Hari ini ada pertemuan orang tua murid di sekolah Alta. Sepulang dari membuat rekening tabungan, aku menyusul ke sekolah. Seperti aktifitas harian, pagi Mas Ilham yang mengantar ke sekolah. Siangnya aku yang menjemput dengan naik ojek online.
Para ibu-ibu sudah mulai berkumpul di tempat yang sudah di sepakati. Kami makan siang di sebuah foodcourt outdoor yang ada taman bermainnya. Sementara anak-anak sibuk bermain bersama. Tujuan perkumpulan kali ini untuk membentuk grup arisan dari wali murid kelas 1a, kelas dimana Alta belajar.Sebenarnya aku malas ikut acara seperti ini, selain buang-buang waktu, juga membuang-buang uang. Tapi lagi-lagi Ratna menyuruhku untuk ikut, setidaknya hanya untuk hari ini saja.Sebagai barang bukti dan juga ada Alta sebagai saksi. Dasar Ratna, pintar sekali idenya kali ini. Tapi, apa mungkin kali ini juga akan berjalan lancar seperti kemarin? Kali ini Mas Ilham pulang cepat seperti dulu. Jam enam sore sudah sampai di rumah. Tumben sekali dia tidak pergi berkencan. Apa karena wanita murahan itu lagi ngambek, karena uang jatahnya berkurang gara-gara Mas Ilham memberikanku uang dua juta tadi pagi. Tapi uang itu tidak seberapa dibanding dengan jumlah tabungan Mas Ilham. Pernah secara tidak sengaja aku melihat sendiri jumlah saldo di Atmnya Mas Ilham. Saat itu Mas Ilham menarik uang ketika kami jalan-jalan ke Mall beberapa waktu yg lalu. Ada tiga digit angka di depannya. Cukup besar untuk dia simpan seorang diri. Tentu saja, sudah bertahun-tahun Mas Ilham bekerja di sana. Tentu gajinya tidak akan main-main. Belum lagi bonus yang dia dapat kalau penjualan sudah mencapai target. Setidaknya begitulah yang dia ceritakan dulu padaku. Ya, dulu. Sebelum dia berhubungan dengan wanita itu.Atau jangan-jangan wanita tersebut sedang datang bulan sehingga Mas Ilham akan merasa rugi menemuinya karena tidak akan mendapat jatah apa-apa. Menjijikkan sekali kalau harus membayangkannya, entah sudah berapa kali mereka tidur bersama. Aku juga sudah merasa jijik jika harus melayani Mas Ilham lagi. "Bagaimana tadi arisannya? Lancar?" tanya Mas Ilham. Aku hanya memasang wajah kecut, tak menjawab. "Kenapa, Nay? Bukannya kamu sendiri yang ingin ikut serta arisan sekolah Alta?""Senang sih senang, Mas. Tapi Nay malu," aku kembali merengek. "Malu kenapa? Apa mereka tahu kalau kamu bukan ibu kandungnya Alta?""Bukan soal itu, Mas. Sekalipun Nay tidak pernah mengatakan kalau Alta bukan anak kandung Nay.""Terus kenapa Malu?""Anu, Mas," aku kembali tertunduk."Anu kenapa? Bilang saja. Atau arisan itu harus bayar iuran setiap bulan? Ya sudah, nanti Mas yang bayar," dia menawari. Memang kuakui, walau tidak memberikanku uang pegangan, namun Mas Ilham selalu cepat merespon soal pembayaran-pembayaran yang aku minta. Terkadang tanpa banyak bertanya secara detil apa-apa yang harus dibayar. Langsung tanya berapa jumlah total yang harus dibayar, kemudian dengan cepat memberikan uang dengan jumlah yang sama. Apa karena keroyalannya soal uang itu, makanya wanita itu menggoda Mas Ilham? Ah, terserah soal siapa menggoda siapa. Toh Mas Ilham juga bersalah dengan meladeni perempuan murahan seperti itu. Sudah tahu punya anak dan istri, masih juga berani bermain dengan wanita lain. "Soal iuran bulanan juga sih, Mas. Tapi, masalahnya bukan cuma itu.""Iya, terus apa?""Nay malu. Karena mereka semua memakai banyak perhiasan. Sementara Nay hanya memakai cincin kawin satu ini saja," aku melirik mimik wajah Mas Ilham. Kulihat Mas Ilham menghela nafas. Apa mungkin kali ini aku sudah kelewatan? Dia pasti marah dan langsung menyuruhku untuk tidak usah jadi ikut. Uh, dasar Ratna. Kali ini rencananya pasti gagal. "Ya, sudah. Besok saat jam makan siang, kamu nyusul Mas ke kantor, ya. Kita beli perhiasan yang kamu mau. Biar kamu tidak malu lagi."Hah, aku terkejut. Ternyata Mas Ilham mau menyanggupi permintaan konyolku ini. Ya, Allah. Apa sebenarnya yang terjadi? Di cerita yang aku baca, suaminya tiba-tiba berubah dan langsung bersikap pelit. Namun ini apa? Dia masih saja baik hati dan mau menuruti permintaanku. Bagaimana kalau ternyata semua foto-foto itu palsu dan Mas Ilham tidak pernah mengkhianatiku? Tidak, aku tidak boleh luluh. Mungkin ini hanya akal-akalannya Mas Ilham saja agar aku tidak mencurigainya. Mungkin jika dia berubah pelit, dia akan berpikir aku akan mulai menyelidikinya."Benar, Mas? Mas Ilham tidak bohongkan?""Iya, buat apa Mas bohong," sahutnya datar. Terserah lah, mau datar atau bulat yang penting cair. "Terima kasih ya, Mas," ucapku sambil dengan terpaksa memeluknya. Setidaknya aku harus menghilangkan rasa jijikku atas tubuhnya yang sudah nempel sana nempel sini sama wanita lain. Untung saja malam ini dia tidak minta yang macam-macam. Kalau tidak, entah bagaimana caraku menolak nya. Kamu sudah tidak bergairah lagi denganku, Mas? Sama, aku juga tidak sudi lagi disentuh olehmu. Kalau perlu sampai nanti kita berpisah, jangan lagi pernah ada hubungan suami istri diantara kita. Keesokan harinya, setelah menjemput Alta di sekolah, aku langsung menuju kantor Mas Ilham. Kami hanya menunggu di depan saja, karena sebentar lagi Mas Ilham akan segera keluar."Naya? Ngapain di sini?" suara seseorang menegurku dari dalam mobil. Diapun langsung turun menyapa kami. "Eh, Mas Rafi. Lagi nunggu Ayahnya Alta, Mas," sahutku sambil tersenyum. Mas Rafi adalah rekan kerjanya Mas Ilham. Kami sempat berkenalan di hari yang sama saat temanku mengenalkanku pada Mas Ilham. Ada perasaan heran di wajahnya. Memangnya tidak boleh aku mengunjungi kantor suamiku sendiri. "Mas Ilham tadi lagi telfonan di toilet," jawabnya tanpa aku bertanya. "Oh, Iya Mas. Tidak apa-apa. Nanti juga turun," sahutku kemudian. "Ya sudah kalau begitu. Mas duluan ya."Dia pun pergi meninggalkan kami. Tak lama Mas Ilham keluar dengan wajah murung. "Ada apa, Mas?" tanyaku heran. "Sudah, tidak apa-apa. Masuk saja," aku dan Alta mengikutinya masuk ke mobil. Kami berhenti di sebuah toko mas tak jauh dari kantor Mas Ilham. Dia dan Alta duduk menunggu di kursi luar sembari bolak balik mengecek gawainya. Terlihat raut wajah yang penuh kekhawatiran. Apa jangan-jangan dia bertengkar de
Malam ini aku akan melancarkan aksiku selanjutnya. Setelah menemani Alta belajar dan bermain sebentar, aku mengantarkan Alta untuk tidur di kamarnya. Jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Tak lama lagi Mas Ilham akan pulang sesuai dengan pesan whatsapp nya tadi. Malam ini aku juga harus melancarkan aksiku lagi. Sudah tidak tahan rasanya menghadapi hal seperti ini terus menerus. Baru tadi siang mereka asik-asikan indehoy di mobil, sekarangpun serasa tidak puas hingga sampai malam baru pulang. Ternyata Mas Ilham benar-benar sudah kepincut sama wanita murahan tersebut. Sampai-sampai tidak ingat lagi sama anak dan istri di rumah. Tunggu saja Mas, tunggu sampai aku tahu siapa sebenarnya wanita itu. Tak lama terdengar suara mobil dari halaman depan. Itu pasti Mas Ilham. Dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit kesabaran, akhirnya aku membukakan pintu dengan senyuman termanisku. Dengan takzim aku mencium punggung tangannya, seolah-olah dia masih pantas untuk diperlakukan dengan
Aku sudah membaca seluruh isi percakapan mereka. Aku juga sudah mengcopy dan mengirimkannya ke gawaiku sebagai barang bukti yang akan kupergunakan nantinya. Setelah membersihkan semua jejak, aku kembali meletakkan gawai di tempatnya semula. Sekarang giliran lemari yang jadi sasaranku. Dengan mudah aku mengambil sertifikat rumah dan menggantinya dengan sertifikat palsu yang sudah kusiapkan sebelumnya. Tentu saja ini juga adalah anjuran dari Ratna. Aku saja tidak berfikir sampai sejauh ini. Berbahayakah nantinya kalau semua ini ketahuan? Apakah ini termasuk sebuah pencurian, walaupun aku mengambilnya di rumahku sendiri? Ah, entahlah. Rasa benci dan juga muak telah membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi. Dengan rasa takut dan tangan yang gemetaran aku memindahkan dokumen tersebut ke bawah kasur di samping Mas Ilham untuk kuamankan besok pagi. Semoga kali ini nasib baik masih berpihak padaku. .Kulihat Mas Ilham bangun pagi dengan wajah yang segar. Mungkin karena tidurnya sangat ny
Kemudian dia melangkah mundur, lalu berjalan meninggalkan kami. Aku dan Ratna saling berpandangan dengan wajah yang khawatir. Seketika aku bangkit dan mengejarnya. "Mas Rafi," aku meraih lengannya. Dia menghentikan langkahnya, kemudian menatap tanganku yang masih memegangi lengannya. Setelah sadar, aku buru-buru melepaskannya. "Maaf, Mas. Nay lancang," ucapku. "Tidak apa-apa. Kalau mau, pegang saja sepuasnya," godanya. Aku tertunduk malu dengan ucapannya barusan. "Mas Rafi, soal tadi...""Jangan buat alasan kalau Mas salah dengar, ya. Mas tidak budeg," sergahnya sebelum aku mengutarakan ucapanku. Lagi-lagi aku tertunduk diam. Merasa kalau permainan ini sudah berakhir dan harus menerima kalau Mas Ilham akan membuat perhitungan denganku. Bukankah Mas Rafi dan Mas Ilham adalah teman sekantor? Tentu dia akan lebih membela temannya dari pada aku yang jarang-jarang bertemu dengannya. Apalagi kalau sampai dia juga termasuk salah satu lelaki yang juga suka main perempuan. Pastilah
"Ngomong-ngomong, Mas Rafi ngapain pagi-pagi ke sini? Siapa yang sakit?" tanyaku memecah keheningan."Mama, darah tingginya kambuh lagi. Jadi hari ini Mas tidak masuk ke kantor. Jagain Mama," sahutnya. "Oh, begitu. Mas Rafi anak yang baik, ya," pujiku "Kalau ada riwayat darah tinggi, Mamanya jangab dikasi mikir yang berat-berat, Mas. Kasi berita baik saja setiap hari.""Gimana tidak banyak pikiran, Nay. Anak laki-laki satu-satunya belum menikah sampai sekarang," keluhnya. "Lho, nikah yang tinggal nikah to, Mas. Masa Mas Rafi belum punya calon.""Memang belum. Calon yang Mas mau, dulu sudah di gondol maling," ujarnya. "Kok bisa? Bodoh sekali wanita yang menolak Mas Rafi demi laki-laki lain.""iya, Nay. Dia memang bodoh," imbuh Mas Rafi. Kamipun tertawa, seolah ketegangan dan ketakutanku tadi berangsur hilang. Mas Rafi mengeluarkan gawai dari kantong celananya, kemudian ada notifikasi pesan whatsapp dari gawaiku. "Itu nomornya Mas. Simpan ya, kalau Mas hubungi harus diangkat. Janga
Wanita tersebut tampak salah tingkah juga karena kini mereka tertangkap basah sedang jalan berdua. "Mas ilham yang sedang apa di sini? Bukannya seharusnya Mas Ilham berada di kantor? Siapa wanita ini, Mas?" aku pura-pura tidak tahu, ingin mendengar alasan apa yang akan diberikannya padaku. "Anu, Nay. Ini dulu teman sekantornya Mas sama Mas Rafi juga. Tapi sekarang dia sudah tidak bekerja di sana lagi," aku melirik Mas Rafi, dan dia mengangguk membenarkan ucapan Mas Ilham. "Terus, kenapa Mas Ilham bisa pergi berdua sama dia?" kemudian Mas Ilham menarik lenganku menjauh dari mereka. Entah kebohongan apa yang akan dikatakannya. "Mas datang sendiri ke sini. Tadi dapat ijin dari kantor, mewakili untuk menjenguk Ibunya Rafi. Terus tidak sengaja ketemu sama Viona di pintu masuk. Katanya dia juga mau menjenguk juga. Bagaimanapun juga, kan dia juga pernah bekerja sama dengan Rafi," Mas Ilham masih beralasan dengan kebohongannya. Bertemu tanpa sengaja? Omong kosong. Dasar pembohong. Dia pi
Pagi ini aku sudah bertekad untuk menggadaikan surat rumah. Aku merasa sudah tidak tahan lagi tinggal serumah dengan Mas Ilham. Apalagi tadi malam dia mulai bersikap nakal dan mencoba meminta haknya sebagai suami. Menjijikkan sekali jika aku harus berbagi dengan wanita lain. Sudah menggauli yang sana, masih juga mau menggauliku. Bukan tanpa sebab dia meminta haknya, sepertinya ada rasa cemburu dihatinya melihat pertemuanku dengan Mas Rafi kemarin. "Kalau bisa kamu jangan sering-sering bertemu dengan si Rafi itu, Nay. Mas tidak suka," ujarnya. "Lho, memangnya kenapa, Mas?""Tidak suka saja.""Itukan temannya Mas Ilham sendiri. Lagipula Nay juga tidak sengaja ketemu sama Mas Rafi. Nay juga tidak mungkin macam-macam dengan Mas Rafi. Mas kan tau sendiri Nay Bagaimana. Selama ini apa pernah Mas lihat Nay aneh-aneh sama laki-laki lain?" bantahku sekaligus memberikan sindiran kepadanya. Mas Ilham terlihat salah tingkah. Mungkin malu karena kemarin baru kepergok jalan berdua dengan wanit
"Kita mau kemana ini, Mas?" tanyaku. Dia masih diam saja. Jangan-jangan dia mau membawaku ke kantor lagi. Waduh, gawat ini. Malah sekarang sertifikat rumah lagi aku pegang. Bagaimana kalau Mas Ilham nanti menggeledah seluruh isi tas dan juga gawaiku? "Mas Rafi!" bentakku. " Kita mau kemana?" lagi-lagi aku kesal dengan kediamannya. "Ih," karena kesal aku memukul lengannya yang sedang fokus menyetir. Tak lama dia meminggirkan mobil dan berhenti di jalanan yang cukup sepi. Ada apa ini? Apa dia marah karena barusan aku memukulnya? Apa dia akan membalasku dengan perbuatan yang tidak-tidak? Padahal kan pukulan tadi tidak terlalu kuat. Tidak mungkin dia merasa sakit hanya karena sentuhan seperti itu. Dia menatap tajam ke arahku. Apa dia benar-benar marah? "Kenapa nomor hape Mas kamu blokir? Bukankah kita sudah melakukan kesepakatan kemarin?" Mas Rafi terlihat gusar. Benar saja, kemarin tak lama setelah Mas Ilham mengantarku pulang dari rumah sakit, Mas Rafi menghubungiku beberapa kali