Share

BAB 7 KEJAM

"Mak, aku akan pergi merantau. Emak di rumah sama Lilik, ya, tolong jaga dia! Nanti kalau ada uang aku akan pulang sebentar untuk melihat putriku itu!" Yu Sarni mengutarakan maksud hatinya kepada sang ibu, Mak Siti.

Memang tidak bisa di pungkiri, kehidupan ekonomi Yu Sarni kurang beruntung. Jika hanya di rumah dan mengandalkan panen dari sawah, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan yang dia mau.

Apalagi Lusi sudah sekolah, mau tidak mau Yu Sarni harus berjuang keras untuk menghidupi putri kecilnya itu. Sebab, bapaknya tidak ada kabar mau menafkahi putrinya itu.

"Iya, Emak akan jaga anak kamu kok," jawab Mak Siti lembut.

Mak Siti sudah terbiasa mengasuh cucu-cucunya dari kecil. Anak-anak Yu Surti dari dulu memanglah yang mengasuh adalah Mak Siti. Jadi, tidaklah kaget jika Mak Siti dan Pak Sugi selalu saja diberi beban oleh kedua putrinya itu.

Mereka sangat menyayangi cucu-cucunya, namun kasih sayang seorang Kakek dan Nenek itu berbeda jika dengan cucu dari anak-anak lelaki mereka. Entahlah, mungkin sudah menjadi tradisi kalau Kakek Nenek dari pihak Bapak akan terasa jauh.

"Sekalian aku mau beli pakaian di pasar besar untuk nanti aku jual di sana, biar untuk tambah-tambah simpanan. Jadi agak sedikit ringan kerjaannya," kata Yu Sarni dengan duduk di kursi tamu.

"Punya uang nggak, Ni?" tanya Mak Siti serius.

"Nah, 'kan ada gabah, aku mau jual dua karung buat modal dan biaya ke sana," ucapnya enteng.

Mak Siti hanya menggelengkan kepalanya pelan, dengan sesekali memasukkan susurnya ke dalam mulut.

Menjadi kebiasaan Mak Siti, jika ada warna merah-merah di lantai beralaskan tanah itu adalah ludah yang dihasilkannya dari sirih yang selalu di kunyahnya.

Permintaan Yu Sarni tidak pernah ditolak oleh Mak Siti, selalu dikabulkan. Itu yang membuat Yu Sarni besar kepala di dalam keluarganya.

❤️❤️❤️

"Mbah, Ibu dimana?" tanya Lusi kecil saat mengetahui tidak ada ibunya di sampingnya.

"Pergi beli kacang atom, nanti kalau sudah banyak, pasti pulang. Kamu di rumah sama Mbah saja, ya," hibur Mak Siti dengan mengelus lembut rambut keriting Lusi, gadis kecil yang menginjak remaja itu.

Kasih sayang seorang Bapak tidak diterima Lusi karena perpisahan kedua orang tuanya yang saling memegang teguh keegoisan masing-masing.

Sedari balita, dia ditinggalkan oleh sosok seorang Bapak. Sehingga masa kanak-kanaknya dinikmati bersama sang kakek dan nenek dari pihak ibu.

Mak Siti juga Pak Sugi begitu menyayangi cucu termudanya itu dengan penuh kasih sayang yang tak ternilai.

Akan tetapi, kasih sayang kepada cucunya hanya sebelah saja. Sedang pada cucu dari anak lelaki Pak Sugi dan Mak Siti, tidak pernah diterima oleh cucu-cucunya.

Entah apa alasannya, kurang dipahami oleh para menantu wanita.

"Ren, Lusi biar ikut main dengan kalian. Jangan di nakalin, kasihan. Dia tidak punya bapak dan ibunya pun pergi jauh, ingat!" kata Mak Siti suatu saat ketika melihat Lusi kecil pulang dengan tangisnya.

"Iya, Mbah … aku tidak nakal kok sama Lusi. Dia tadi main sama Didik, bukan denganku." Reni meremas jarinya sendiri karena rasa takut yang menjalar.

Reni tahu, apapun yang dia katakan pasti akan salah dan tidak di percaya oleh neneknya itu. Sehingga membantah pun tidak akan ada gunanya, dia berlari menjauh dan pergi bermain bersama teman-teman sebayanya.

❤️❤️❤️

"Heh, Reni … sini kamu!" teriak Yu Surti dengan lantangnya.

Reni yang bermain dengan sahabatnya, mendekati Yu Surti dengan ketakutan yang membara.

"Aduh … sakit Lek … sakit …" Reni menangis kencang dengan sesekali memegangi telinganya yang di jewer oleh Bu Leknya sendiri. Lek Surti.

Tangisannya pecah, saat Yu Surti menjatuhkan tubuh kecil Reni ke tanah dan menginjak jemarinya. Seringai Yu Surti

semakin menakutkan, saat melihat ada sedikit darah yang keluar dari lutut Reni.

Sesenggukan dengan mengelap ingus yang keluar dari hidungnya, Reni memohon ampun untuk menyudahi perbuatan keji Yu Surti. Namun, buka Yu Surti namanya kalau menuruti permintaan keponakannya itu.

Rambutnya yang ikal dijambak lalu dihentakkan ke tanah. Wajah gadis berkulit kuning Langsat itu kotor penuh tanah karena basah oleh air mata.

"Berhenti! Cukup!" teriak Mak Siti saat melihat keganasan putrinya.

"Kenapa kamu siksa keponakanmu? Dia masih kecil, Surti." Dipapahnya untuk berdiri cucunya itu dengan sedikit tenaga yang kurang, sebab tubuh tuanya tidak kuat menahan berat badan seorang gadis remaja itu.

Mata nyalang Yu Surti membuat Reni ketakutan dan beringsut mundur, bersembunyi di balik tubuh sang nenek, Mak Siti.

"Anak kurang ajar seperti dia, seharusnya dibuat kapok, Mak!" lantang Yu Surti tak kalah dari Mak Siti.

Menggelegar bak petir yang menyambar saat hujan hendak turun. Bergemuruh, layaknya badai akan datang dan menyapa siapapun yang menghalanginya.

"Apa salahnya, Ti? Apa? Kamu itu sudah tidak waras, ya? Anak kecil saja kamu musuhi, sadar, Ti … sadar!" ucap Mak Siti dengan mengelus lembut pundak anaknya.

"Dia hendak mengambil bunga yang aku tanam itu, Mak! Gil* itu anak, dasar miskin!" hardiknya yang membuat Reni menangis sambil berlari pulang ke rumahnya.

"Kamu membuat masalah dengan saudaramu sendiri, Ti. Itu akibat hatimu yang telah tertutup oleh rasa hormat kepada yang lebih tua." Mak Siti berlari kecil mengikuti Reni yang pulang dengan penuh kesedihan.

Pintu di tutup rapat oleh Reni dari dalam, sehingga Mak Siti tidak bisa masuk. Dengan mengetuk pelan pintu serta membujuk dengan kalimat yang menenangkan, masih saja tidak bergeming hati Reni untuk membukanya.

Reni menangis di kamar dan menumpahkan segala rasa sakit di hati. Beruntung ibunya tidak berada di rumah, sehingga Reni bisa leluasa meraung-raung melepas segalanya.

"Ren … buka pintunya, Nduk! Embah, mau bicara sebentar!" bujuk Mak Siti dengan lembut.

Bukannya membukakan pintu untuk sang nenek, Reni justru berteriak meminta Mak Siti pulang dan jangan lagi ke rumahnya. Ego sang remaja menguasai hati, sehingga kebencian tertanam lewat perbuatan yang di terimanya.

"Pulang saja, Mbah! Aku tidak akan pernah membukakan pintu untuk kalian semua!" pekik Reni.

Tanpa bicara lagi, Mak Siti pulang dengan rasa bersalah. Akankah semuanya menjadi bara api yang akan berkobar dalam persaudaraan?

Entahlah, langkah gontai Mak Siti membuatnya menangis sepanjang jalan menuju rumahnya sendiri.

"Begitu saja di kejar, Mak, seharusnya biarkan saja dia!" umpat Yu Surti saat Mak Siti sampai di rumah.

Plak.

Tangan ringkih itu menampar keras pipi putrinya, amarah terpancar di raut wajah sepuh itu.

"Seharusnya kamu sadar, jika tidak bisa menghormati Kakakmu, maka hormatilah Emakmu ini selama masih hidup!" bentak Mak Siti dengan wajah kesalnya.

"Mak …"

Tanpa bicara Mak Siti menutup mulutnya dengan jari telunjuk, sehingga Yu Surti yang hendak bicara, langsung terdiam seribu bahasa.

❤️❤️❤️

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status