Share

Dua

Naya menelan air liurnya sendiri. "M-Maaf, Pak, tapi saya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak saya cintai."

Naya yang sempat terpesona dengan tatapan tajam Dewa, langsung menyadarkan diri. Di kepalanya terbayang bagaimana pernikahannya nantinya, dan Naya tidak siap. Apalagi selama ini Naya hanya mengenal Dewa sebagai atasannya di kantor yang suka menindasnya.

"Lalu, kamu mau menolak pernikahan ini?" tanya Dewa.

Naya mengangguk, karena itulah tujuannya mengajak laki-laki itu bertemu hari ini.

"Iya, karena saya memiliki prinsip menikah sekali seumur hidup! Dan saya tidak bisa menikah dengan laki-laki yang tidak saya cintai."

Dewa tampak menghela nafas. Lalu mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. Setelah pelayan memberikan bill, Dewa langsung memberikan kartu kreditnya.

“Kalau berani, kamu bisa katakan itu di depan orangtuamu dan orangtuaku.” Dewa berdiri dari duduknya ketika pelayan kembali dengan membawa kartu kreditnya.

"Malam Sabtu ini, keluarga saya akan datang untuk melamar kamu secara resmi." Setelah itu, ia meninggalkan Naya di cafe dan kembali ke kantor.

***

“Sialan! Sialan! Sialan!”

Naya tidak berhenti menggerutu dalam hati ketika bundanya mendadaninya untuk persiapan malam pertemuan antara dua keluarga. Tidak ada yang mau mendengar pendapatnya soal perjodohan ini. Semua terlalu sat set bagi Naya.

Naya sudah siap dengan kebaya berwarna biru muda yang terlihat anggun di badannya. Tepat pukul 7 malam, keluarga Dewa datang dengan rombongannya. 

Naya melihat Dewa yang mengunakan batik lengan panjang yang sama dengan rok kebaya miliknya. Tidak banyak yang datang dalam acara lamaran Naya dan Dewa, hanya ibu kandung Dewa, dan omnya yang bertugas sebagai pengganti almarhum ayah Dewa.

Dewa adalah anak pertama dari tiga bersaudara, yang memiliki adik perempuan dan laki-laki. Keduanya sudah menikah semua. Hal itu yang membuat Aida selalu meminta Dewa untuk segera menikah karena kedua adiknya sudah memiliki keturunan. Ibunya juga khawatir jika putra pertamanya tidak lagi tertarik untuk menikah karena kegagalannya lima tahun lalu.

Acara berjalan dengan lancar berbagai runtutan acara lamaran. Mulai dari pemasangan cincin, penyerahan seserahan dan penentuan tanggal pernikahan.

Sepanjang acara, Naya terus memaksakan senyum, walaupun sebenarnya ingin berteriak. Apalagi melihat wajah datar Dewa yang terlihat santai mengatakan kalau pernikahan akan berlangsung dua minggu lagi. Makanya, setelah proses selesai, Naya segera menarik Dewa ke halaman belakang.

“Bapak gila, ya!“ protes Naya.

Dewa menoleh menatap Naya. “Maksud kamu?"

“Dua minggu!” Naya menunjukkan angka dua dengan jarinya. Ia pun sesekali menengok ke dalam rumah, khawatir bundanya melihat kalau dia sedang memarahi Dewa. 

“Oh….” Dewa menangguk-angguk, baru paham. “Bukankah hal yang baik itu harus disegerakan?”

“Tapi ngga secepat itu juga dong, Pak! Bapak kira nikah kayak beli tahu bulat, dadakan?“

“Kamu tadi minta pernikahan yang sederhana, saya rasa dua minggu cukup,“ jawab Dewa tenang, kemudian mengambil sebiji anggur yang dibawanya sedari tadi.

"Mau?" tawar Dewa hendak memberikan anggur itu pada Naya.

Sifat ini yang tidak Naya sukai dari Dewa. Menurutnya, orang seperti Dewa itu sangat-sangat menyebalkan. Bagaimana bisa laki-laki itu merespon kekesalannya dengan santai dan setenang itu.

Naya menatap Dewa tajam. "Bapak ngeselin tau nggak!"

Namun, Dewa tidak menanggapinya, hanya mengangkat bahu sambil dengan santai memakan anggur. Naya hampir saja berteriak keras, kalau bundanya tidak memanggil mereka.

“Nay, ajak makan Nak Dewa, yuk," ajak Wina sambil berjalan menghampiri.

Naya mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. “Biarin aja, Bun. Nanti kalau laper ya makan sendiri.“

Wina memukul punggung Naya cukup keras. “Ehh, ngga boleh gitu sama calon suami! Sana ajak makan dulu!”

Naya mencibir lagi ketika bundanya kembali ke dalam rumah. Ia pun menatap Dewa malas. “Bapak mau makan ngga? Ayo saya temenin."

Dewa mengangguk kemudian berdiri mengikuti Naya yang berjalan di depannya. Selama Naya melayani Dewa, pandangan orang tua di sana tampak bahagia. Malah adik-adik Dewa terang-terangan menggoda kakaknya itu.

Setelah piringnya terisi, Naya mengajak Dewa duduk di sofa ruang tamu. Saking kelasnya Naya jadi tidak nafsu untuk makan, padahal dari siang dirinya belum makan sama sekali.

Karena manusia di sebelahnya ini hanya makan dalam diam, Naya menarik toples berisi keripik singkong itu, lalu memakannya.

Dewa yang terusik dengan suara Naya yang berisik di sebelahnya menoleh. "Kamu ngga makan? "

“Udah tadi sebelum acara,“ jawab Naya ketus.

Lalu, hening lagi. Hanya ada obrolan para keluarga yang terdengar dari ruang makan.

“Setelah menikah, kamu tinggal di rumah saya.“ ujar Dewa tiba-tiba, membuat Naya menoleh.

“Ngga bisa tinggal di sini aja?“ tanya Naya.

Dirinya belum siap jika harus serumah berdua saja dengan Dewa. Apalagi jika mengingat sifat Dewa yang kaku dan dingin itu.

“Tidak,“ jawab Dewa.

“Kenapa, sih, Bapak suka banget maksain kehendak?!” ucap Naya kesal. Sekarang, ia benar-benar ingin menangis.

Dewa meletakkan piringnya di meja, lalu berbalik menatap Naya. “Setelah menikah, kamu jadi tanggung jawab saya, Kanaya. Sudah jadi kewajiban saya untuk menjaga kamu.”

“Bapak egois!”

Naya tidak mau lagi mendengar perkataan Dewa. Ia segera bangkit, dan masuk ke kamarnya di lantai dua. Ia juga tidak memedulikan panggilan Dewa. Biar saja nanti Dewa mengadu pada ayah dan bundanya, ia tidak peduli.

Naya hanya ingin menangis sendirian sekarang.

***

Entah bagaimana Dewa menjelaskan kepada orangtua mereka soal kejadian malam itu. Yang pasti, ketika Naya bangun keesokan harinya, mereka bersikap biasa saja. Malah cenderung lebih perhatian. Bundanya juga langsung memberikan teh manis hangat begitu Naya bangun.

Persiapan pernikahan yang mendadak itu membuatnya lelah bahkan uring-uringan karena Dewa menyerahkan segalanya kepada Naya. Mulai dari dekor, cathering, rias pengantin dan undangan semuanya Dewa serahkan ke Naya. Walaupun dirinya di bantu oleh kedua adik iparnya, tapi dirinya tetap merasa lelah karena Dewa justru menyibukan diri dengan pekerjaanya.

Sepuluh hari menyiapkan semuanya sendirian, hari ini adalah hari pertama mereka bertemu kembali setelah lamaran itu. Mereka harus fitting baju, itupun Naya yang harus menyesuaikan waktu Dewa yang kelewat sibuk itu.

"Kalau tau menyiapkan pernikahan seribet ini, aku ngga mau nikah," gerutu Naya pelan.

Ctak!

“Aw!” Naya mengusap dahinya yang baru kena jentikkan Dewa.

"Bicaranya dijaga "

"Bapak!" protes Naya, namun tidak dihiraukan sama sekali oleh Dewa. 

Laki-laki itu kembali fokus menyetir tidak memperdulikan Naya yang masih mengelus dahinya.

"Bapak tuh ngga mikir apa, minta nikah dalam waktu dua minggu, tapi ngga bantuin sama sekali! Jadinya keteteran kan?" ujarnya sambil menatap Dewa kesal.

"Saya hanya ingin pernikahan kita sesuai dengan apa yang kamu inginkan."

Naya mendengus kesal. "Tapi yang menikah kan bukan saya doang, ada Bapak juga. Harusnya Bapak juga ikut andil dalam persiapan pernikahan ini, Pak."

Naya meluapkan segala kekesalannya 10 hari ini menyiapkan pernikahannya sendiri. Untung saja dia sudah resign dan belum mendapat pekerjaan baru. Bisa-bisa dia dipecat duluan karena terlalu banyak absen dan cuti.

Dewa menghela nafas. "Kemarin saya sudah menawarkan kamu untuk memakai jasa WO, tapi kamu tidak mau."

Naya tidak menjawab lagi. Pernikahan yang seharusnya menjadi hari bahagia, justru membuat Naya kesal dari awal. Apalagi respon calon suaminya setiap kali diajak diskusi tentang pernikahan jawabannya sama.

“Kamu urus saja. Saya sibuk.”

‘Cih! Kayak di dunia ini cuma dia doang yang sibuk!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status