Hari ini hari Minggu. Tumben sekali Mas Ilham tidak kelayapan. Biasanya ada saja alasannya untuk keluar rumah tanpa membawa aku dan Alta. Selesai makan siang kulihat dia sedang asik bermain bersama Alta. Sungguh pemandangan yang sudah sangat langka selama beberapa bulan ini. Baru kemarin aku merencanakan ingin mengajak Ratna mencari rumah baru, tapi harus kubatalkan karena Mas Ilham belum juga beranjak dari rumah. Mau tak mau aku juga harus berdiam diri di rumah sambil kembali membaca novel-novel online yang ada di grup kbm. Walaupun sepotong-sepotong jalan ceritanya, yang penting aku sudah bisa mencerna cara-cara apa saja yang akan aku pakai nantinya. Bukannya pelit atau ingin berhemat, masalahnya aku sama sekali tidak mengerti caranya membeli koin untuk membaca semua cerita itu sampai tamat. Jadi, yang ada saja aku baca. Ada puluhan judul tentang mereka yang nasibnya serupa denganku. Jadi aku merasa hidupku tidaklah sendiri. Tengah asik membaca, terdengar suara bel dari pintu de
Ya, aku sengaja menyebut namanya agar Mas Ilham menjadi cemburu. Bukankah dia tidak suka dengan kehadiran Mas Rafi diantara kami? Tidak ada salahnya juga aku menjual nama Mas Rafi untuk melancarkan aksiku, toh dia juga tidak tahu. "Kan Mas sendiri yang mulai. Nay tidak sengaja ketemu Mas Rafi saja, Mas sudah terlihat tidak senang. Apalagi ini, ada wanita yang dengan sengaja menemui Mas secara terang-terangan. Nay tidak boleh marah?"Mas Ilham terdiam, mungkin membenarkan apa yang barusan aku ucapkan. "Ya sudah, Mas minta maaf. Mas yang salah. Mas juga tidak tahu mau apa si Viona datang ke sini. Kita keluar saja, ya? Tidak enak tamu dibiarkan lama menunggu. Mas usahakan agar dia tidak berlama-lama di sini."Ternyata masih ada juga rasa sungkan Mas Ilham kepadaku. Tidak terlalu kasar dan berlebihan berbuat dzholim kepadaku. Apakah sebenarnya masih ada rasa cinta yang dulu kepadaku? Lalu untuk apa dia menjalin kasih dengan wanita lain dan melakukan hubungan terlarang itu? Tidak! Janga
"Aku kangen, lo Mas. Ngapain sih hari libur begini kamu di rumah. Seharusnya kan kamu sama aku. Aku mau di temani belanja ini," suaranya terdengar seperti merayu. "Belanja apa lagi? Kan baru kemarin aku kasi kamu uang," jawab Mas Ilham yang sedikit memelankan suaranya. "Ya sudah habislah, Mas. Aku kan juga harus ke salon dan perawatan. Biar makin cantik dan bikin kamu makin cinta sama aku."Darahku seperti mendidih mendengar percakapan mereka. "Iya, tapi tidak dengan datang ke rumah ini juga. Kalau Naya sampai curiga bagaimana?""Halah. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau istri kamu itu selalu percaya sama kamu. Buktinya sekarang dia masih baik-baik saja.""Itu tadi karena aku yang bujuk. Sekarang kamu pulang saja sana.""Kok aku diusir sih, Mas. Tega sekali kamu.""Besok sepulang kerja kita bertemu. Jadi kamu tidak usah khawatir.""Benar, Mas?""Iya, kamu jangan lama-lama di sini.""Ya sudah, tapi aku mau ke toilet sebentar, ya?"Dasar wanita murahan. Bisanya cuma morotin suam
Lagi-lagi aku dibuat kesal. Bukankah showroom mobil yang jadi langganan Mas Ilham tutup pada hari Minggu? Mas Ilham baru saja selesai menghubungi seseorang yang aku yakini sebagai pegawai dealer tersebut. Mas Ilham sudah sering berkomunikasi dengan pria yang usianya masih di bawah Mas Ilham itu, karena mobil yang Mas Ilham pakai sekarang adalah hasil dari mencicil selama tiga tahun. Walaupun sebelum menikah denganku mobil tersebut sudah dia lunasi. Aku mencoba untuk mengajaknya mencari showroom yang lain saja, siapa tahu ada yang beroperasional di hari merah. Namun Mas Ilham menolak dengan alasan sudah nyaman dengan layanan dari showroom langganan keluarga mereka. Alhasil, besok Mas Ilham akan bernegosiasi dengan mereka via telpon saja. Sedangkan kalau lancar dan selesai, mobil akan langsung di antar ke rumah.Aku jadi tak punya alasan lagi untuk memilih mobil mana yang aku inginkan. Ah terserahlah, mobil yang paling murah sajapun aku tidak apa-apa. Toh kemudian aku bisa me
"Kalau jadinya seperti itu, ya suruh Mas Rafi yang tanggung jawab dong, Nay. Kok malah aku?""Habis kamu sih, terus-terusan menggodaku." Ratna kembali tertawa. Tak lama Mas Rafi menghubungi dan mengatakan kalau dia sudah menunggu di luar. Tak ingin berlama-lama, kamipun langsung berangkat. "Maaf ya, Mas. Lagi-lagi Naya membuat repot Mas Rafi," ujarku. "Tidak apa-apa, Nay," jawabnya dengan penuh senyuman. Ratna menyikut lenganku menandakan kalau yang tadi dia katakan benar adanya. Aku menyerahkan semua dokumen-dokumen serta bukti foto, rekaman suara dan juga hasil percakapan mereka melalui mesenger. Mudah-mudahan dengan semua bukti ini, akan mempercepat proses perceraian kami. Setahuku Mas Ilham sudah tidak punya simpanan lain lagi selain yang ada di rekeningnya saat ini. Itupun akan segera habis setelah mobil yang aku minta dia belikan. Tak pernah ada kulihat brankas atau peti harta karun yang dia sembunyikan di rumah seperti di kebanyakan cerita yang aku baca. Aku sudah mencari
Jam sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam. Namun belum ada tanda-tanda Mas Ilham akan pulang. Bahkan gawainya pun tidak aktif saat kuhubungi. Sudah hilangkah kesadarannya, saat bersama wanita murahan itu? Tanpa terasa menetes juga air mataku. Tapi bukan, bukan aku menangisinya. Hanya saja aku terlalu sedih melihat Alta yang nantinya akan terabaikan saat aku dan Mas Ilham berpisah. Siapa yang nantinya akan mengurusnya, sementara orang tua Mas Ilham juga tinggal di luar kota. Hanya sesekali saja datang untuk menjenguk. Aku dan Mas Ilham sama-sama merantau dan tidak punya keluarga lain di kota ini. Lalu bagaimana dengan Alta nantinya? Apakah setelah bercerai, Mas Ilham akan segera menikahi Viona? Sementara Viona sendiri tidak ada niatan untuk mengurus Alta. Aku tersentak saat mendengar suara bel dari depan. Rupanya aku tertidur di kamar Alta. Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Dengan rasa kesal aku bangkit untuk membukakan pintu. Mas Ilham pulang d
"Jadi maunya, Mas, Nay tidak boleh ikut menikmati hasil jerih payah, Mas? Memangnya sudah cukup dengan hanya dikasi makan dan tempat tinggal saja? Lalu apa bedanya Nay sama pembantu atau pengasuh? Bahkan pembantu sekalipun dapat jatah gaji setiap bulan."Mas Ilham terdiam mendengar uneg-unegku kali ini. Tak pernah sebelumnya dia mendengarku mengomel sampai panjang lebar seperti ini. "Siapa sih yang sudah mempengaruhi kamu jadi seperti ini, Nay? Mana Naya yang dulu penurut dan menerima Mas apa adanya?""Apa adanya yang bagaimana, Mas? Mas kan bukan orang yang tidak mampu. Masa tidak boleh Nay menikmati apa yang seharusnya menjadi hak Nay selama ini. Kalau bukan semuanya Mas berikan untuk Nay dan Alta, lalu buat siapa lagi? Apa ada orang lain yang lebih berhak?""Sudahlah, Nay. Mas tidak mau ribut tengah malam begini. Mas lelah. Kamu juga harus tidur. Besok Mas tanyakan lagi soal mobil itu.""Bohong!" sergahku. Mas Ilham tampak terkejut karena suaraku agak membentak. "Benar, Mas tidak
Setelah foto-foto Mas Ilham dikirimkan Mas Rafi kepadaku, aku baru menyadari. Ternyata perubahan sikap Mas Ilham sudah sejak enam bulan yang lalu. Hanya saja kemarin-kemarin aku tidak ngeh, karena terlalu percaya bahwa Mas Ilham benar-benar sedang bekerja keras sampai larut malam untuk aku dan Alta. Sungguh mata ini tidak dapat lagi terpejam. Iseng akupun membuka akun sosmedku, mencoba membaca kembali kisah-kisah prahara rumah tangga di grub kbm. Namun tiba-tiba saja hati ini terdetak ingin melihat akun Viona. Akupun mengetik di kolom pencarian, setelah bertemu kembali dengan foto profil tersebut, aku langsung mengkliknya. Astagfirullah alaziim, mataku kembali menghangat. Kulihat ada beberapa buah foto yang baru diunggahnya beberapa jam yang lalu dengan caption,'Terima kasih sayang, sudah menjadikanku cantik dan bersinar.' Kulihat beberapa foto lagi, wanita berambut lurus hasil catokan itu sedang menunjukkan skincare yang baru saja dibelinya. Bukan main-main dengan merek yang tert