Share

Chapter 4

          “Tepat sekali!”

 Ayah berusaha meyakinkan istri dan anak-anaknya. “Kakekmu adalah asisten pribadi dan juga sahabat dekat dari Ceo Ains-Sofft yang sebelumnya. Kalian bisa mengatakan bahwa kakekmu adalah salah satu orang penting di sana.”

          “Tidak bisa di percaya. Jika itu benar, kenapa kita masih miskin seperti ini,” Ibu mendonggak kepalanya melihat ke wajah Ayahnya. Belum usai persoalan surat hutang piutang suaminya, kini lelaki itu membuat isu baru.

          “Tidak pernah ada tuh teman kakek dari Ains-Soft yang datang menemui Ayah. Setidaknya untuk memberi hadiah kecil untuk keluarga kita yang begitu melarat ini. Dan kalau ternyata Ayah memang bagian dari perusahaan besar itu, kenapa tetap saja melakukan usaha pijat ini? kenapa tidak ke Ains-Soft saja,” ucap Ibu meledek Ayah.

          “Hei, aku ini tidak berbohong. Tapi tidak apa-apa kalau Ibu tidak percaya. Aku akan menyiapkan alat-alat pijatku sekarang. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus ku kerjakan dibanding harus berdebat dengan Ibu.”

          “Emm tapi kenapa setiap kali kita cerita soal Ains-Soft Ayah bawaannya selalu emosi begini,” tanya Ibu penasaran.

          “Aku tidak cenderung emosi. Aku hanya berbicara yang sebenarnya.” Dengan nada suara tinggi, Ayah mengangkat perlengkapan pijatnya lalu berdiri dan meninggalkan tempat itu.

          “Benarkah?”

          Tidak ada jawaban lagi, hanya ada punggung Ayah yang semakin tidak terlihat saja.

                                                          ***

          Masih pagi-pagi sekali pak Yudi sudah datang dan duduk di ruang tamu kediaman Bastian.  Pak Yudi adalah pengacara sekaligus penasehat pribadi Papa Angkasa. Dan sudah cukup lama juga bekerja untuknya.

          Pak Bastian yang baru saja bangun, berjalan menurungi anak tangga dan berjalan menuju ruang tamu untuk menemui Pak Yudi.

          “Udah lama pak?”

          “Nggak kok, ini juga baru datang. Maaf ya saya datangnya terlalu pagi, soalnya tadi dari bandara nganter istri dulu. Daripada bolak balik ke rumah baru ke sini lagi kan capek, pak. Belum lagi kalau macet. Jadi sekalian saja saya mampir ke sini pak.”

          “Tidak apa-apa kok pak, justru saya yang minta maaf karena sudah membuat bapak menunggu begini.”

          “Jadi begini pak, soal asisten Ayah bapak itu, ternyata memang betul dia memiliki seorang anak lelaki. Tapi dia melarikan diri saat masih umur belasan tahun. Makanya dia tidak memakai marganya. Tapi setelah saya periksa dengan cermat akhirnya saya bisa menemukannya. Dia membuka sebuah usaha rumah pijat tradisonal dan kebetulan dia memiliki seorang putri yang seumuran dengan Tuan Muda Angkasa. Ini fotonya,” sambil mengambil foto yang terselip di buku catatannya dan memberikannya kepada Pak Bastian.

          “Jadi gadis kecil ini adalah calon tunangan Angkasa.”

          “Anda bisa menyangkalnya. Karena sekali lagi putra dari mantan asisten bapak ini tidak memakai marganya. Jika kita tidak berempati, aku rasa tidak akan ada yang tahu soal ini.”

          “Jika itu kamu menurutmu bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan?”

          “Maaf pak,” sambil membungkukkan badan ke arah Bastian. “Jika itu saya, maka saya akan menepati janji.” Dengan lugas Yudi menjawab pertanyaannya.

          Mendengar jawaban dari Yudi membuat Bastian tersenyum ke arahnya. “Aku bersyukur telah bertemu orang sepertimu. Bekerja denganku dan mengurus banyak hal dengan sangat bijak dan juga adil.”

          “Pak Bambang, bisakah kamu mengurus dan menghubungi keluarga ini sekarang?”

          “Baik Pak.”

                                                         ***

            Ruang keluarga nampak sepi dibandingkan hari kemarin. Tidak ada Bastian dan juga Jelita di sana. Mungkin saja mereka sudah berangkat ke kantor. Angkasa pun akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman yang ada di belakang rumahnya. Namun ketika ia baru saja hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja Oma memanggilnya. Suaranya terdengar dari arah ruang makan. Ternyata  Oma baru saja selesai makan.

          Angkasa berbalik dan berjalan menuju Oma. Menghampirinya dan mencium punggung tangan dan pipinya. “Oma Tari kenapa?”

          “Panggil omaku saja. Kamu kok banyak berubah sejak dari Inggris.”

          Angkasa hanya tertawa mendengar omelan Oma barusan. Sebagai cucu yang baik, ia harus mengikuti perintahnya. “Iya omaku,” ucapku sambil memeluk Oma.

          Oma menggiring Angkasa menuju ruang keluarga dan duduk di sana dengannya.

          “Sini duduklah. Oh iya bi, tolong ambilkan manisan yang aku buat tadi di dapur.”

          “Iya Bu.”

          “Angkasa, kamu belum menjawab pertanyaan Oma kemarin. Bagaimana pendapatmu tentang pernikahan ini?”

          Dengan menelan air liur dan menarik napas beberapa kali Angkasa mencoba menjawab pertanyaan Oma dengan sangat hati-hati. Ia takut jika jawabannya justru akan membuat omanya marah ataupun bersedih hati.

“Jika aku menjawabnya sebagai seorang Angkasa, aku akan mengatakan bahwa aku tidak setuju dengan semua rencana Oma. Tapi jika aku menjawabnya sebagai putra satu-satunya Ayah, melangsungkan pernikahan atas dasar perjanjian. Maka aku tidak bisa menghindarinya, Oma. Bukankah sekali janji tetaplah janji. Harus ditepati bukan.”

          “Jawaban yang sangat bagus.”

          “Sedekat apa orang itu dengan kakek? sampai dia menjanjikan hal semacam itu padanya.”

          “Dulu saat awal-awal perusahaan Ains-Soft ini di didirikan untuk pertama kalinya, dia adalah satu-satunya  teman kakek yang sangat dekat dengannya. Dia banyak membantu kakek hingga perusahaan kita bisa sebesar sekarang. Dan yang harus kita lakukan sekarang adalah menemui keluarganya dan membawakan kembali janji yang telah dibuat oleh kakekmu di masa lalu sebelum akhirnya beliau meninggal. Anggap saja ini adalah pengorbanan yang kamu lakukan untuk kakekmu semasa hidupmu, Angkasa. Dengan melihat yang kamu lakukan ini, hal itu akan membuatnya tersenyum bahagia di surga.”

          Oma mengelus lembut tangan Angkasa sambil membelai rambutnya dengan manja. Memandangi wajah cucunya yang sudah beranjak dewasa. Di balik bola mata sayu itu, ia menaruh banyak harapan kepadanya. Dan baginya sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dan membuatnya tenang di dunia yang kejam dan keras ini selain berada di sisi orang-orang tercintanya. Angkasa salah satunya.

          Dalam hal ini Oma berharap Angkasa akan mendengarkannya dan menuruti keinginannya. “Angkasa, kamu mau menepati janji ataupun tidak itu semua terserah dan kembali lagi kepadamu. Oma tidak ingin membebanimu. Oma hanya menyampaikan permintaan kakekmu. Meskipun ini semua adalah janji namun semuanya Oma kembalikan lagi kepadamu.”

          Angkasa menatap kedua bola mata omanya yang semakin berkerut karena kerutan diwajahnya yang tidak muda lagi. Di sana terlihat jelas bahwa banyak harapan yang digantungkan kepadanya. Dengan hembusan napas lega, ia pun mendekap omanya dengan sepenuh hati. “Apapun yang akan membuat Oma bahagia, pasti akan Angkasa usahakan.”

                                                          ***

          Tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya. Dan hari ini adalah waktunya untuk Angkasa mulai bersekolah. Sungguh kegiatan yang lumayan membosankan baginya. Memasuki lingkungan baru, dan berteman dengan orang-orang baru pula meskipun sebenarnya di sana ada banyak teman-teman semasa kecilnya yang juga bersekolah di yayasan milik kakeknya itu.

          Angkasa telah selesai memakai baju dan sudah siap untuk berangkat. Setelah keluar dari kamarnya, ia langsung menuju balkon rumahnya. Melihat taman bunga yang begitu luas di sekeliling rumahnya dan juga omanya yang tengah asyik memberi makan ikan-ikannya.

          “Tuan Muda, mobilnya sudah siap,” ucap Ben, asisten pribadi Angkasa.

          “Bilang ke Papa kalau aku tidak butuh siapapun. Cukup kamu saja. Jangan sampai Papa menyediakan pengawal lagi.”

          “Ya Tuan.”

          Angkasa pun meninggalkan ruangan itu dan bergegas menuju parkiran mobil. Baru saja Ben akan menyalakan mobilnya, Jelita dengan buru-bru berlari menghampiri mobil dan mencari Angkasa.

          “Sa, kamu nggak minum vitamin yah? Padahal kan udah Mama siapin sejak tadi subuh.”      

Mendengar omelan mamanya, Angkasa pun segera membuka pintu mobil dan mengambil vitamin yang di bawa mamanya itu. “Angkasa lupa, Ma.”

“Jangan suka gitu ihh, nanti kalau kamu sakit gimana? kan Mama juga yang bakal repot. Please jangan buat hal-hal yang bisa buat Mama khawatir.”

          “Ma, Angkasa kan udah gede. Mama please lah, nggak usah lebay gitu. Udah Mama masuk gih, Angkasa udah telat banget nih.”

          “Ya udah kamu hati-hati yah. Ben pelan-pelan nyetirnya yah.”

          “Iya Bu.”

                                                ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status