Share

Chapter 7

Setelah mendapatkan alamat yang di maksud oleh Angkasa, Ben lalu mengeluarkan handphonenya dan memotret bagian depan rumah itu. Lalu mencoba untuk menghubungi Angkasa.

“Saya sudah menemuukannya tuan.”

“Kalau gitu kirimkan saya alamat lengkapnya, saya akan menuju ke sana sekarang.”

“Baiklah”

Tuttt tuttt tuttt. Panggilan telepon telah terputus.

Dengan sigap Angkasa mengambil kunci motornya dan segera berangkat mencari alamat calon tunangannya. Tidak memakan waktu lama untuk sampai ke tempat yang di tujunya itu.

***

Rachel yang berada di rumahnya sedang asyik membersihkan kaca jendela bagian depan. Di sela waktu membersihkan, ia lagi lagi menggambar pangerannya, tentu saja pangeran tanpa wajah. Tawa bahagia pun terpancar di wajahnya setiap kali ia selesai menggambar dan melihat pangerannya itu. Meskipun tanpa wajah, entah mengapa ada daya tarik tersendiri yang dapat dirasakannya.

“Ayolah balikkan wajahmu pangeranku. Aku akan selalu menunggumu. Hanya saja aku berharap kamu bukan pangeran yang arogan itu,” ucapnya sambil mengingat perlakuan Angkasa siang tadi di sekolah. “Tidak perlu malu. Jika kau tidak memandangku aku akan mendatangimu sekarang. Jadi aku akan ke sana,” lanjutnya lagi sambil berlari keluar jendela.

“Tapi aku tidak boleh datang begitu saja bukan. Oke aku akan berbalik untuk menciummu. Aku pergi sekarang.” Dengan menutup kedua matanya dan tersenyum malu, Rachel berlari ke kaca jendela itu lalu mencium gambar yang di buatnya tadi. Lama, hingga seseorang muncul di depannya dan menyaksikan kejadian memalukan itu.

Lelaki itu berjalan menuju jendela tempat Rachel sedang berdiri. Memperhatikan dengan saksama dan heran akan apa yang baru saja disaksikan olehnya. Dengan perlahan Rachel membuka matanya, dan betapa terkejutnya ketika melihat ternyata Angkasa berdiri di balik kaca jendela itu. Dengan mata yang melotot sempurna, Rachel berteriak. Malu dengan apa yang baru saja ia lakukan. Tanpa banyak berpikir ia pun akhirnya menghapus gambar yang baru saja diciumnya itu.

          “Kemarilah orang bodoh,” panggil Angkasa.

          Dengan kesal Rachel berjalan maju ke arah Angkasa. “Namaku Rachel bukan orang bodoh. Dengar itu tuan muda.”

          “Kamu bekerja di sini yah?” tanya Angkasa tanpa mengindahkan ucapan Rachel sebelumnya.

          Tidak ada jawaban, Rachel hanya melototkan matanya sembari bingung dengan ucapan Angkasa yang mengira dirinya adalah seorang pekerja di rumahnya sendiri.

          “Cepat panggilkan bosmu.”

          Rachel melihat ke dalam rumahnya, mencoba mencerna maksud dari Angkasa barusan. “Bosku? maksudmu ayahku yah?” tanyanya bingung. “Baiklah aku akan memanggilnya,” ucap Rachel lagi.

          Baru saja Rachel hendak berbalik badan untuk masuk ke dalam rumahnya, Angkasa langsung menghentikan langkahnya. “Tidak perlu!”

          Sontak membuat Rachel semakin kesal dan berbalik ke arah Angkasa. “Hei kau pikir dirimu adalah seorang raja yang bisa memerintah seenaknya saja. Hello, ini adalah Indonesia,” dengan emosi yang memuncak, Rachel melemparkan kain yang telah  dipakainya melap kaca jendela.

          Kain lap kotor itu tepat mengenai wajahnya. Dengan wajah yang arogan, Angkasa menatap tajam Rachel. Tidak berkedip sedikitpun. Rachel yang baru menyadari tindakannya yang sombrono, mendadak panik.

          Angkasa melihat kain yang baru saja mengenai wajahnya. Kain itu tergeletak di lantai. Dengan sedikit membungkuk ia kemudian mengambil lap yang kotor tersebut. Memegangnya lalu berjalan maju mendekat ke arah Rachel.

          “Eits jangan mendekat, atau aku akan menyomprotmu dengan cairan pembersih kaca,” ucap Rachel sambil berjalan mundur.

          Melihat kepanikan Rachel, membuat Angkasa melempar kain kotor itu ke lantai lalu berbalik dan meninggalkan tempat itu. Dengan gagahnya ia menyalakan motornya dan melesat pergi dari rumah Rachel.

          Menyadari Angkasa meninggalkan kediamannya, Rachel berjalan keluar, berdiri di depan pagar rumahnya dan marah-marah tidak jelas. Seakan melampiaskan kekesalannya yang tertahan tadi.

“Kau pikir kau raja dan bisa melakukan segala hal. Jangan datang ke mari lagi. Daerah ini wilayahku. Kayaknya aku harus menyomprot tempat ini untuk menghilangkan nasib burukku.”

Sedetik setelahnya, Rachel menyemprotkan pembersih kaca yang dipegangnya itu di sekitar pagar rumahnya. Dengan sikap konyolnya, ia berusaha untuk membersihkan sisa-sisa keberadaan Angkasa beberapa saat yang lalu.

***

          Di depan Rumah Rachel, Bambang yang baru saja tiba, diam-diam telah memperhatikan tingkah lucu Rachel. Ia lantas senyum-senyum sendiri melihat kekonyolan yang baru saja disaksikannya itu.

“Syukurlah tuan muda ternyata sudah bertemu dengan calon tunangannya. Semoga saja mereka bisa menjadi makin dekat nantinya. Ini adalah sebuah kabar baik untuk Pak Bastian,” ucapnya dalam hati.

          Senyum bahagia masih terukir di wajahnya yang mulai keriput. Kini Bambang berencana untuk masuk dan bertemu langsung dengan Ayah dari Rachel. Ia pun membuka pintu mobilnya lalu berjalan menuju ke dalam halaman rumah Rachel.

          Sesampainya di dalam, Bambang tidak langsung mengatakan latar belakangnya sebagai asisten pribadi dari ceo perusahaan Ains-Soft dan tujuannya datang ke sana. Ia hanya menyamar sebagai orang biasa saja yang membutuhkan sebuah pijatan. Dengan penuh semangat Ayah Rachel mempersilahkan masuk dan membawanya ke kamar yang khusus untuk pelanggan.

          Di ruang pijat, Ayah Rachel melakukan pijatannya seperti biasa. Bambang tengah berbaring dan menikmati pijatannya.

“Sepertinya kamu bekerja dengan sangat keras. Seharusnya kamu membiarkannya saja, jangan dibuat stress,“ ucap Ramon sambil terus memijat.

          “Baiklah, tapi saya mohon lakukan dengan lembut pak,”

          Tiba-tiba saja pintu terbuka. Ibu Rachel tengah berdiri tegap di sana dengan ekspresi yang menakutkan. Kali ini kemarahan tengah menyelimuti dirinya.

“Ayah! kenapa Ayah tidak membayar cicilan rumah kita. Sudah berapa bulan menunggak. Dimana uangnya?” ucapnya dengan marah-marah.

          Ayah Rachel lantas berbalik, melihat ke arah istrinya. Menjawab dengan suara yang begitu rendah dan lembut. “Oh oh oh Ibu, kita kan bisa bicara di luar saja nanti. Sekarang Ayah lagi ada pelanggan. Nggak enak.”

          “Maafkan saya ya pak,” jelas Diah saat menyadari keberadaan Bambang.

          Pak Bambang lalu berbalik melihat wajah ayah Rachel. ‘Tidak masalah. Kamu bisa menghentikannya dulu dan bicaralah di luar. Sungguh saya tidak masalah,” ucapnya mencoba memberi masukan.

          Tidak bisa begitu pak. Pelanggan adalah raja,” sambil lanjut memijat. “Udahlah sayang, nanti kita bicara yah. Sekarang Ayah melayani pelanggan dulu.” ucapnya lagi.

          “Ayah, aku tidak bisa menunggu lagi. Ini adalah masalah yang cukup besar. Memangnya Ayah mau kalau rumah ini disita. Kamu mungkin akan membuka rumah pijat di pinggir jalan”

          ”Tenanglah sayang. Pelanggan kita masih butuh pijatan sebentar. Ototnya masih sakit. Kita lanjutkan sebentar, setelah pekerjaan ini selesai.”

          “Ayah mengapa kamu selalu tidak peduli dengan semuanya. Kamu sama sekali tidak peduli. Ibu sungguh ingin tahu. Bulan lalu ada banyak pelanggan, lalu dimana uangnya?”

          “Mereka semua datang kemari karena merasa sakit, jadi Ayah tidak meminta bayaran kepada mereka. Aku melihat mereka menjadi lebih baik setelah di pijat. Hal itu membuat Ayah sangat senang. Bukankah itu lebih berharga dari uang,” ucapnya dengan lembut.

          “Lalu apakah Ayah pernah berpikir apa akan ada orang yang membantu kita, setelah Ayah melakukan semua hal berharga itu.”

          “Lalu apa yang harus Ayah lakukan?” sambil berpikir. “Oh Ayah punya ide, Ayah harus mendapatkan pelanggan lebih banyak lagi. Kita harus bekerja lebih keras lagi dan kita akan mendapatkan uang yang lebih banyak. Aku juga akan membuat resep minyak pijat yang baru lalu menjualnya di sosial media. Pokoknya Ibu tenang saja. biar Ayah yang urus segalanya,” ucapnya dengan tersenyum manis.

          Ibu menarik napas panjang. “Terserah Ayah saja. Aku tidak mau tahu. Pokoknya Ayah tangani sendiri saja.”

          Setelah kepergian istrinya, Ramon kembali beralih pada pak Bambang yang ternyata sedang tertidur mendengar pertengkaran mereka. “Apakah pijatanku membuatmu nyaman sampai tertidur pulas seperti ini. Baiklah akan ku lanjutkan nanti.”

          Sekarang Ramon keluar dari ruangan itu. Setelah menutup pintu kamar, ia segera memalingkan wajahnya ke seluruh sudut ruangan yang ada di rumahnya. Tentu saja untuk memastikan keberadaan istrinya yang sedang marah padanya sekarang.

Sedangkan Rachel, ia sedang menyiapkan teh hijau hangat untuk .pelanggan  Untuk diminumnya nanti ketika bangun. Setelah menyiapkan tehnya Rachel mengantarkan ke kamar. Dan ternyata di sana Bambang tengah duduk dengan santai.

          “Oh ternyata bapak sudah bangun yah. Ini saya bawakan teh hangat. Monggo diminum pak. Ini masih hangat kok,” jelasnya sambil meletakkan nampang yang dibawanya itu di atas meja.

          “Ohhh ternyata aromanya sangat enak yah.” Bambang menghirup aroma teh yang baru saja di dituang oleh Rachel.

          Ini adalah teh hijau khas dari kampung Ibu saya pak. Pokoknya sangat bagus untuk kesehatan. Hanya 100 ribu per kotaknya. Kalau beli 5 dapat gratis 1. Aku akan sangat senang jika bapak menjadi membership dengan kami. Aku sebenarnya bukan penjualnya langsung. Aku hanya menyarankannya pada bapak untuk membelinya. Hehehe, maafkan aku yang terlalu cerewet. Soalnya Ibuku akan sangat senang jika ia memiliki banyak anggota.”

          “Oh iya aku ingin bertemu dengan kedua orang tuamu. Bisakah kamu memanggil mereka ke sini.”

          “Orang tuaku?” jawab Rachel antusias.

          “Tentu saja. Kau sangat baik karena menjadi pelanggan ayahku. Aku akan memanggilkan mereka untukmu. Tunggu sebentar yah. Jangan ke mana-mana,” sambil berlalu pergi meninggalkan tempat itu.

                                                          ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status