Share

BAB 4 HAMIL

Kang Paimin pulang dengan perasaan yang sangat bahagia, menemui Yu Surti istrinya. Kedua anak Kang Paimin terlihat biasa-biasa saja melihat bapaknya pulang dari rantau meski lama tidak bertemu.

Sebab dari kecil hingga beranjak remaja, kedua anaknya di rawat oleh Pak Sugi dan Mak Siti. Bahkan, kadang jika sang bapaknya pulang justru perselisihanlah yang menyambutnya.

Kang Paimin jika marah akan memukuli anaknya tanpa ampun, hingga terkadang mengundang perdebatan antara dirinya dengan sang mertua Pak Sugi.

"Besok kita buat rumah, di desaku. Warisan sudah dibagi, aku mendapatkan sebidang tanah untuk dibangun rumah dan dua petak sawah. Lebih dari cukup, daripada tanah warisan dari orang tuamu, jauh lebih lebar milikku." Kang Paimin bicara dengan menggebu, mengungkapkan semua hasil musyawarah dari saudara-saudaranya.

"Yakin Kang?" tanya Yu Surti kurang percaya terhadap suaminya sendiri.

Dengan menggeser posisi duduknya, Yu Surti bertanya sekali lagi atas kabar baik yang dibawa suaminya itu dengan mendengarkan secara seksama.

"Aku nggak mimpi 'kan Kang?" tanyanya mengulangi.

"Kenapa tidak? Orang tuaku jauh lebih kaya dari orang tuamu, besok kita sudah bisa membangun. Uang yang kita tabung sudah lumayan banyak kok, apa kamu nggak malu kalau si Tarjo saja bisa punya rumah, kok kamu masih numpang saja disini? Minta sapi satu sama bapakmu sana, buat tambahan bikin rumah kita," ucapnya dengan senyum miring.

Akhirnya mereka berdua mengutarakan maksudnya kepada Pak Sugi dan Mak Siti. Kedua orang tua Yu Surti menyetujui niat mereka untuk segera berpisah dari mereka, dan tentunya Yu Surti meminta bantuan agar rumahnya segera dibangun. Apalagi kalau bukan bantuan uang?

"Pak, aku mau mendirikan rumah juga, tapi bukan di sini. Kang Paimin sudah dapat bagian warisan dari orang tuanya, nanti bapak sumbang ya, sebab rumahku nanti mau aku tembok pakai bata biar hangat dan nyaman," pinta Yu Surti saat Pak Sugi sedang mengasah sabit.

"Yakin mau di sana, Surti?" tanya Pak Sugi dengan menghentikan aktivitasnya.

Yu Surti mengangguk berulang kali dan senyum manis terukir di bibirnya yang nampak sedikit tebal itu. Senyum bahagia.

"Yakin Pak, tadi siang Kang Paimin mengajakku berunding tentang itu. Dia mendapatkan bagian di tempatnya sana, nanti aku minta rumah yang belakang itu satu ya, sama sapi itu, Pak?" bujuknya dengan menunjuk ke arah rumah bagian belakang yang diinginkan.

"Tapi …."

"Terima kasih Pak, nanti aku tak cari hari baik dulu untuk mencabutnya dan dibawa ke tempat Kang Paimin." Yu Surti berlalu dengan senyum mengembangnya.

Pak Sugi terpaksa menyanggupi, padahal waktu Kang Tarjo membangun rumah, mereka tidak sepeserpun membantu. Karena lidah Yu Surti sangat lincah, maka orang tuanya tidak sanggup untuk tidak bilang tidak. Tragis.

Rumah Pak Sugi ada dua bagian, depan sebagai ruang tamu dan tempat menyimpan padi lalu rumah bagian belakang sebagai tempat tidur. Untuk dapur ada disamping kanan belakang sedang kandang sapi ada di depan dapur.

"Kamu disini saja Sarni, jaga orang tua kita, toh si Pri juga jarang di rumah. Selalu saja pergi kerja jauh, lagian kamu 'kan anak Emak dan Bapak yang paling disayang?" kelakar Yu Surti pada adik perempuannya Yu Sarni.

"Kalau nggak di sini terus mau kemana? Ke bulan?" ucap Yu Sarni sambil memajukan bibirnya yang seksi.

Di kamar Yu Surti dan Kang Paimin membicarakan akan hal yang sudah di utarakan sama Pak Sugi. Dengan senyum licik, Kang Paimin berujar kalau itu memang haknya juga.

"Kita akan segera punya rumah yang bagus, melebihi Kang Tarjo," seloroh Kang Paimin.

"Saudara-saudaraku juga mau membantu kita buat bikin rumah, katanya sih nyumbang. Aku sudah bilang masalah bahan seperti semen, bata serta besi saja kalau mau nyumbang. Sebab, bahan yang lain sudah aku beli semua." Kang Paimin sangat bahagia bisa membuat rumah dengan mewah pada zamannya.

Saat itu, membuat rumah dengan batu bata sudah termasuk golongan orang yang kaya. Apalagi Kang Paimin, orangnya sangat suka dengan hal yang ingin disanjung oleh orang lain. Dia tidak mau kalah dengan siapapun, apalagi keluarganya. Selalu merasa ingin lebih unggul dari yang lain.

"Saudara-saudaraku itu orang kaya semua, pasti mereka akan membantu. Pasti itu," ucap Kang Paimin yakin.

"Kamu lihat sendiri 'kan, rumah-rumah mereka, nggak ada yang berdindingkan bambu. Semuanya berlantai keramik, punya kendaraan, beda dengan Kakak-kakakmu."

Yu Surti yang merasa terpojok dengan ucapan suaminya hanya diam tanpa suara. Melirik pun enggan, tangannya sibuk memelintir ujung pakaian yang di pakai dengan sesekali menghembuskan nafas panjangnya.

"Kang, aku hamil lagi," kata Yu Surti setengah berbisik.

"Hah, apa? Rumah saja belum jadi kok malah hamil lagi?" jawabnya dengan nada ketus.

"Ya, mau bagaimana lagi. Sudah tiga bulan, Kang."

Tanpa menjawab ucapan istrinya, Kang Paimin beranjak keluar rumah, untuk menghirup udara malam yang semilir karena hembusan angin dari sawah.

Rumah dengan dua bangunan berjejer akan menjadi tempat terindah yang dimiliki oleh Kang Paimin selalu terbayang-bayang dipikirannya, hingga tanpa disadari sang istri, Kang Paimin senyum-senyum sendiri dari tadi.

"Kang …" Yu Surti mengikuti langkah suaminya yang dengan sesekali mengeluarkan asap dari dalam hidungnya.

"Ya sudahlah, mau apalagi, nggak apalah, jaga diri baik-baik dan bayi kita itu. Semoga saja perempuan, aku sudah punya anak laki-laki dua."

Mengangguk dengan sesekali terisak Yu Surti menanggapi ucapan suaminya itu. Kelegaan hadir dalam hati sanubarinya mendengar kalimat terakhir sang suami.

'Akhirnya, dia mau juga menerima anak yang aku kandung ini,' batin Yu Surti.

❤️❤️❤️

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status