Share

Part3

"Mas," sapaku saat dia sedang berbaring sambil memainkan gawainya. 

Tumben sekali malam ini dia cepat pulang. Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Jam tujuh, sementara yang aku tahu dulu dia selesai bekerja jam lima sore dan sampai di rumah jam enam, itupun sudah terkena macet. Karena jarak dari rumah kami ke kantor tidaklah terlalu jauh. 

Sebenarnya aku sudah malas memasang wajah manis di hadapannya.Tapi demi melancarkan aksi yang disebutkan Ratna, aku harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. 

"Ada apa, Nay?" jawab Mas Ilham lembut tanpa mengalihkan pandangan dari gawainya. Entah apa yang membuat dia tersenyum-senyum sendiri.

Apa mungkin dia berani berbalas pesan w******p dengan selingkuhannya walaupun ada aku di sini? Keterlaluan sekali kamu, Mas.

Selama ini aku memang tidak pernah berani atau segan membuka gawai Mas Ilham. Bukan karena takut atau dilarang olehnya, hanya saja aku ingin diantara kami memiliki rasa kepercayaan sebagai suami istri. 

Toh selama ini Mas Ilham selalu meletakkan sembarang gawainya tanpa pernah aku periksa. Bahkan jika ada pesan masuk atau dering panggilan, aku selalu menunggu agar dia membalas atau menerima panggilan itu sendiri. 

Aku pura-pura cuek saja, berusaha untuk tidak bersikap curiga padanya. Kalau aku mulai banyak bertanya, takutnya dia juga akan mulai lebih berhati-hati dalam bertindak. Bukankah selama ini yang dia tahu aku hanyalah gadis desa yang lugu dan tidak pernah berpikiran macam-macam dengannya? 

Seharusnya dia tetap berpikiran seperti itu agar dia lengah dan aku dengan mudah dapat mencari informasi dari gawainya. Siapa sebenarnya wanita dalam foto tersebut. 

"Mas, boleh tidak kalau Naya minta sesuatu. Kalau tidak boleh ya tidak apa-apa," aku mencoba bersikap pasrah seperti biasa, padahal dalam hati jangan sampai tidak dikasi. 

"Kamu minta apa?" matanya tak sedikitpun beranjak dari layar. 

"Tapi Mas jangan marah, ya?" aku pura-pura manja. 

"Sudah, ngomong saja."

"Naya tidak sengaja merusak motor Ratna, Mas."

Mas Ilham kini mulai menghentikan aktifitas di gawainya. Dia pasti heran karena bagaimana bisa aku merusak motor seseorang. 

"Kok bisa? Bukannya kamu tidak bisa naik motor?"

"Itu dia, Mas. Tadi Nay iseng ingin sekali belajar naik sepeda motor, siapa tahu kalau sudah bisa, nanti Mas mau membelikan Nay motor," ucapku penuh harap. 

"Buat apa sepeda motor? Kan kalau mau kemana-mana Mas bisa antar naik mobil."

"Nay hanya tidak ingin merepotkan Mas saja. Lagipula Nay bisa antar jemput Alta ke sekolah,  biar Mas tidak usah repot-repot lagi harus pergi pagi-pagi sekali. Bukannya kantor Mas sama sekolah Alta berlawanan arah?"

Kulihat Mas Ilham memikirkan sesuatu dan mengangguk-ngangguk. Mungkin membenarkan apa yang baru saja aku sampaikan. Namun, apa dengan begitu dia akan langsung memberikan uang ganti rugi sepeda motor Ratna? 

Selama ini segala pembayaran kebutuhan rumah tangga, aku selalu minta kepada Mas Iham. Tak pernah meminta atau mau tahu berapa gaji Mas Ilham yang bekerja di kantor sebagai seorang menejer. 

"Memangnya berapa biaya perbaikannya?" akhirnya Mas Ilham menyetujui. Ada sedikit perasaan lega di hatiku. 

"Belum tahu, Mas. Ratna tidak bilang. Katanya tidak apa-apa, tidak usah diganti. Tapi kan Nay jadi merasa tidak enak," aku tertunduk, pura-pura sungkan. 

"Iya, tidak apa-apa. Ganti saja uangnya. Seberapa parah kerusakannya? Dua juta cukup tidak?"

Dua juta? Itu lebih dari cukup, Mas. Bahkan untuk sepeda motor butut Bapak di kampung saja tidak sampai tiga ratus ribu biaya perbaikannya. Awal yang bagus untuk sandiwara pertama. Setidaknya untuk pertama kalinya aku memegang uangku sendiri. 

"Makasih ya, Mas. Mas memang selalu baik. Nay jadi makin sayang sama Mas," ternyata kalau dinikmati, aku jadi pintar bersandiwara. 

Tidak sia-sia instruksi dari Ratna tadi, aku haruslah bersikap seperti biasa dan terkesan manja agar Mas Ilham tidak curiga. Tidak lupa juga selalu memberikan pujian agar Mas Ilham yakin kalau aku masih istrinya yang lugu itu. 

Selesai membuatkan sarapan, Mas Ilham memberikan uang cash yang disebutkannya tadi malam. Dalam hati aku merasa sangat bahagia. Ternyata dengan menahan sedikit amarah dan bersandiwara, Mas Ilham sedikitpun tidak meragukanku. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cuman segitu mampu mu merayu suami. cukup kau jd pengasuh dan bahu aja. dadar sampah g berguna
goodnovel comment avatar
Arief Mixagrip
bagus sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status