Share

Chapter 9

Malam ini Ramon tengah bermeditasi, sembari mencoba mengingat dimana ia meletakkan kalung pemberian ayahnya. Diah pun sudah membantu dengan mencari di segala tempat. Namun masih saja mereka berdua tidak menemukannya.

          “Ayah, bagaimana ini? sudah hampir 3 hari. Pasti ia akan segera datang menemui kita lagi. Bagaimana jika ternyata kita tidak juga menemukan kalung itu. Memangnya Ayah tidak ingat yah dimana kalung itu berada? atau jangan-jangan Ayah menggadaikannya yah,” sambil mengotak-atik lemari pakaiannya. “Ayah, apa yang kau lakukan?” teriak Diah saat melihat suaminya malah sibuk bermeditasi tanpa mau mendengarkan ucapannya.

          Mendadak Ramon membuka matanya, lalu melihat ke arah istrinya dan tersenyum senang. “Ibu, aku akhirnya mengingatnya.”

          Diah melompat-lompat kegirangan lalu mendekati suaminya yang sedang duduk di atas kasur tempat tidurnya. Ia ikut duduk dan memegang tangan suaminya. “Benarkah sayang? dimana kalung itu berada?”

          “Di atap,” ucap Ramon sambil menunjuk ke arah atap rumahnya. “Ibu ingat nggak waktu Rachel umur 5 tahun, dia kan sering sekali mimpi buruk gitu?”

          “Em yang katanya mimpi bertemu pangeran tanpa wajah itu yah? yang selalu menyeretnya dan memenjarakannya di sebuah menara yang tinggi sekali.”

          “Iya, benar sekali. Dan waktu itu Ibu nyuruh Ayah untuk membuang kalung itu biar Rachel nggak mimpi buruk lagi kan? Waktu itu Ayah membuangnya ke atap. Ayah lempar lewat jendela kamar Rachel yang di lantai dua.”

          “Kalau begitu tunggu apa lagi, kita harus segera ke sana untuk mencarinya sayang.”

          “Kamu ambil senter, biar Ayah ambil tangga dulu.”

          “Ya sudah,” jelas Diah akhirnya sambil mencari senter di dalam laci lemarinya.

          Setelah mendapatkan tangga, Ayah bergegas untuk naik ke atas atap. Kali ini gelap maupun licin bukan lagi menjadi penghalang buat Ramon sebab dipikirannya sekarang hanyalah kalung, kalung dan kalung.

          “Mungkin ada di sini. Aduh ini kok berantakan sekali yah.  Mentang-mentang aku sudah lama tidak ke sini. Heemmm,” ucap Ayah sambil berjalan dengan hati-hati di atas atap. Dengan posisi berlutut Ayah bergerak maju dan menyapu atap yang penuh dengan dedaunan dengan menggunakan kedua tangannya. Dengan pelan Ayah mencoba membersihkannya agar bisa melihat setiap tempat dengan sangat teliti.

          “Kok  nggak ketemu-ketemu ya. Atau jangan jangan sudah hilang kalungnya,” batinnya.

          “Ayah di cari baik-baik ya kalungnya, kali aja terselip gitu. Apalagi ini kan malam nggak terlalu jelas kelihatannya,” teriak Diah.

          Mendengar teriakan istrinya yang sangat keras membuat Ramon kembali bersemangat untuk mencari kalung yang dicarinya itu. Ramon pun mencoba melangkah lagi. Hingga tiba-tiba kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu. Ayah mencoba meraba dengan menggunakan tangannya dan ternyata yang ditemukannya itu adalah kalung yang sedang dicarinya.

          “Ibu, Ibuuu Ayah sudah menemukannya. Ayah menemukan kalungnya Ibu,” ucap Ramon dengan girang sambil memegang kalung itu.”

          Dengan penuh semangat Diah berlari menuju balkon dan melihat suaminya yang sedang memegang kalung itu. Tawa bahagia di wajah Diah merekah dengan sempurna.

                                                          ***

          Pagi ini Rachel sedang siap-siap untuk berangkat ke sekolahnya. Setelah memakan beberapa potong roti yang sudah disiapkan Ibunya, ia akhirnya berjalan keluar rumah. Rachel menyiapkan sepeda dan membuka pagar rumahnya. Baru saja iya akan melangkah maju, Bambang datang menghampirinya dengan senyum penuh bahagia.

          “Oh kamu sudah menyiapkan semuanya yah. Apakah kamu sudah siap?”

          “Maaf, ada apa ya pak?”

          “Jika kamu sudah siap, haruskah kita pergi sekarang?” jelasnya sambil mempersilahkan Rachel untuk naik ke atas mobil yang dibawanya.

          “Memangnya kita akan pergi ke mana ya pak kalau boleh saya tahu?” tanya Rachel kebingungan dengan perlakuan Bambang kepadanya pagi ini.

          Mendengar keributan di depan rumahnya membuat Ayah dan juga Ibu akhirnya keluar dan melihat apa yang sedang terjadi. Ketika mereka berdua melihat Bambang tengah berdebat dengan putrinya, dengan cepat Ayah dan Ibu berlari menghampiri mereka.

          “Oh ternyata anda datang lebih awal yah hari ini. Maaf sebelumnya karena saya belum sempat menyampaikannya kepada putri saya,” ucap Ramon mencoba menjelaskan kepada Bambang dan tersenyum ke arah putrinya.

          Rachel masih kebingungan dengan yang terjadi di hadapannya. Ia tidak dapat mencerna setiap pembicaraan mereka.

Bambang yang telah mendengar penjelasan dari Ayah Rachel akhirnya meminta maaf atas perlakuannya tadi. Dengan rasa bersalah ia menatap Rachel dan berbicara dengan nada yang sangat lembut. Mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi dan akan terjadi.

          “Tadinya saya pikir kamu sudah mengetahuinya. Jadi saya asal bicara saja. Jadi sebenarnya kamu akan segera menikah. Tepatnya kami akan menyiapkan pernikahan untuk kamu.”

          “Ha? pernikahan?” teriak Rachel yang kaget dengan penjelasan  Bambang barusan.

          Kedua orang tuanya menunduk ketika mendengar teriakan dari Rachel. Ia tentu saja merasa bersalah karena tidak memberitahukan anaknya perihal perjanjian pernikahan itu.

          “Apa artinya?” tanya Rachel kepada Ibunya.

          “Ahhh itu...”

          “Apa ada yang kalian rahasiakan ya dari Rachel?”

          Ramon dan istrinya kebingungan untuk menjawab pertanyaan dari Rachel. Ramon mendadak gagu, seolah lidahnya keluh untuk mengeluarkan kata-kata. Melihat Rachel yang semakin diselimuti rasa penasaran sehingga membuat Bambang akhirnya angkat bicara.

          “Baiklah aku sendiri yang akan mengatakannya pada Rachel. Aku adalah asisten pribadi sekaligus sekertaris perusahaan dari Ains-Soft. Aku ingin mengatakan padamu bahwa kamu adalah tunangan yang akan menikah dengan tuan muda Angkasa, yang merupakan putra dari ceo Ains-Soft,” ucap Bambang  dengan tegas sambil menatap Rachel.

          “Apaaa?” ucap Rachel dengan suara yang kian melemah hingga akhirnya terjatuh pingsan.

          Melihat gadis kecilnya tergeletak jatuh di jalanan membuat Ramon segera  menggendong Rachel ke dalam rumahnya dengan wajah yang sangat cemas tentunya. Sedangkan Diah, ia memungut tas putrinya yang terjatuh di jalanan tempatnya pingsan tadi. Bambang pun ikut masuk ke dalam rumah mereka.

          Ibu mencoba menyadarkan Rachel dengan memberikan minyak kayu putih di sekitar hidung dan juga keningnya. Rachel yang mencium aroma itu pun akhirnya mulai sadarkan diri dan membuka matanya secara perlahan.    “Ayah, Ibu, Rachel kenapa?” ucapnya dengan lemah setelah sadarkan diri.

          “Nggak papa sayang, tadi kamu hanya pingsan saja di depan. Nggak ada apa-apa kok. Semuanya baik-baik saja,” Diah mencoba menenangkan.

          Setelah mengumpulkan kesadarannya, Rachel menjadi teringat dengan kejadian beberapa menit lalu di depan rumahnya. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya? Ayah, Ibu?”

          “Sayang kamu tenangkan diri dulu. Jangan emosi seperti itu. Duduk dulu,” Ramon menarik lengan Rachel agar kembali duduk di kursinya.

          “Iya sayang kamu tenangkan diri dan pikiran dulu. Ini minum airnya dulu sayang,” ucap Ibu sambil menyodorkan segelas air putih kepada Rachel.

          Setelah Rachel meminum airnya, Ayah pun mencoba untuk menjelaskan kepada Rachel tentang apa yang terjadi sebenarnya.

“Ayah sebenarnya ingin memberi tahu kepada kamu tapi ini cukup mendadak juga jadi kami belum sempat dan tidak tahu harus memulainya dari mana. Maafkan kami ya sayang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status