Share

Lima

‘Apa katanya tadi? Jangan panggil saya bapak! Dih mukanya aja mendukung untuk di panggil bapak,’ gumannya.

Naya berdecih. Kenapa sih laki-laki itu selalu membuat dirinya kesal, namun di balik sisi menyebalkan suaminya itu ternyata ada sisi perhatiannya juga.

Tapi apakah mungkin suaminya itu akan berubah menjadi suami yang perhatian dan romantis

‘Mustahil ngga sih kalau gue bisa bikin tu orang bucin?’

Kemudian Naya menggelengkan kepalanya menepis semua yang ada di pikirannya, karena dirinya harus ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan dapur.

Naya sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumahnya, ah lebih tepatnya rumah Dewa yang sekarang jadi suaminya. Inilah part yang paling dirinya sukai belanja memilih semua sesuai dengan keinginannya, dulu setiap kali mengantarkan belanja bundanya, dirinya selalu di larang untuk mengambil makanan ringan kesukaannya.

‘Ahh, jadi rindu bunda,” gumannya dengan wajah sedihnya.

Sejak dirinya kecil hingga usianya 23 tahun Naya tidak pernah jauh dari orang tuanya, dan sekarang Naya harus ikut suaminya.

“Naya!”

Merasa terpanggil Naya menoleh dan melihat Citra, sahabatnya. Citra berlari menghampirinya dan memeluk Naya erat, karena setelah Naya resign mereka jarang bertemu.

“Apa kabar?”

“Baik, lo gimana? Masih betah di kantor,” ujar Naya terkekeh.

Citra berdecak kesal.“Gara-gara lo resign mendadak, sekarang pekerjaan gue double tau!”

Naya tertawa terbahak, karena dirinya bersyukur bisa lepas dari deadline pekerjaan yang tidak manusiawi. Namun kembali dihadapkan dengan kehidupan rumah tangga yang dirinya sendiri tidak tau akan seperti apa pernikahannya nanti.

“Seneng kan lo sekarang, ngga di kejar-kejar deadlinenya pak Dewa!” Sahut Citra dengan wajah kesalnya.

Naya menghela nafas. “Emang sih gue seneng ngga berurusan dengan pekerjaan kantor yang selalu buat gue kurang tidur, dan lupa makan siang. Tapi untuk lepas dari pak Dewa kayaknya mustahil..”

Citra mendekat dan menatap Naya.“Maksud lo! Bukannya sekarang lo udah nggak bakalan ketemu lagi sama pak Dewa?”

“Justru gue ketemu sama pak Dewa setiap hari,”

“Hah!”

Suara cempreng Citra menganggu beberapa pembeli lain, hingga membuat Naya harus meminta maaf karena sudah menarik perhatian banyak orang.

“Kita ngobrol di cafe depan aja.”

Naya mendorong troli yang sudah terisi bahan makan dan kebutuhan rumah itu ke kasir untuk membayarnya.

Dan sekarang Naya sudah duduk berhadapan dengan Citra yang menatapnya meminta penjelasan.

Naya menghela nafas. “Gue nggak tau harus mulai darimana, tapi yang jelas gue udah nikah sama pak Dewa.”

“Nikah! Lo nggak bercanda kan!” ujarnya dengan bola mata yang melebar sempurna.

“Gue di jodohin sama bokap gue.” jawab Naya dengan wajah datarnya.

“Kok bisa?”

Naya mengedikan bahunya, karena dirinya saja tidak tau kenapa sang ayah menjodohkannya dengan Dewa, laki-laki yang sudah pernah menikah sebelumnya.

“Kok lo mau?” Tanya Citra dengan wajah seriusnya.

“Bayangin aja setiap hari gue di tanya. Nay, gimana mau ya menikah sama anak temen ayah.” Ujar Naya menirukan suara dan ekspresi sang ayah.

Dirinya mau menikah dengan Dewa karena tidak bisa menolak permintaan sang ayah. Dan setiap kali dirinya bertanya.

‘Dia laki-laki yang baik, yang bisa membimbing dan membahagiakan kamu.’

Apakah ayahnya bisa menjamin jika dirinya akan bahagia nantinya?

“Pilihan bokap lo oke juga sih, Nay. Kalau gue sih nggak bakalan nolak.” ujarnya terkekeh.

“Oke sih. Tapi sayang belum move on sama mantan istri mana kelakuannya nyebelin pake banget.” Ujar Naya mengingat Dewa yang sering bertindak semena-mena dengannya bahkan selama persiapan menikah.

“Masa masih kaku aja, Nay?”

“Ya, ada perhatiannya dikit sih.” Jawab Naya.

Kembali mengingat perlakuan Dewa semalam yang merawatnya membuat Naya semakin penasaran dengan sosok Dewangga Aditama itu.

“Eh, kemarin mantannya pak Dewa dateng lagi ke kantor. Gue sih nggak tau tujuan tu cewek apaan,”

“Kemarin dia juga datang ke pernikahan gue, mana bikin kesel lagi,” Naya masih dendam karena kedatangan mantan istri suaminya itu yang membuat moodnya jelek.

“Apa jangan-jangan mantannya pak Dewa itu belum move on?”

***

“Eh, kok udah pulang.” Naya terkejut karena melihat Dewa sudah duduk di sofa ruang tamu.

Dewa hanya meliriknya sekilas, kembali fokus dengan layar ponselnya. Tanpa memperdulikan Naya yang baru saja pulang dengan barang belanjaannya.

Penilaian dirinya tentang Dewa ternyata salah, nyatanya laki-laki itu tidak memperdulikannya justru asyik dengan ponselnya sendiri.

‘Tu orang nggak ada niatan buat bantuin gue gitu?’

Walaupun dengan wajah kesalnya, Naya tetap menata barang belanjaannya ke kulkas.

“Kalau udah selesai kesini, saya mau bicara,”

Wajahnya semakin cemberut. “Bapak, nggak lihat saya lagi ngapain!” Teriaknya sambil meletakan buah di kulkas dengan sedikit keras.

“Saya bilang kalau sudah selesai, Kanaya.”

Naya menghentakan kakinya kesal, berjalan dengan wajah malasnya kemudian duduk di sebelah Dewa.

“Kenapa?” Tanyanya ketus.

Dewa meletakan ponselnya di atas meja kemudian menatap Naya. “Capek?”

Naya berdecak. “Bapak mau bicara apa?”

Melihat Dewa yang hanya diam membuat Naya semakin kesal. “Jadi nggak, kalau nggak jadi saya mau …”

“Saya ingin membicarakan soal pernikahan kita,” Dewa menatap Naya serius. “Dan saya rasa kamu tau pernikahan bukan hal main-main, Kanaya.”

“Tapi susah buat saya,Pak. “ sahut Naya.

“Saya tahu, tapi tidak ada salahnya kita saling mencoba untuk menerima.”

Naya terdiam.

“Saya nggak masalah jadi istri, bapak. Tapi untuk memiliki anak dengan bapak saya belum siap.” Naya tiba-tiba teringat alasan Dewa menikahinya hanya karena butuh istri dan memiliki keturunan.

“Kenapa?” Tanya Dewa.

“Kita baru saja menikah, dan baru saja saling mengenal, Pak. Untuk memiliki anak kita harus melewati prosesnya kan, Pak?”

Membayangkan saja Naya tidak sanggup apalagi jika dirinya melakukan hal itu dengan Dewa laki-laki yang selama ini dirinya hindari.

Naya bergidik ngeri.

“Untuk memiliki anak memang harus melewati prosesnya, Kanaya.”

Ucapan Dewa seketika membuat bulu-bulu tangannya berdiri.

“M–maaf pak, saya nggak bisa!” jawab Naya panik.

Dewa menghela nafas.”Kalau kamu tidak mau mencoba menerima saya, lalu apa yang akan kamu lakukan dengan pernikahan ini ?”

“Ya, nikah aja pak. Kita jalani hidup masing-masing mungkin sampai kita bisa saling menerima.” Jawab Naya tidak yakin.

Dewa menggelengkan kepalanya. “Itu sama saja kamu mempermainkan pernikahan, Kanaya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status