Share

Part8

Aku sudah membaca seluruh isi percakapan mereka. Aku juga sudah mengcopy dan mengirimkannya ke gawaiku sebagai barang bukti yang akan kupergunakan nantinya. Setelah membersihkan semua jejak, aku kembali meletakkan gawai di tempatnya semula. 

Sekarang giliran lemari yang jadi sasaranku. Dengan mudah aku mengambil sertifikat rumah dan menggantinya dengan sertifikat palsu yang sudah kusiapkan sebelumnya. Tentu saja ini juga adalah anjuran dari Ratna. 

Aku saja tidak berfikir sampai sejauh ini. Berbahayakah nantinya kalau semua ini ketahuan? Apakah ini termasuk sebuah pencurian, walaupun aku mengambilnya di rumahku sendiri? 

Ah, entahlah. Rasa benci dan juga muak telah membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi. Dengan rasa takut dan tangan yang gemetaran aku memindahkan dokumen tersebut ke bawah kasur di samping Mas Ilham untuk kuamankan besok pagi. Semoga kali ini nasib baik masih berpihak padaku. 

.

Kulihat Mas Ilham bangun pagi dengan wajah yang segar. Mungkin karena tidurnya sangat nyenyak semalam. Aku dan Alta sudah menunggu di meja makan. Aku sudah tidak tahan lagi sebenarnya berlama-lama di rumah ini. 

Tega-teganya dia hanya menganggapku sebagai pengasuhnya Alta. Memang kuakui kalau kasih sayangku kepada Alta begitu besar. Tak pernah sedikitpun aku menganggapnya sebagai anak tiri. Tapi ya tidak begini juga caranya. 

"Mas, Nay boleh bekerja tidak?" tanyaku lebih memberanikan diri. 

"Kamu mau kerja apa?" Mas Ilham mulai memakan sarapannya. 

"Kerja dari rumah lho, Mas. Ada teman Nay yang menawarkan. Hitung-hitung buat uang tambahan. Nay juga kepingin megang uang sendiri, kaya istri-istri yang lain. Jadi kalau mau beli apa-apa itu tidak melulu minta sama Mas," sindirku. 

"Ya, kalau memang kamu mau seperti itu ya sudah. Mas dukung," jawabnya santai. 

"Benar, Mas?" Mas Ilham mengangguk. 

"Tapi.. "

"Tapi apa lagi?"

"Nay harus punya rekening pribadi atas nama Nay sendiri Mas. Biar nanti keuntungan yang di dapat bisa langsung di transfer."

"Ya sudah, kan tinggal dibuat."

"Masalahnya.. "

"Masalah apa lagi?"

"Masalahnya ada syaratnya, Mas."

"Syarat apalagi? Jangan aneh-aneh la, Nay. Kalau aneh-aneh itu namanya penipuan. Investasi bodong. Sudah kalau kamu mau kerja jualan online saja. Tidak pakai modal."

"Nay juga maunya begitu, Mas. Tapi teman Nay bilang untungnya sedikit. Itupun kalau ada yang mau beli."

"Lha terus syaratnya apa lagi?"

"Isi rekening harus minimal sepuluh juta, Mas. Itupun hanya untuk bukti rekening koran atau apalah namanya. Nay juga tidak mengerti. Pokoknya uang sepuluh jutanya tidak dipakai. Cuman sebagai bukti saja kalau rekening kita itu aktif. Berarti kan kita tidak rugi apa-apa."

"Terserah kamu sajalah, Nay. Mas berangkat dulu ya? Ayo Alta."

"Jadi boleh ini, Mas?"

"Iya, iya. Buat saja. Tapi nanti setelah di transfer balikin lagi, ya?"

"Iya, Mas. Terima kasih ya."

"Iya, nanti kirim saja nomor rekening yang baru kamu buat, nanti langsung Mas transfer."

"Iya, Mas. Terima kasih ya, Mas."

"Ingat, langsung dibalikin ya?"

Dibalikin?  Maaf ya, tidak akan. 

Selepas mengantar mereka pergi, dan memastikan kalau mobil Mas Ilham sudah menjauh, cepat aku ikut keluar. Kebetulan hari ini Ratna baru selesai shift malam. Jadi pagi ini aku bisa menemuinya di rumah sakit, lalu bisa pulang bersama. 

Sesampainya di rumah sakit aku menceritakan segala yang sudah terjadi malam tadi dan juga pagi ini. Hal baik dan juga hal buruk yang sedang kualami. Aku dan Ratna duduk bersisian di kursi panjang koridor luar rumah sakit, kebetulan pagi ini belum banyak yang datang. 

"Sabar, Nay, sabar," lagi-lagi kata itu terucap dari Ratna. "Sebentar lagi juga kamu bebas dari laki-laki seperti itu."

"Tapi aku harus ngasi pelajaran dulu sama pelakor itu, Rat. Tidak tenang aku kalau dia masih enak-enakan sama suamiku."

"Yaelah, masih bilang suamiku. Masih cinta?" ledek Ratna.

"Ini bukan soal cinta tidak cinta, Rat. Ini hanya soal harga diri. Harga diriku rasanya sudah diinjak-injak habis oleh mereka."

"Wah, ngeri juga ya kalau Naya si gadis lugu dari kampung sudah marah," Ratna cekikikan. 

"Sialan kamu, Rat." balasku. 

"Sudah tenang saja, pokoknya kamu ikuti saja rencana awal kita. Kuras habis uangnya, lalu tinggalkan. Gampang kan?" aku mengangguk, mengiyakan semua kata-kata Ratna. 

"Terus, kalau nanti aku pisah sama Mas Ilham aku harus lari kemana, Rat? Mas Ilham tidak mungkin membiarkanku hidup tenang begitu saja."

"Kalau soal itu, nanti saja dipikirkan. Kalau perlu, kamu cari suami baru yang bisa melindungi kamu dari Mas Ilham."

"Hush, kamu ini bicara apa sih, Rat. Cerai saja belum kok sudah mau cari suami baru."

"Ya, kan tidak apa-apa. Hitung-hitung buat cadangan, biar kamu tidak terlalu patah hati nantinya."

"Ratna, Ratna. Omongan kamu itu seperti aku ini laku saja. Sudah jelek, orang kampung, cuman lulus sma, berstatus janda, pula. Mana mungkin masih ada yang mau," aku tertunduk lemah. 

"Eh, sudah, sudah. Kok jadi ngelantur begini. Pokoknya sekarang, fokus dulu ke Mas Ilham. Habisi dulu dia sampai sehabis-habisnya. Titik."

"Oh, jadi seperti itu rencana kalian. Licik juga ya?" tiba-tiba terdengar suara dari arah samping tempat kami duduk. 

Deg! Mati aku, orang itu... 

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status