Share

Chapter 11

            Dengan langkah lunglai, Rachel berjalan meninggalkan taman belakang, tempat di mana kedua orang tuanya sedang bertengkar. Ia melewati ruang tengah yang dilewatinya tadi, lantas berhenti di meja tempat ia menyimpan kalung pemberian kakeknya itu. Wajahnya dipenuhi kesedihan dan kekhawatiran sekarang. Dengan mengumpulkan segala kekuatan yang ia miliki, ia memberanikan diri untuk mengambil kalung itu dan memasangnya di leher jenjang miliknya. Air matanya pun perlahan mengalir sempurna membasahi pipi cubbynya.

          Rachel mengeluarkan buku yang ada di dalam tasnya. Merobek selembar kertas dan menulis catatan untuk keluarganya.

          Untuk sementara aku akan tinggal bersama dengan temanku. Jangan mencariku dan jangan menghubungiku. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Untuk rencana pernikahan dengan tuan muda Angkasa, aku harus memikirkannya dulu. -Rachel.

          Setelah menempelkan catatannya di dinding, Rachel bergegas keluar dari rumahnya. Segera berangkat ke sekolah, dengan menggunakan sepedanya ia mengayuh dengan kencang. Melampiaskan kekesalannya akan semua hal buruk yang sedang menimpa hidupnya. Keringat dan air mata pun bercampur menjadi satu. Berjatuhan seperti dedaunan yang gugur di pinggir jalan yang baru saja ia lewati itu.

Hari ini Rachel tidak seceria biasanya. Rachel juga tidak konsentrasi sejak awal bel pelajaran dimulai sampai dengan bunyi bel istrahat. Pikirannya masih terfokus pada kejadian tadi pagi di rumahnya.

          Teman-temannya pun mulai menyadari tingkah Rachel yang tidak seperti biasanya hari ini. Tidak seceria hari-hari sebelumnya. Padahal Rachel terkenal sebagai anak yang sangat ceria.

          “Rachel.”

          “Chel, jika kamu tidak cepat bagaimana caramu bisa selesai mengerjakan tugas dari pak Beni. Jangan bilang kamu mau di hukum yah.”

“Chel, ini Dina lagi ngomong Chel. Kok lo ngelamun terus sih.”

          “RACHELLL!” teriak ketiga temannya dengan kompak.

          Membuat Rachel akhirnya tersadar dari lamunannya. “Ha? kenapa? kalian udah mau berangkat yah? ayok,” ucapnya dengan asal.

          “Rachel ada apa denganmu hari ini sih. Kok enggak seperti biasanya. Kamu lagi mikirin apa. Ada masalaha ya?”

          “Tidak, tidak ada apa-apa kok. Semuanya baik-baik saja,” jelasnya sambil  tersenyum tanggung.

          “Eh bentar deh. Apaan tuh ribut-ribut.” Sambari berlari keluar. Melihat apa yang sedang terjadi di depan kelasnya.

          Siswa siswi kembali di hebohkan dengan kehadiran geng Angkasa. Yuni yang sedang menyaksikan, berlari masuk ke dalam kelasnya lagi, lalu menyeret temannya untuk keluar melihat pemandangan Angkasa dan juga temannya. Rachel pun akhirnya ikut terseret keluar.

          Sesampainya di depan kelas, Angkasa dan juga temannya sedang berdiri di lapangan yang hanya berjarak 5 meter dari posisi Rachel dan juga teman-temannya. Mata Angkasa melihat ke arah Rachel yang tengah berdiri di samping teman-temannya. Sementara itu, Rachel yang malu langsung menunduk, mencoba menghindari tatapan tajam dari Angkasa.

          “Lihatlah, Angkasa melihat ke sini, mungkinkah dia terpesona denganku. Aku rasa dia menyukaiku,” ucap Dina semangat.

          “Hei, hentikan!” sebuah kemoceng mendarat tepat di kepala Dina, Tima mencoba menyadarkan temannya dari mimpi indahnya di siang bolong. Pukulannya pun membuat Dina meringis kesakitan.

          “Dia melihatmu karena kamu menyemburkan air di wajahnya bodoh,” protes Tima.

          “Ha? bukan aku kali. Itu perbuatan Rachel.” Menunjuk Rachel dengan telunjuknya.

          Menyadari maksud ucapan Tima barusan membuat Rachel menutup wajahnya dengan menggunakan buku gambarnya sendiri.

“Hei kamu jangan menunjukku seperti itu dong. Nanti Angkasa melihatku,” ucap Rachel mulai takut.

          “Kalian tau, orang-orang berkelas seperti mereka itu selalu bersosialisasi satu sama lain. Sangat tidak mungkin mau berteman dengan kita, apalagi jatuh hati. Ingatlah itu. Jadi berhenti bersikap konyol.”

          “Ahh tapi dia melihatku, Ahhh Angkasa.”

          Diantara kehebohan temannya, Rachel mencoba melarikan diri dari tempat itu. Pikirannya benar-benar kacau dan Rachel tak ingin terjebak dalam lingkaran teman-temannya. Dengan cepat ia berlari menuju kamar mandi. Di sana Rachel menumpahkan segala kesedihannya yang telah berusaha ia tahan. Masalah pernikahan benar-benar membuatnya pusing ditambah lagi tadi pagi masalah  pertengkaran kedua orang tuanya pun menjadi beban pikirannya saat ini.

***

          “Hei lihatlah perempuan-perempuan itu. Bukankah mereka bertingkah sangat berlebih. Sepertinya mereka tidak pernah melihat leleki tampan sebelumnya,” ucap Zigit memperhatikan siswi yang sedang berteriak histeris melihat keberadaan mereka di tengah-tengah lapangan sekolah.

          “Oh iya, Sa lo udah lihat berita hari ini nggak?”

          “Belum. Kenapa memangnya?”

          “Angel masuk 20 besar dalam kompetisi modeling tingkat internasional. Aku lihat dia makin cantik dan seksi saja. Pantas saja kamu begitu tergila-gila padanya. Kamu masih berhubungan baik dengannya kan?”

          Angkasa menjadi terdiam setelah mendengar nama Angel. Ingatannya kembali saat ia terakhir kali bersama dengan kekasihnya itu. Hingga lamaran yang ditolak oleh Angel. Ingatan itu kembali menghantuinya.

          “Sa?”

          “Ha? Emm bisa enggak kalian biarkan aku sendiri dulu,” ucap Angkasa tegas sambil berlalu pergi meninggalkan tempat itu.

***

          Bel masuk berbunyi, sehingga dengan cepat Rachel menyeka air matanya dengan tisu. Berusaha untuk menenangkan pikirannya lalu melangkah keluar meninggalkan tempat itu.  Namun tangannya tiba-tiba saja ditarik oleh Angkasa. Membuat Rachel berbalik dan melihat ke arah lelaki itu.

          “Maaf, tapi pelajaran akan segera dimulai. Bisakah kamu melepaskan tanganku.”

          Angkasa tidak menghiraukan permintaan Rachel. Ia malah menariknya hingga jarak mereka semakin dekat. Membuat Rachel heran dengan tingkah aneh Angkasa kali ini.

          “Ada apa tuan muda?”

          “Kau bisa bicara santai denganku. Tak perlu sekaku itu. Bukannya kamu sudah tahu yah.”

          “Maksudmu tahu tentang apa?”

          Angkasa tidak menjawab. Matanya kembali menatap Rachel. Memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya berhenti pada sebuah kalung yang dipakai oleh Rachel. Kalung pemberian kakeknya di masa lalu. Sebuah simbol untuk perjanjian pernikahan mereka.

          Rachel  menyadari tingkah Angkasa yang sedang memperhatikan kalung yang sedang dipakai olehnya. Dengan cepat Rachel menyembunyikan kalung itu di balik bajunya. Namun sudah cukup terlambat karena Angkasa sudah terlanjur melihatnya.

          “Jadi kamu begitu sangat ingin ya menjadi seorang istri dari penerus Ains-Soft. Dasar perempuan miskin. Sepertinya kamu sudah sejak lama mengimpikan menjadi seorang tuan putri rupanya. Good job.”

          Wajah Rachel berubah menjadi merah padam. Emosi telah menguasai dirinya. Perkataan Angkasa benar-benar melukai hatinya. Namun bibirnya mendadak kaku. Tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

          “Hei, ada apa sebenarnya denganmu? aku harap kamu tidak menyetujui pernikahan ini. Kamu belum tahu saja kesulitan apa yang akan kamu hadapi jika berada dalam keluargaku. Terlalu banyak aturan dan itu akan membuatmu tidak bisa bertahan. Tapi aku tidak bisa memaksakan kehendakku kepadamu juga. Aku hanya memberi tahumu saja, jangan sampai kelak kamu akan menyesali keputusanmu itu.”

          “Ak..” baru saja Rachel akan menjawab, Angkasa sudah berlalu pergi meninggalnya  seorang diri.

          Rachel menjadi kepikiran dengan kata-kata Angkasa tadi kepadanya. Namun sungguh di dalam hati Rachel pun tidak pernah sedikit pun terlintas niatnya untuk menyetujui pernikahan itu. Tapi jika melihat pertengkaran kedua orang tuanya tadi pagi membuatnya harus terpaksa melakukan pernikahan itu. Semua itu dilakukan Rachel untuk menyelamatkan keluarga yang sangat ia cintai dan sayangi. Bukan karena alasan ingin menjadi tuan putri.

          Rachel membuka buku gambar yang ada di tangan kanannya. Merobek gambar pangeran yang tak berwajah mliknya. Dengan kesal ia merobek gambar itu. Lalu menginjaknya dengan kasar. “Dasar pangeran gila. Aku sungguh membencimu. Sangat membencimu. Bahkan ketika aku mati sekalipun aku akan tetap membencimu.”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status