Semua barang milik Yu Surti dimuat dalam sebuah truk besar, dari kasur dan perkakas dapur yang menjadi andalannya pun di angkut satu persatu oleh para warga yang membantu.
Tak lupa juga rumah yang menjadi bagiannya yang diminta saat pertama ingin memisahkan diri dari orang tua mereka dibawa serta. Pak Sugi dan Mak Siti tidak ikut serta, mereka hanya mendoakan dari jauh, sebab terlalu ringkih raganya untuk di bawa pergi jauh.Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, semua warga yang ikut membantu membawa satu persatu barang-barang itu turun dari truk."Hati-hati nanti pecah, itu barang mahal!" ucap Yu Surti pada salah satu pemuda yang membawa barang pecah belah."Iya, Yu," balasnya."Kerja kok sambil bercanda, nanti kalau ada apa-apa memang mau tanggung jawab?" ocehnya yang membuat para pemuda saling melirik satu dan yang lainnya.Setelah semua diturunkan, sejenak mereka beristirahat dengan dijamu minuman dan gorengan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan."Kalau di depan mau di tembok, terus yang ini mau ditaruh mana Kang?" tanya Lek Pri dengan mimik serius menunjuk rumah yang di bawa dari orang tuanya."Dapur lah, barang seperti itu ya cocoknya di belakang, itu kalau Bapak nggak maksa, aku juga nggak mau bawa kok," jawab Kang Paimin dengan senyum mengejek.Wajah Lek Pri memerah menahan amarah, namun setelah melihat banyaknya orang yang memandang mereka, dihembuskannya nafasnya kasar.Kang Paimin memang suka berbicara yang bertolak belakang, di depan baik lalu di belakang super tidak baik. Namun demi menjaga nama baik keluarga, Lek Pri terpaksa diam tidak mau membuka mulutnya untuk berdebat."Akhirnya, rumah yang aku impi-impikan terwujud ya, Kang," ujar Yu Surti kepada suaminya yang sedang memeriksa bahan-bahan untuk membuat rumah."Iya, nanti kamu di rumah saja sama anak-anak, aku mau ke pulau seberang lagi, biar nanti rumah kita bertambah megah. Lihat samping kiri kanan kita! Rumahnya sudah bagus-bagus semua Bu," kata Kang Paimin bersemangat.Memang keadaan di kampung Kang Paimin berbeda dengan kampung asli Yu Surti, kebanyakan para penduduk bekerja di pulau seberang demi kesuksesan yang diimpikan. Rumah bagus, kendaraan banyak dan punya hewan ternak."Mau pergi lagi, Kang?" tanya Yu Surti dengan dahi mengkerut.Kang Paimin hanya mengangguk pertanda jawabannya 'iya'."Kenapa ini pecah? Inikan barang mahal sekali, kalian sungguh tidak becus mengangkatnya?" teriak Yu Surti histeris karena kedapatan piring istimewanya pecah menjadi dua bagian.Semua berlarian menuju sumber suara, alhasil Lek Pri hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dari sang kakak. Tanpa bicara, pecahan piring itu di lempar ke tempat sampah oleh Lek Pri, yang membuat kedua mata Yu Surti terbelalak."Kamu gila, Pri?" Dengan sedikit tenaga, Yu Surti mendorong pundak sang adik yang jauh lebih tinggi darinya itu dan mengambil lagi pecahan piring."Inikan mahal, aku belinya saat masih bekerja di pulau seberang. Dari gaji pertama saat kerja dulu, nggak pantas kamu perlakukan seperti ini!" tegasnya dengan intonasi yang tinggi."Seharusnya kamu bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada para pemuda itu karena telah dengan suka rela membantumu pindahan rumah, Yu, bukannya marah-marah dengan hal yang nggak jelas. Piring seperti itu bisa kamu beli lagi di toko gerabah. Jangan mempermalukan dirimu sendiri di depan orang lain!" Tegas Lek Pri yang disetujui oleh Kang Paimin suaminya.Meninggalkan kerumunan itu dengan mulut tak hentinya diam, Yu Surti melihat lagi benda-benda miliknya yang baru turun dari mobil pengangkut. Satu persatu di lihatnya dengan seksama, takut kalau kejadian barusan terulang lagi."Mereka tidak tahu betapa berharganya barang-barang ini yang aku beli dari hasil jerih payah sendiri, bisa-bisanya si Pri juga memarahiku di depan orang banyak," lirih Yu Surti dengan melirik sang adik yang masih sibuk mengambil barang bawaan dari truk."Sudah semuanya, Kang … kami balik, ya?" Teriak Lek Pri saat semua barang telah berpindah posisi. Para warga yang membantu menganggukkan kepala pertanda setuju akan ucapan Lek Pri."Terima kasih semuanya, terima kasih banyak. Maaf ya, tidak di suguhi makanan. Sebab di sini jauh dari warung," kata Kang Paimin dengan menangkupkan kedua tangannya di dada.Semua orang-orang yang membantu menjawab iya, dan kembali naik truk untuk pulang.❤️❤️❤️Brugh. "Apa ini?" tanya Yu Mini saat melihat tiang penyangga jemuran ambruk.Semua pakaian yang belum kering telah bercampur dengan tanah, semakin kotor saat ada ayam melintas dan menginjaknya tanpa permisi. Yu Mini hanya diam mematung tanpa beranjak keluar mengambil jemurannya yang sudah berubah warna. Coklat."Kamu, kalau mau bikin jemuran, jangan di sini! Ini tanah masih milikku, ingat!" seru Yu Sarni dengan lantangnya.Air mata Yu Mini semakin deras dan tidak dapat dibendung lagi. Banjir bak air bah yang tanggulnya telah jebol. "Kenapa malah nangis? Kamu tuli? Seharusnya kamu tahu, kamu di sini itu cuma numpang, iyakan? Numpang sama suami kamu, tahu diri dong. Jangan main pakai hak milik orang lain, mau serakah? Oh, tidak bisa. Selama masih ada saya, kamu tidak akan bisa semena-mena di sini. Paham?" kata Yu Sarni dengan menginjak-injak pakaian yang telah jatuh ke tanah itu, seringainya melebihi hantu kuntilanak.Yu Mini hanya terdiam melihat perilaku sang ipar dengan menyeka air
"Mak, aku akan pergi merantau. Emak di rumah sama Lilik, ya, tolong jaga dia! Nanti kalau ada uang aku akan pulang sebentar untuk melihat putriku itu!" Yu Sarni mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibu, Mak Siti.Memang tidak bisa di pungkiri, kehidupan ekonomi Yu Sarni kurang beruntung. Jika hanya di rumah dan mengandalkan panen dari sawah, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan yang dia mau.Apalagi Lusi sudah sekolah, mau tidak mau Yu Sarni harus berjuang keras untuk menghidupi putri kecilnya itu. Sebab, bapaknya tidak ada kabar mau menafkahi putrinya itu."Iya, Emak akan jaga anak kamu kok," jawab Mak Siti lembut. Mak Siti sudah terbiasa mengasuh cucu-cucunya dari kecil. Anak-anak Yu Surti dari dulu memanglah yang mengasuh adalah Mak Siti. Jadi, tidaklah kaget jika Mak Siti dan Pak Sugi selalu saja diberi beban oleh kedua putrinya itu.Mereka sangat menyayangi cucu-cucunya, namun kasih sayang seorang Kakek dan Nenek itu berbeda jika dengan cucu dari anak-anak lelaki mereka. Entahl
"Apa yang terjadi saat Emak di sawah kemarin, Ren?" tanya Yu Mini kepada putrinya saat selesai belajar.Reni yang kaget dengan pertanyaan sang Emak, hanya terdiam sambil mengemasi buku-buku sekolahnya ke dalam tas. Mata mereka bertemu dan ada gurat kepasrahan di dalamnya."Kenapa diam? Emak sedang berbicara dengan kamu. Ada apa dengan Lek Surti? Kamu buat kesalahan padanya?" ulangnya dengan menatap putrinya yang kelihatan gelisah itu.Reni hendak berbohong kalau tidak terjadi apa-apa, namun hati kecilnya sulit sekali untuk tidak bicara jujur kepada sang Emak. Ingin jujur atas kelakuan Bu Leknya, namun takut kalau terjadi permusuhan antar saudara."Ren ….""Berjanji, ya, Mak … Emak jangan bertengkar dengan Lek Surti kalau Reni bicara jujur! Janji, ya, Mak!" Reni bersimpuh di kaki Emaknya dengan berlinang air mata.Takut kalau Emaknya gaduh dengan iparnya yang sangat kejam itu, takut karena tidak akan ada yang membela. Sebab, Bapaknya sedang bekerja jauh di rantau orang.Mak Siti? Pak S
"Heh, bocah dekil! Apa yang kamu lakukan terhadap Purwo, hah!" pekik Yu Surti dengan menggedor pintu seperti orang yang hendak merampok rumah.Keras. Tanpa salam, Yu Surti masih berteriak kencang dengan suara yang menggema. Seolah dialah orang yang paling keras bicaranya.Yu Mini yang baru selesai mengadu terhadap sang penciptaNya, kaget bukan kepalang mendengar gedoran pintu yang hendak lepas dari penyangganya."Assalamualaikum, Dek …" suara Yu Mini terputus karena Yu Surti masih mencerocos saja tanpa henti.Meski Yu Mini mengucapkan salam, namun dia enggan menjawabnya. Matanya malah tambah membesar saat melihat Reni yang sedang duduk santai sambil membaca buku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.Sesekali Reni mengunyah keripik singkong buatan Emaknya dengan suara yang dibuat-buat. Yang membuat hati Yu Surti semakin dongkol dan ingin ikut mengunyah Reni utuh."Heh, Reni, kamu budek, ya? Dari tadi aku gedor pintu kamu, kenapa tidak di buka? Aku juga memanggilmu, tapi kenapa kamu tid
"Mana rumahnya? Yang inikah? Tapi … sepertinya bukan orang sini, soalnya saat aku main ke rumahnya Reni, aku tidak pernah melihatnya," suara segerombolan orang saat tengah malam mengagetkan Kang Tarjo dan berusaha mengintip lewat celah dinding bambunya.Sekitar enam orang dengan mengendarai sepeda motor, para pemuda itu menunjuk rumah Pak Sugi sambil setengah berbisik.Memang malam ini ada hiburan musik di desa sebelah, menjadi kebiasaan pemuda-pemuda itu jika ada salah paham pasti akan terjadi tawuran yang akan mengakibatkan kerugian.Yu Mini yang hendak sholat malam berhenti sejenak saat melihat suaminya sedang mengintip ke luar. Penasaran."Ada apa, Pak?" berbisik, Yu Mini bertanya kepada Kang Tarjo.Kang Tarjo tidak menjawab, hanya menempelkan jemari telunjuknya ke depan bibir. Isyarat agar Yu Mini diam."Kurang ajar sekali dia, omongannya terlalu tinggi. Untung saja tadi dia kabur, kalau tidak … habislah," kata salah satu pemuda yang berdiri mondar-mandir di depan rumah Pak Sugi.
Suasana tentram dirasakan keluarga Kang Tarjo, karena para biang rusuh telah pergi dari kediaman Pak Sugi. Purwo serta Tyo pun turut pergi dari sana, sehingga tidak ada niat lagi untuk membalas perbuatan Purwo waktu itu oleh Reni.Reni memang berniat ingin membalas perbuatan Purwo, namun, urung karena dengan sendirinya mereka semua pulang ke rumah barunya yang telah berdiri dengan megah."Tarjo, tolong kamu bantu-bantu di sawah, sebentar lagi panen. Nanti kalau sudah selesai, ambil saja satu karung padi untukmu!" pinta Pak Sugi saat malam tiba. Pak Sugi memang sering berkunjung ke rumah Kang Tarjo saat malam, hanya sekedar bersenda gurau dan bersantai saja dengan anaknya yang kebetulan berada dekat dengan rumahnya.Atau memang hanya ingin meminta kopi hangat, karena jika di rumahnya sendiri. Yu Sarni tidak pernah membuatkannya."Iya, Pak. Memangnya sawah mana yang mau dipanen lebih dulu?" tanya Kang Tarjo dengan menyesap kopi buatan istrinya.Yu Mini pun menyediakan kopi buat mertuan
"Mbah Siti, ini mata saya, Mbah!" Yu Mini terperanjat saat melihat mertua perempuannya menyodorkan satu ekor ikan bandeng tepat di depan matanya. Di dorongnya ikan itu terus, hingga Yu Mini bangkit dari posisi jongkoknya yang sedang memilih sayuran.Mak Siti pagi ini belanja karena ada orang sedang menanam padi di sawahnya. Jadi untuk membuat sarapan terpaksa dia belanja sendiri, karena Yu Sarni dan Yu Surti pun ikut menanam padi.Seperti tidak sepenuhnya melihat sempurna, Mak Siti tanpa sengaja memberikan seekor ikan itu tepat menyentuh mata kanan Yu Mini.Semua orang yang melihat kebingungan, entah kenapa Mak Siti seperti itu. Apa mungkin matanya yang sebelah kanan kambuh? Sebab, matanya Mak Siti memang divonis buta sebelah oleh dokter.Tiba-tiba Mak Siti luruh ke tanah, yang langsung ditangkap oleh Mbah Kini beserta Yu Mini dengan sigapnya."Kepalaku pusing, Mini. Tolong aku!" lirih Mak Siti membuat semua yang berada di sampingnya khawatir.Tubuh ringkih itu di bopong Yu Mini dan b
"Mini, Mini … cepat kamu bersihkan rumah Bapak!" perintah Kang Tarjo saat melihat istrinya hendak mengambilnya air di sumur.Tergesa Kang Tarjo berbicara dengan istrinya, raut wajahnya berubah, seakan ada sesuatu yang dipendam."Ada apa, Kang?" tanya Yu Mini saat melihat manik sang suami menitikkan air mata. "Emak telah berpulang," Tangisnya sudah tidak terbendung.Air mata yang ditahan akhirnya jebol juga, jantung Yu Mini berdebar, tangannya bergetar dan tubuhnya nyaris ambruk. "Barusan Paimin dari sana, dan mengabarkan kalau Emak sudah tidak dapat tertolong, sekarang dalam perjalanan, ayo bersihkan rumahnya!" ajak Kang Tarjo dengan menggandeng tangan istrinya.Pak Sugi yang hendak ke rumah Kang Tarjo berhenti saat melihat pasangan suami istri itu hendak keluar bergandeng. "Mau kemana?" Pertanyaan Pak Sugi membuat Kang Tarjo berjingkat kaget. Debaran jantungnya serasa berirama tanpa jeda, raut wajahnya pasi. Berfikir tentang kalimat apa yang akan dikatakan kepada bapaknya."Pak …