo ini anak kamu sen
"Keluarkan aku dari sini, kalian semua si*lan! Keluarkan aku!" teriak Tyo yang berada dalam jeruji."Aku punya Pak Dhe tentara, nanti kalian akan dimarahi karena telah menangkap aku. Keluarkan aku!" imbuhnya dengan berteriak kencang yang memperlihatkan otot-otot tangannya berwarna hijau.Para polisi yang berjaga hanya mengulum senyum mendengar ocehan-ocehan dari Tyo yang terdengar sumbang. Meski sudah berada dalam kerangkeng, namun, kesombongannya masih di perlihatkan."Mau anaknya jendral sekalipun kalau kamu salah, ya, tetap masuk sini. Jangan berisik! Kalau kamu membuat ulah lagi di sini, nanti malah tambah lama. Dengar?!" bentak salah satu petugas yang langsung membuat mulut Tyo bungkam seketika.Kepalanya tertunduk lesu, keringat bercucuran deras membuat nyalinya menciut. Ruangan yang pengap membuatnya kepanasan luar dalam. Menggerutu dengan apa yang barusan terjadi._____"Bagaimana ini, Kang?" tanya Yu Surti gelisah. Anak kesayangan mereka telah masuk ke jeruji besi karena kes
Beberapa tahun kemudian, kehidupan keluarga Pak Sugi serta anak-anaknya aman tentram dan damai. Tiada lagi yang namanya saling hujat dan saling sikut.Mungkin mereka telah lelah dan bosan. Cucu-cucu dari Pak Sugi pun tumbuh dewasa dengan jalan kehidupan mereka masing-masing.Hari ini tersiar kabar kalau Lek Pri akan pulang bersama istrinya yang telah satu tahun di nikahi. Dengan rencana akan melahirkan di rumahnya Lek Pri. Sedang istri Lek Pri dari pulau seberang, karena mereka bertemu dan saling merajut cinta kasih di perantauan dan telah memiliki rumah di perantauan juga. Kebahagiaan terpancar dari wajah Yu Surti, karena beberapa tahun tidak bisa berjumpa dengan sang adik bungsu.Saat lebaran pun, Lek Pri dan Kang Wardi tidak menampakan diri di kampung, tentu dengan berbagai macam alasan yang keluar. Meski hanya mengucapkan salam lewat ponsel, namun, sepertinya rasa yang entah apa namanya itu tidak hadir dalam sanubari mereka. Padahal kalau dipikir, orang tua mereka tinggal satu.
"Jangan kasih makan ikan seperti ini! Bapak tidak suka, apakah kamu mau menyakiti Bapak mertuamu sendiri?" pekik Yu Sarni saat melihat ada ikan asin di dapur. Dilemparnya ikan asin yang baru saja dibeli Lek Ningsih dari tukang sayur keliling.Lek Ningsih memang sengaja membelinya supaya Pak Sugi tidak lagi menggerutu tentang makanan lagi. Sudah cukup Lek Ningsih merasakan sakit hati karena di bicarakan di belakangnya.Mau berkeluh kesah, namun, takut jika nanti di adukan malah masalah besar yang tercipta. Sedang hal seperti itu tidaklah diinginkan oleh Lek Ningsih.Dia tidak tahu mana yang baik di depan juga belakang dan mana yang hanya baik di depannya saja. Sebab, dia orang jauh dari sanak dan keluarga. Sejak bapak mertua serta kakak iparnya membicarakannya di belakang, Lek Ningsih lebih berhati-hati lagi dalam berbicara dan berbuat."Lha terus mau apa, Yu?" tanya Lek Ningsih lembut."Kemarin bukannya sudah diberitahu sama Yu Surti kalau bapak itu maunya makan sama ayam dan daging,
"Aku mau pulang saja, pulang!" pekik Lek Ningsih dengan sekuat tenaga dan air mata berderai tanpa bisa di bendung."Kamu kenapa? Ada apa?" tanya Lek Pri kebingungan.Istrinya yang dahulu kala lembut dan penyayang kini berubah layaknya seorang monster. Mata merah nyalang dan tenaga yang dua kali lipat kuatnya. Perubahan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Lek Pri."Kamu kemarin pergi ke rumah pacar kamu, 'kan? Daripada aku sakit hati di sini, mendingan aku pulang saja! Sudahi pernikahan ini, pulangkan aku pada orang tuaku!" teriak Lek Ningsih dengan sorot mata yang marah.Lek Pri menyugar rambutnya kasar, di usapnya berkali-kali wajahnya. Bingung akan sikap istrinya yang tiba-tiba berubah. "Halah, biarkan saja kalau mau pulang. Biarkan pulang sendiri, Pri! Kayak nggak ada perempuan lain yang lebih cantik saja," timpal Yu Sarni dengan mata melirik."Yu!" bentak Lek Pri. Sedang Yu Sarni yang mendengar bentakan dari adiknya langsung melirik tajam dan mengerucutkan bibirnya hi