Malam ini aku akan melancarkan aksiku selanjutnya. Setelah menemani Alta belajar dan bermain sebentar, aku mengantarkan Alta untuk tidur di kamarnya. Jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Tak lama lagi Mas Ilham akan pulang sesuai dengan pesan whatsapp nya tadi. Malam ini aku juga harus melancarkan aksiku lagi. Sudah tidak tahan rasanya menghadapi hal seperti ini terus menerus. Baru tadi siang mereka asik-asikan indehoy di mobil, sekarangpun serasa tidak puas hingga sampai malam baru pulang. Ternyata Mas Ilham benar-benar sudah kepincut sama wanita murahan tersebut. Sampai-sampai tidak ingat lagi sama anak dan istri di rumah. Tunggu saja Mas, tunggu sampai aku tahu siapa sebenarnya wanita itu. Tak lama terdengar suara mobil dari halaman depan. Itu pasti Mas Ilham. Dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit kesabaran, akhirnya aku membukakan pintu dengan senyuman termanisku. Dengan takzim aku mencium punggung tangannya, seolah-olah dia masih pantas untuk diperlakukan dengan
Aku sudah membaca seluruh isi percakapan mereka. Aku juga sudah mengcopy dan mengirimkannya ke gawaiku sebagai barang bukti yang akan kupergunakan nantinya. Setelah membersihkan semua jejak, aku kembali meletakkan gawai di tempatnya semula. Sekarang giliran lemari yang jadi sasaranku. Dengan mudah aku mengambil sertifikat rumah dan menggantinya dengan sertifikat palsu yang sudah kusiapkan sebelumnya. Tentu saja ini juga adalah anjuran dari Ratna. Aku saja tidak berfikir sampai sejauh ini. Berbahayakah nantinya kalau semua ini ketahuan? Apakah ini termasuk sebuah pencurian, walaupun aku mengambilnya di rumahku sendiri? Ah, entahlah. Rasa benci dan juga muak telah membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi. Dengan rasa takut dan tangan yang gemetaran aku memindahkan dokumen tersebut ke bawah kasur di samping Mas Ilham untuk kuamankan besok pagi. Semoga kali ini nasib baik masih berpihak padaku. .Kulihat Mas Ilham bangun pagi dengan wajah yang segar. Mungkin karena tidurnya sangat ny
Kemudian dia melangkah mundur, lalu berjalan meninggalkan kami. Aku dan Ratna saling berpandangan dengan wajah yang khawatir. Seketika aku bangkit dan mengejarnya. "Mas Rafi," aku meraih lengannya. Dia menghentikan langkahnya, kemudian menatap tanganku yang masih memegangi lengannya. Setelah sadar, aku buru-buru melepaskannya. "Maaf, Mas. Nay lancang," ucapku. "Tidak apa-apa. Kalau mau, pegang saja sepuasnya," godanya. Aku tertunduk malu dengan ucapannya barusan. "Mas Rafi, soal tadi...""Jangan buat alasan kalau Mas salah dengar, ya. Mas tidak budeg," sergahnya sebelum aku mengutarakan ucapanku. Lagi-lagi aku tertunduk diam. Merasa kalau permainan ini sudah berakhir dan harus menerima kalau Mas Ilham akan membuat perhitungan denganku. Bukankah Mas Rafi dan Mas Ilham adalah teman sekantor? Tentu dia akan lebih membela temannya dari pada aku yang jarang-jarang bertemu dengannya. Apalagi kalau sampai dia juga termasuk salah satu lelaki yang juga suka main perempuan. Pastilah
"Ngomong-ngomong, Mas Rafi ngapain pagi-pagi ke sini? Siapa yang sakit?" tanyaku memecah keheningan."Mama, darah tingginya kambuh lagi. Jadi hari ini Mas tidak masuk ke kantor. Jagain Mama," sahutnya. "Oh, begitu. Mas Rafi anak yang baik, ya," pujiku "Kalau ada riwayat darah tinggi, Mamanya jangab dikasi mikir yang berat-berat, Mas. Kasi berita baik saja setiap hari.""Gimana tidak banyak pikiran, Nay. Anak laki-laki satu-satunya belum menikah sampai sekarang," keluhnya. "Lho, nikah yang tinggal nikah to, Mas. Masa Mas Rafi belum punya calon.""Memang belum. Calon yang Mas mau, dulu sudah di gondol maling," ujarnya. "Kok bisa? Bodoh sekali wanita yang menolak Mas Rafi demi laki-laki lain.""iya, Nay. Dia memang bodoh," imbuh Mas Rafi. Kamipun tertawa, seolah ketegangan dan ketakutanku tadi berangsur hilang. Mas Rafi mengeluarkan gawai dari kantong celananya, kemudian ada notifikasi pesan whatsapp dari gawaiku. "Itu nomornya Mas. Simpan ya, kalau Mas hubungi harus diangkat. Janga
Wanita tersebut tampak salah tingkah juga karena kini mereka tertangkap basah sedang jalan berdua. "Mas ilham yang sedang apa di sini? Bukannya seharusnya Mas Ilham berada di kantor? Siapa wanita ini, Mas?" aku pura-pura tidak tahu, ingin mendengar alasan apa yang akan diberikannya padaku. "Anu, Nay. Ini dulu teman sekantornya Mas sama Mas Rafi juga. Tapi sekarang dia sudah tidak bekerja di sana lagi," aku melirik Mas Rafi, dan dia mengangguk membenarkan ucapan Mas Ilham. "Terus, kenapa Mas Ilham bisa pergi berdua sama dia?" kemudian Mas Ilham menarik lenganku menjauh dari mereka. Entah kebohongan apa yang akan dikatakannya. "Mas datang sendiri ke sini. Tadi dapat ijin dari kantor, mewakili untuk menjenguk Ibunya Rafi. Terus tidak sengaja ketemu sama Viona di pintu masuk. Katanya dia juga mau menjenguk juga. Bagaimanapun juga, kan dia juga pernah bekerja sama dengan Rafi," Mas Ilham masih beralasan dengan kebohongannya. Bertemu tanpa sengaja? Omong kosong. Dasar pembohong. Dia pi
Pagi ini aku sudah bertekad untuk menggadaikan surat rumah. Aku merasa sudah tidak tahan lagi tinggal serumah dengan Mas Ilham. Apalagi tadi malam dia mulai bersikap nakal dan mencoba meminta haknya sebagai suami. Menjijikkan sekali jika aku harus berbagi dengan wanita lain. Sudah menggauli yang sana, masih juga mau menggauliku. Bukan tanpa sebab dia meminta haknya, sepertinya ada rasa cemburu dihatinya melihat pertemuanku dengan Mas Rafi kemarin. "Kalau bisa kamu jangan sering-sering bertemu dengan si Rafi itu, Nay. Mas tidak suka," ujarnya. "Lho, memangnya kenapa, Mas?""Tidak suka saja.""Itukan temannya Mas Ilham sendiri. Lagipula Nay juga tidak sengaja ketemu sama Mas Rafi. Nay juga tidak mungkin macam-macam dengan Mas Rafi. Mas kan tau sendiri Nay Bagaimana. Selama ini apa pernah Mas lihat Nay aneh-aneh sama laki-laki lain?" bantahku sekaligus memberikan sindiran kepadanya. Mas Ilham terlihat salah tingkah. Mungkin malu karena kemarin baru kepergok jalan berdua dengan wanit
"Kita mau kemana ini, Mas?" tanyaku. Dia masih diam saja. Jangan-jangan dia mau membawaku ke kantor lagi. Waduh, gawat ini. Malah sekarang sertifikat rumah lagi aku pegang. Bagaimana kalau Mas Ilham nanti menggeledah seluruh isi tas dan juga gawaiku? "Mas Rafi!" bentakku. " Kita mau kemana?" lagi-lagi aku kesal dengan kediamannya. "Ih," karena kesal aku memukul lengannya yang sedang fokus menyetir. Tak lama dia meminggirkan mobil dan berhenti di jalanan yang cukup sepi. Ada apa ini? Apa dia marah karena barusan aku memukulnya? Apa dia akan membalasku dengan perbuatan yang tidak-tidak? Padahal kan pukulan tadi tidak terlalu kuat. Tidak mungkin dia merasa sakit hanya karena sentuhan seperti itu. Dia menatap tajam ke arahku. Apa dia benar-benar marah? "Kenapa nomor hape Mas kamu blokir? Bukankah kita sudah melakukan kesepakatan kemarin?" Mas Rafi terlihat gusar. Benar saja, kemarin tak lama setelah Mas Ilham mengantarku pulang dari rumah sakit, Mas Rafi menghubungiku beberapa kali
"He eh, terserahlah," jawabnya pasrah. "Iya, terserah. Nay juga tidak perduli mau pacarnya satu, dua atau sepuluh sekalian. Toh sebentar lagi juga Nay akan berpisah.""Nah, gitu dong," ucapnya sambil tersenyum. "Sekarang kamu mau kemana?""Anu, Mas. Nay mau menggadaikan surat rumah. Buat bekal Nay nanti kalau sudah berpisah. Mas kan tahu sendiri kalau Nay ini tidak bekerja dan tidak punya penghasilan.""Kalau mau menggadai nanti urusannya repot, Nay. Jual saja. Kebetulan teman Mas ada yang mau membeli rumah. Kamu mau jual berapa?""Benar, Mas? Kira-kira rumah seperti itu laku berapa ya? Kalau Nay kasi harga tiga Milyar, ada yang mau tidak, ya?""Tiga milyar, ya? Ya sudah, sini mana nomer rekening kamu? Biar selanjutnya nanti Mas yang urus."Eh? Kenapa Mas Rafi enteng sekali bicara soal uang tiga milyar. Apa dia sedang mengejekku? Mana mungkin dia langsung memberikan uang sebanyak itu tanpa syarat-syarat atau apapun itu. "Kok melamun? Mana?""Apanya, Mas?""Kok apanya? Ya nomer reken