"Mas," sapaku saat dia sedang berbaring sambil memainkan gawainya.
Tumben sekali malam ini dia cepat pulang. Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Jam tujuh, sementara yang aku tahu dulu dia selesai bekerja jam lima sore dan sampai di rumah jam enam, itupun sudah terkena macet. Karena jarak dari rumah kami ke kantor tidaklah terlalu jauh. Sebenarnya aku sudah malas memasang wajah manis di hadapannya.Tapi demi melancarkan aksi yang disebutkan Ratna, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. "Ada apa, Nay?" jawab Mas Ilham lembut tanpa mengalihkan pandangan dari gawainya. Entah apa yang membuat dia tersenyum-senyum sendiri.Apa mungkin dia berani berbalas pesan w******p dengan selingkuhannya walaupun ada aku di sini? Keterlaluan sekali kamu, Mas.Selama ini aku memang tidak pernah berani atau segan membuka gawai Mas Ilham. Bukan karena takut atau dilarang olehnya, hanya saja aku ingin diantara kami memiliki rasa kepercayaan sebagai suami istri. Toh selama ini Mas Ilham selalu meletakkan sembarang gawainya tanpa pernah aku periksa. Bahkan jika ada pesan masuk atau dering panggilan, aku selalu menunggu agar dia membalas atau menerima panggilan itu sendiri. Aku pura-pura cuek saja, berusaha untuk tidak bersikap curiga padanya. Kalau aku mulai banyak bertanya, takutnya dia juga akan mulai lebih berhati-hati dalam bertindak. Bukankah selama ini yang dia tahu aku hanyalah gadis desa yang lugu dan tidak pernah berpikiran macam-macam dengannya? Seharusnya dia tetap berpikiran seperti itu agar dia lengah dan aku dengan mudah dapat mencari informasi dari gawainya. Siapa sebenarnya wanita dalam foto tersebut. "Mas, boleh tidak kalau Naya minta sesuatu. Kalau tidak boleh ya tidak apa-apa," aku mencoba bersikap pasrah seperti biasa, padahal dalam hati jangan sampai tidak dikasi. "Kamu minta apa?" matanya tak sedikitpun beranjak dari layar. "Tapi Mas jangan marah, ya?" aku pura-pura manja. "Sudah, ngomong saja.""Naya tidak sengaja merusak motor Ratna, Mas."Mas Ilham kini mulai menghentikan aktifitas di gawainya. Dia pasti heran karena bagaimana bisa aku merusak motor seseorang. "Kok bisa? Bukannya kamu tidak bisa naik motor?""Itu dia, Mas. Tadi Nay iseng ingin sekali belajar naik sepeda motor, siapa tahu kalau sudah bisa, nanti Mas mau membelikan Nay motor," ucapku penuh harap. "Buat apa sepeda motor? Kan kalau mau kemana-mana Mas bisa antar naik mobil.""Nay hanya tidak ingin merepotkan Mas saja. Lagipula Nay bisa antar jemput Alta ke sekolah, biar Mas tidak usah repot-repot lagi harus pergi pagi-pagi sekali. Bukannya kantor Mas sama sekolah Alta berlawanan arah?"Kulihat Mas Ilham memikirkan sesuatu dan mengangguk-ngangguk. Mungkin membenarkan apa yang baru saja aku sampaikan. Namun, apa dengan begitu dia akan langsung memberikan uang ganti rugi sepeda motor Ratna? Selama ini segala pembayaran kebutuhan rumah tangga, aku selalu minta kepada Mas Iham. Tak pernah meminta atau mau tahu berapa gaji Mas Ilham yang bekerja di kantor sebagai seorang menejer. "Memangnya berapa biaya perbaikannya?" akhirnya Mas Ilham menyetujui. Ada sedikit perasaan lega di hatiku. "Belum tahu, Mas. Ratna tidak bilang. Katanya tidak apa-apa, tidak usah diganti. Tapi kan Nay jadi merasa tidak enak," aku tertunduk, pura-pura sungkan. "Iya, tidak apa-apa. Ganti saja uangnya. Seberapa parah kerusakannya? Dua juta cukup tidak?"Dua juta? Itu lebih dari cukup, Mas. Bahkan untuk sepeda motor butut Bapak di kampung saja tidak sampai tiga ratus ribu biaya perbaikannya. Awal yang bagus untuk sandiwara pertama. Setidaknya untuk pertama kalinya aku memegang uangku sendiri. "Makasih ya, Mas. Mas memang selalu baik. Nay jadi makin sayang sama Mas," ternyata kalau dinikmati, aku jadi pintar bersandiwara. Tidak sia-sia instruksi dari Ratna tadi, aku haruslah bersikap seperti biasa dan terkesan manja agar Mas Ilham tidak curiga. Tidak lupa juga selalu memberikan pujian agar Mas Ilham yakin kalau aku masih istrinya yang lugu itu. Selesai membuatkan sarapan, Mas Ilham memberikan uang cash yang disebutkannya tadi malam. Dalam hati aku merasa sangat bahagia. Ternyata dengan menahan sedikit amarah dan bersandiwara, Mas Ilham sedikitpun tidak meragukanku.Benar apa yang dikatakan Ratna. Jaman sekarang, jadi istri tidak boleh lagi lemah. Harus kuat dan mandiri. Dan yang terpenting harus pintar dan sedikit 'licik'. Ini baru awalnya saja, Mas. Tunggu saja sampai semua uangmu berpindah ke tanganku. Aku tidak akan sudi lagi tinggal satu atap denganmu. Bahkan melihat wajahmu saja pun aku tak akan pernah mau. "Alta sarapan dulu ya, sayang," ucapku dengan penuh senyuman kepada anak sambungku tersebut. "Bunda sudah siapkan roti bakar coklat kesukaan Alta.""Terima kasih, Bunda," jawab gadis kecil yang sekarang masih duduk di kelas satu sd tersebut. "Soal Alta, biar tetap Mas saja yang mengantar. Tidak usah beli motor. Nanti kalau jatuh lagi bagaimana?" protes Mas Ilham. "Memang Bunda mau ngatar Alta naik motor?" tanya Alta sambil mengunyah roti bakarnya. "Maunya sih, begitu. Biar Ayah tidak repot bolak-balik mengantar Alta," aku beralasan. "Alta mau kok, Bunda. Teman-teman Alta juga banyak yang diantar naik motor sama Mamahnya.""Alta, Bu
Hari ini ada pertemuan orang tua murid di sekolah Alta. Sepulang dari membuat rekening tabungan, aku menyusul ke sekolah. Seperti aktifitas harian, pagi Mas Ilham yang mengantar ke sekolah. Siangnya aku yang menjemput dengan naik ojek online.Para ibu-ibu sudah mulai berkumpul di tempat yang sudah di sepakati. Kami makan siang di sebuah foodcourt outdoor yang ada taman bermainnya. Sementara anak-anak sibuk bermain bersama. Tujuan perkumpulan kali ini untuk membentuk grup arisan dari wali murid kelas 1a, kelas dimana Alta belajar.Sebenarnya aku malas ikut acara seperti ini, selain buang-buang waktu, juga membuang-buang uang. Tapi lagi-lagi Ratna menyuruhku untuk ikut, setidaknya hanya untuk hari ini saja.Sebagai barang bukti dan juga ada Alta sebagai saksi. Dasar Ratna, pintar sekali idenya kali ini. Tapi, apa mungkin kali ini juga akan berjalan lancar seperti kemarin? Kali ini Mas Ilham pulang cepat seperti dulu. Jam enam sore sudah sampai di rumah. Tumben sekali dia tidak pergi b
"Naya? Ngapain di sini?" suara seseorang menegurku dari dalam mobil. Diapun langsung turun menyapa kami. "Eh, Mas Rafi. Lagi nunggu Ayahnya Alta, Mas," sahutku sambil tersenyum. Mas Rafi adalah rekan kerjanya Mas Ilham. Kami sempat berkenalan di hari yang sama saat temanku mengenalkanku pada Mas Ilham. Ada perasaan heran di wajahnya. Memangnya tidak boleh aku mengunjungi kantor suamiku sendiri. "Mas Ilham tadi lagi telfonan di toilet," jawabnya tanpa aku bertanya. "Oh, Iya Mas. Tidak apa-apa. Nanti juga turun," sahutku kemudian. "Ya sudah kalau begitu. Mas duluan ya."Dia pun pergi meninggalkan kami. Tak lama Mas Ilham keluar dengan wajah murung. "Ada apa, Mas?" tanyaku heran. "Sudah, tidak apa-apa. Masuk saja," aku dan Alta mengikutinya masuk ke mobil. Kami berhenti di sebuah toko mas tak jauh dari kantor Mas Ilham. Dia dan Alta duduk menunggu di kursi luar sembari bolak balik mengecek gawainya. Terlihat raut wajah yang penuh kekhawatiran. Apa jangan-jangan dia bertengkar de
Malam ini aku akan melancarkan aksiku selanjutnya. Setelah menemani Alta belajar dan bermain sebentar, aku mengantarkan Alta untuk tidur di kamarnya. Jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Tak lama lagi Mas Ilham akan pulang sesuai dengan pesan whatsapp nya tadi. Malam ini aku juga harus melancarkan aksiku lagi. Sudah tidak tahan rasanya menghadapi hal seperti ini terus menerus. Baru tadi siang mereka asik-asikan indehoy di mobil, sekarangpun serasa tidak puas hingga sampai malam baru pulang. Ternyata Mas Ilham benar-benar sudah kepincut sama wanita murahan tersebut. Sampai-sampai tidak ingat lagi sama anak dan istri di rumah. Tunggu saja Mas, tunggu sampai aku tahu siapa sebenarnya wanita itu. Tak lama terdengar suara mobil dari halaman depan. Itu pasti Mas Ilham. Dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit kesabaran, akhirnya aku membukakan pintu dengan senyuman termanisku. Dengan takzim aku mencium punggung tangannya, seolah-olah dia masih pantas untuk diperlakukan dengan
Aku sudah membaca seluruh isi percakapan mereka. Aku juga sudah mengcopy dan mengirimkannya ke gawaiku sebagai barang bukti yang akan kupergunakan nantinya. Setelah membersihkan semua jejak, aku kembali meletakkan gawai di tempatnya semula. Sekarang giliran lemari yang jadi sasaranku. Dengan mudah aku mengambil sertifikat rumah dan menggantinya dengan sertifikat palsu yang sudah kusiapkan sebelumnya. Tentu saja ini juga adalah anjuran dari Ratna. Aku saja tidak berfikir sampai sejauh ini. Berbahayakah nantinya kalau semua ini ketahuan? Apakah ini termasuk sebuah pencurian, walaupun aku mengambilnya di rumahku sendiri? Ah, entahlah. Rasa benci dan juga muak telah membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi. Dengan rasa takut dan tangan yang gemetaran aku memindahkan dokumen tersebut ke bawah kasur di samping Mas Ilham untuk kuamankan besok pagi. Semoga kali ini nasib baik masih berpihak padaku. .Kulihat Mas Ilham bangun pagi dengan wajah yang segar. Mungkin karena tidurnya sangat ny
Kemudian dia melangkah mundur, lalu berjalan meninggalkan kami. Aku dan Ratna saling berpandangan dengan wajah yang khawatir. Seketika aku bangkit dan mengejarnya. "Mas Rafi," aku meraih lengannya. Dia menghentikan langkahnya, kemudian menatap tanganku yang masih memegangi lengannya. Setelah sadar, aku buru-buru melepaskannya. "Maaf, Mas. Nay lancang," ucapku. "Tidak apa-apa. Kalau mau, pegang saja sepuasnya," godanya. Aku tertunduk malu dengan ucapannya barusan. "Mas Rafi, soal tadi...""Jangan buat alasan kalau Mas salah dengar, ya. Mas tidak budeg," sergahnya sebelum aku mengutarakan ucapanku. Lagi-lagi aku tertunduk diam. Merasa kalau permainan ini sudah berakhir dan harus menerima kalau Mas Ilham akan membuat perhitungan denganku. Bukankah Mas Rafi dan Mas Ilham adalah teman sekantor? Tentu dia akan lebih membela temannya dari pada aku yang jarang-jarang bertemu dengannya. Apalagi kalau sampai dia juga termasuk salah satu lelaki yang juga suka main perempuan. Pastilah
"Ngomong-ngomong, Mas Rafi ngapain pagi-pagi ke sini? Siapa yang sakit?" tanyaku memecah keheningan."Mama, darah tingginya kambuh lagi. Jadi hari ini Mas tidak masuk ke kantor. Jagain Mama," sahutnya. "Oh, begitu. Mas Rafi anak yang baik, ya," pujiku "Kalau ada riwayat darah tinggi, Mamanya jangab dikasi mikir yang berat-berat, Mas. Kasi berita baik saja setiap hari.""Gimana tidak banyak pikiran, Nay. Anak laki-laki satu-satunya belum menikah sampai sekarang," keluhnya. "Lho, nikah yang tinggal nikah to, Mas. Masa Mas Rafi belum punya calon.""Memang belum. Calon yang Mas mau, dulu sudah di gondol maling," ujarnya. "Kok bisa? Bodoh sekali wanita yang menolak Mas Rafi demi laki-laki lain.""iya, Nay. Dia memang bodoh," imbuh Mas Rafi. Kamipun tertawa, seolah ketegangan dan ketakutanku tadi berangsur hilang. Mas Rafi mengeluarkan gawai dari kantong celananya, kemudian ada notifikasi pesan whatsapp dari gawaiku. "Itu nomornya Mas. Simpan ya, kalau Mas hubungi harus diangkat. Janga
Wanita tersebut tampak salah tingkah juga karena kini mereka tertangkap basah sedang jalan berdua. "Mas ilham yang sedang apa di sini? Bukannya seharusnya Mas Ilham berada di kantor? Siapa wanita ini, Mas?" aku pura-pura tidak tahu, ingin mendengar alasan apa yang akan diberikannya padaku. "Anu, Nay. Ini dulu teman sekantornya Mas sama Mas Rafi juga. Tapi sekarang dia sudah tidak bekerja di sana lagi," aku melirik Mas Rafi, dan dia mengangguk membenarkan ucapan Mas Ilham. "Terus, kenapa Mas Ilham bisa pergi berdua sama dia?" kemudian Mas Ilham menarik lenganku menjauh dari mereka. Entah kebohongan apa yang akan dikatakannya. "Mas datang sendiri ke sini. Tadi dapat ijin dari kantor, mewakili untuk menjenguk Ibunya Rafi. Terus tidak sengaja ketemu sama Viona di pintu masuk. Katanya dia juga mau menjenguk juga. Bagaimanapun juga, kan dia juga pernah bekerja sama dengan Rafi," Mas Ilham masih beralasan dengan kebohongannya. Bertemu tanpa sengaja? Omong kosong. Dasar pembohong. Dia pi