Kang Paimin pulang dengan perasaan yang sangat bahagia, menemui Yu Surti istrinya. Kedua anak Kang Paimin terlihat biasa-biasa saja melihat bapaknya pulang dari rantau meski lama tidak bertemu.
Sebab dari kecil hingga beranjak remaja, kedua anaknya di rawat oleh Pak Sugi dan Mak Siti. Bahkan, kadang jika sang bapaknya pulang justru perselisihanlah yang menyambutnya.Kang Paimin jika marah akan memukuli anaknya tanpa ampun, hingga terkadang mengundang perdebatan antara dirinya dengan sang mertua Pak Sugi."Besok kita buat rumah, di desaku. Warisan sudah dibagi, aku mendapatkan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan dua petak sawah. Lebih dari cukup, daripada tanah warisan dari orang tuamu, jauh lebih lebar milikku." Kang Paimin bicara dengan menggebu, mengungkapkan semua hasil musyawarah dari saudara-saudaranya."Yakin Kang?" tanya Yu Surti kurang percaya terhadap suaminya sendiri.Dengan menggeser posisi duduknya, Yu Surti bertanya sekali lagi atas kabar baik yang dibawa suaminya itu dengan mendengarkan secara seksama."Aku nggak mimpi 'kan Kang?" tanyanya mengulangi."Kenapa tidak? Orang tuaku jauh lebih kaya dari orang tuamu, besok kita sudah bisa membangun. Uang yang kita tabung sudah lumayan banyak kok, apa kamu nggak malu kalau si Tarjo saja bisa punya rumah, kok kamu masih numpang saja disini? Minta sapi satu sama bapakmu sana, buat tambahan bikin rumah kita," ucapnya dengan senyum miring.Akhirnya mereka berdua mengutarakan maksudnya kepada Pak Sugi dan Mak Siti. Kedua orang tua Yu Surti menyetujui niat mereka untuk segera berpisah dari mereka, dan tentunya Yu Surti meminta bantuan agar rumahnya segera dibangun. Apalagi kalau bukan bantuan uang?"Pak, aku mau mendirikan rumah juga, tapi bukan di sini. Kang Paimin sudah dapat bagian warisan dari orang tuanya, nanti bapak sumbang ya, sebab rumahku nanti mau aku tembok pakai bata biar hangat dan nyaman," pinta Yu Surti saat Pak Sugi sedang mengasah sabit."Yakin mau di sana, Surti?" tanya Pak Sugi dengan menghentikan aktivitasnya.Yu Surti mengangguk berulang kali dan senyum manis terukir di bibirnya yang nampak sedikit tebal itu. Senyum bahagia."Yakin Pak, tadi siang Kang Paimin mengajakku berunding tentang itu. Dia mendapatkan bagian di tempatnya sana, nanti aku minta rumah yang belakang itu satu ya, sama sapi itu, Pak?" bujuknya dengan menunjuk ke arah rumah bagian belakang yang diinginkan."Tapi ….""Terima kasih Pak, nanti aku tak cari hari baik dulu untuk mencabutnya dan dibawa ke tempat Kang Paimin." Yu Surti berlalu dengan senyum mengembangnya.Pak Sugi terpaksa menyanggupi, padahal waktu Kang Tarjo membangun rumah, mereka tidak sepeserpun membantu. Karena lidah Yu Surti sangat lincah, maka orang tuanya tidak sanggup untuk tidak bilang tidak. Tragis.Rumah Pak Sugi ada dua bagian, depan sebagai ruang tamu dan tempat menyimpan padi lalu rumah bagian belakang sebagai tempat tidur. Untuk dapur ada disamping kanan belakang sedang kandang sapi ada di depan dapur."Kamu disini saja Sarni, jaga orang tua kita, toh si Pri juga jarang di rumah. Selalu saja pergi kerja jauh, lagian kamu 'kan anak Emak dan Bapak yang paling disayang?" kelakar Yu Surti pada adik perempuannya Yu Sarni."Kalau nggak di sini terus mau kemana? Ke bulan?" ucap Yu Sarni sambil memajukan bibirnya yang seksi.Di kamar Yu Surti dan Kang Paimin membicarakan akan hal yang sudah di utarakan sama Pak Sugi. Dengan senyum licik, Kang Paimin berujar kalau itu memang haknya juga."Kita akan segera punya rumah yang bagus, melebihi Kang Tarjo," seloroh Kang Paimin."Saudara-saudaraku juga mau membantu kita buat bikin rumah, katanya sih nyumbang. Aku sudah bilang masalah bahan seperti semen, bata serta besi saja kalau mau nyumbang. Sebab, bahan yang lain sudah aku beli semua." Kang Paimin sangat bahagia bisa membuat rumah dengan mewah pada zamannya.Saat itu, membuat rumah dengan batu bata sudah termasuk golongan orang yang kaya. Apalagi Kang Paimin, orangnya sangat suka dengan hal yang ingin disanjung oleh orang lain. Dia tidak mau kalah dengan siapapun, apalagi keluarganya. Selalu merasa ingin lebih unggul dari yang lain."Saudara-saudaraku itu orang kaya semua, pasti mereka akan membantu. Pasti itu," ucap Kang Paimin yakin."Kamu lihat sendiri 'kan, rumah-rumah mereka, nggak ada yang berdindingkan bambu. Semuanya berlantai keramik, punya kendaraan, beda dengan Kakak-kakakmu."Yu Surti yang merasa terpojok dengan ucapan suaminya hanya diam tanpa suara. Melirik pun enggan, tangannya sibuk memelintir ujung pakaian yang di pakai dengan sesekali menghembuskan nafas panjangnya."Kang, aku hamil lagi," kata Yu Surti setengah berbisik."Hah, apa? Rumah saja belum jadi kok malah hamil lagi?" jawabnya dengan nada ketus."Ya, mau bagaimana lagi. Sudah tiga bulan, Kang."Tanpa menjawab ucapan istrinya, Kang Paimin beranjak keluar rumah, untuk menghirup udara malam yang semilir karena hembusan angin dari sawah.Rumah dengan dua bangunan berjejer akan menjadi tempat terindah yang dimiliki oleh Kang Paimin selalu terbayang-bayang dipikirannya, hingga tanpa disadari sang istri, Kang Paimin senyum-senyum sendiri dari tadi."Kang …" Yu Surti mengikuti langkah suaminya yang dengan sesekali mengeluarkan asap dari dalam hidungnya."Ya sudahlah, mau apalagi, nggak apalah, jaga diri baik-baik dan bayi kita itu. Semoga saja perempuan, aku sudah punya anak laki-laki dua."Mengangguk dengan sesekali terisak Yu Surti menanggapi ucapan suaminya itu. Kelegaan hadir dalam hati sanubarinya mendengar kalimat terakhir sang suami.'Akhirnya, dia mau juga menerima anak yang aku kandung ini,' batin Yu Surti.❤️❤️❤️Bersambung ...Semua barang milik Yu Surti dimuat dalam sebuah truk besar, dari kasur dan perkakas dapur yang menjadi andalannya pun di angkut satu persatu oleh para warga yang membantu. Tak lupa juga rumah yang menjadi bagiannya yang diminta saat pertama ingin memisahkan diri dari orang tua mereka dibawa serta. Pak Sugi dan Mak Siti tidak ikut serta, mereka hanya mendoakan dari jauh, sebab terlalu ringkih raganya untuk di bawa pergi jauh.Perjalanan memakan waktu sekitar lima belas menit, semua warga yang ikut membantu membawa satu persatu barang-barang itu turun dari truk."Hati-hati nanti pecah, itu barang mahal!" ucap Yu Surti pada salah satu pemuda yang membawa barang pecah belah."Iya, Yu," balasnya."Kerja kok sambil bercanda, nanti kalau ada apa-apa memang mau tanggung jawab?" ocehnya yang membuat para pemuda saling melirik satu dan yang lainnya.Setelah semua diturunkan, sejenak mereka beristirahat dengan dijamu minuman dan gorengan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan."Kalau di
Brugh. "Apa ini?" tanya Yu Mini saat melihat tiang penyangga jemuran ambruk.Semua pakaian yang belum kering telah bercampur dengan tanah, semakin kotor saat ada ayam melintas dan menginjaknya tanpa permisi. Yu Mini hanya diam mematung tanpa beranjak keluar mengambil jemurannya yang sudah berubah warna. Coklat."Kamu, kalau mau bikin jemuran, jangan di sini! Ini tanah masih milikku, ingat!" seru Yu Sarni dengan lantangnya.Air mata Yu Mini semakin deras dan tidak dapat dibendung lagi. Banjir bak air bah yang tanggulnya telah jebol. "Kenapa malah nangis? Kamu tuli? Seharusnya kamu tahu, kamu di sini itu cuma numpang, iyakan? Numpang sama suami kamu, tahu diri dong. Jangan main pakai hak milik orang lain, mau serakah? Oh, tidak bisa. Selama masih ada saya, kamu tidak akan bisa semena-mena di sini. Paham?" kata Yu Sarni dengan menginjak-injak pakaian yang telah jatuh ke tanah itu, seringainya melebihi hantu kuntilanak.Yu Mini hanya terdiam melihat perilaku sang ipar dengan menyeka air
"Mak, aku akan pergi merantau. Emak di rumah sama Lilik, ya, tolong jaga dia! Nanti kalau ada uang aku akan pulang sebentar untuk melihat putriku itu!" Yu Sarni mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibu, Mak Siti.Memang tidak bisa di pungkiri, kehidupan ekonomi Yu Sarni kurang beruntung. Jika hanya di rumah dan mengandalkan panen dari sawah, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan yang dia mau.Apalagi Lusi sudah sekolah, mau tidak mau Yu Sarni harus berjuang keras untuk menghidupi putri kecilnya itu. Sebab, bapaknya tidak ada kabar mau menafkahi putrinya itu."Iya, Emak akan jaga anak kamu kok," jawab Mak Siti lembut. Mak Siti sudah terbiasa mengasuh cucu-cucunya dari kecil. Anak-anak Yu Surti dari dulu memanglah yang mengasuh adalah Mak Siti. Jadi, tidaklah kaget jika Mak Siti dan Pak Sugi selalu saja diberi beban oleh kedua putrinya itu.Mereka sangat menyayangi cucu-cucunya, namun kasih sayang seorang Kakek dan Nenek itu berbeda jika dengan cucu dari anak-anak lelaki mereka. Entahl
"Apa yang terjadi saat Emak di sawah kemarin, Ren?" tanya Yu Mini kepada putrinya saat selesai belajar.Reni yang kaget dengan pertanyaan sang Emak, hanya terdiam sambil mengemasi buku-buku sekolahnya ke dalam tas. Mata mereka bertemu dan ada gurat kepasrahan di dalamnya."Kenapa diam? Emak sedang berbicara dengan kamu. Ada apa dengan Lek Surti? Kamu buat kesalahan padanya?" ulangnya dengan menatap putrinya yang kelihatan gelisah itu.Reni hendak berbohong kalau tidak terjadi apa-apa, namun hati kecilnya sulit sekali untuk tidak bicara jujur kepada sang Emak. Ingin jujur atas kelakuan Bu Leknya, namun takut kalau terjadi permusuhan antar saudara."Ren ….""Berjanji, ya, Mak … Emak jangan bertengkar dengan Lek Surti kalau Reni bicara jujur! Janji, ya, Mak!" Reni bersimpuh di kaki Emaknya dengan berlinang air mata.Takut kalau Emaknya gaduh dengan iparnya yang sangat kejam itu, takut karena tidak akan ada yang membela. Sebab, Bapaknya sedang bekerja jauh di rantau orang.Mak Siti? Pak S
"Heh, bocah dekil! Apa yang kamu lakukan terhadap Purwo, hah!" pekik Yu Surti dengan menggedor pintu seperti orang yang hendak merampok rumah.Keras. Tanpa salam, Yu Surti masih berteriak kencang dengan suara yang menggema. Seolah dialah orang yang paling keras bicaranya.Yu Mini yang baru selesai mengadu terhadap sang penciptaNya, kaget bukan kepalang mendengar gedoran pintu yang hendak lepas dari penyangganya."Assalamualaikum, Dek …" suara Yu Mini terputus karena Yu Surti masih mencerocos saja tanpa henti.Meski Yu Mini mengucapkan salam, namun dia enggan menjawabnya. Matanya malah tambah membesar saat melihat Reni yang sedang duduk santai sambil membaca buku tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.Sesekali Reni mengunyah keripik singkong buatan Emaknya dengan suara yang dibuat-buat. Yang membuat hati Yu Surti semakin dongkol dan ingin ikut mengunyah Reni utuh."Heh, Reni, kamu budek, ya? Dari tadi aku gedor pintu kamu, kenapa tidak di buka? Aku juga memanggilmu, tapi kenapa kamu tid
"Mana rumahnya? Yang inikah? Tapi … sepertinya bukan orang sini, soalnya saat aku main ke rumahnya Reni, aku tidak pernah melihatnya," suara segerombolan orang saat tengah malam mengagetkan Kang Tarjo dan berusaha mengintip lewat celah dinding bambunya.Sekitar enam orang dengan mengendarai sepeda motor, para pemuda itu menunjuk rumah Pak Sugi sambil setengah berbisik.Memang malam ini ada hiburan musik di desa sebelah, menjadi kebiasaan pemuda-pemuda itu jika ada salah paham pasti akan terjadi tawuran yang akan mengakibatkan kerugian.Yu Mini yang hendak sholat malam berhenti sejenak saat melihat suaminya sedang mengintip ke luar. Penasaran."Ada apa, Pak?" berbisik, Yu Mini bertanya kepada Kang Tarjo.Kang Tarjo tidak menjawab, hanya menempelkan jemari telunjuknya ke depan bibir. Isyarat agar Yu Mini diam."Kurang ajar sekali dia, omongannya terlalu tinggi. Untung saja tadi dia kabur, kalau tidak … habislah," kata salah satu pemuda yang berdiri mondar-mandir di depan rumah Pak Sugi.
Suasana tentram dirasakan keluarga Kang Tarjo, karena para biang rusuh telah pergi dari kediaman Pak Sugi. Purwo serta Tyo pun turut pergi dari sana, sehingga tidak ada niat lagi untuk membalas perbuatan Purwo waktu itu oleh Reni.Reni memang berniat ingin membalas perbuatan Purwo, namun, urung karena dengan sendirinya mereka semua pulang ke rumah barunya yang telah berdiri dengan megah."Tarjo, tolong kamu bantu-bantu di sawah, sebentar lagi panen. Nanti kalau sudah selesai, ambil saja satu karung padi untukmu!" pinta Pak Sugi saat malam tiba. Pak Sugi memang sering berkunjung ke rumah Kang Tarjo saat malam, hanya sekedar bersenda gurau dan bersantai saja dengan anaknya yang kebetulan berada dekat dengan rumahnya.Atau memang hanya ingin meminta kopi hangat, karena jika di rumahnya sendiri. Yu Sarni tidak pernah membuatkannya."Iya, Pak. Memangnya sawah mana yang mau dipanen lebih dulu?" tanya Kang Tarjo dengan menyesap kopi buatan istrinya.Yu Mini pun menyediakan kopi buat mertuan
"Mbah Siti, ini mata saya, Mbah!" Yu Mini terperanjat saat melihat mertua perempuannya menyodorkan satu ekor ikan bandeng tepat di depan matanya. Di dorongnya ikan itu terus, hingga Yu Mini bangkit dari posisi jongkoknya yang sedang memilih sayuran.Mak Siti pagi ini belanja karena ada orang sedang menanam padi di sawahnya. Jadi untuk membuat sarapan terpaksa dia belanja sendiri, karena Yu Sarni dan Yu Surti pun ikut menanam padi.Seperti tidak sepenuhnya melihat sempurna, Mak Siti tanpa sengaja memberikan seekor ikan itu tepat menyentuh mata kanan Yu Mini.Semua orang yang melihat kebingungan, entah kenapa Mak Siti seperti itu. Apa mungkin matanya yang sebelah kanan kambuh? Sebab, matanya Mak Siti memang divonis buta sebelah oleh dokter.Tiba-tiba Mak Siti luruh ke tanah, yang langsung ditangkap oleh Mbah Kini beserta Yu Mini dengan sigapnya."Kepalaku pusing, Mini. Tolong aku!" lirih Mak Siti membuat semua yang berada di sampingnya khawatir.Tubuh ringkih itu di bopong Yu Mini dan b